Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Nakes Myanmar Melawan Junta, Boikot RS Pemerintah dan Rawat Pasien dari “Bawah Tanah”

Kompas.com - 08/01/2022, 15:30 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber BBC

NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Tenaga kesehatan (nakes) Myanmar, yang menentang junta militer, sekarang memberikan sebagian besar perawatan kesehatan di luar rumah sakit negara.

Sebagian besar dokter dan perawat yang diwawancarai BBC ini, merupakan warga Myanmar yang setia kepada Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) dan menantang legitimasi militer Myanmar.

Nama mereka telah diubah demi keamanannya.

Baca juga: Jokowi Telepon Hun Sen, Ingatkan Tak Undang Junta Myanmar jika Perdamaian Gagal

Perlawanan terorganisir terhadap kudeta 1 Februari di Myanmar dimulai dengan tenaga kesehatan Myanmar mengumumkan boikot terhadap rumah sakit yang dikelola negara.

Mereka memimpin protes jalanan pertama, menyebutnya "revolusi jas putih".

Gerakan itu menempatkan tenaga kesehatan pada jalur yang bertentangan dengan militer Myanmar, dan telah mengakibatkan banyak sistem perawatan kesehatan Myanmar berjalan di bawah tanah.

Di banyak daerah, lebih dari 70 persen petugas kesehatan diyakini telah meninggalkan pekerjaan, rumah sakit, dan pasien mereka. Itu adalah keputusan etis yang sulit, yang dipertahankan oleh dokter senior dalam surat yang mereka kirim ke jurnal medis The Lancet.

"Tugas kita sebagai dokter adalah memprioritaskan perawatan untuk pasien kita. Tetapi bagaimana kita bisa melakukan ini di bawah sistem militer yang melanggar hukum, tidak demokratis, dan menindas?”

"Lima puluh tahun pemerintahan militer sebelumnya gagal mengembangkan sistem kesehatan kita dan malah mengabadikan kemiskinan, ketidaksetaraan, dan perawatan medis yang tidak memadai. Kita tidak dapat kembali ke situasi ini."

Baca juga: KALEIDOSKOP INTERNASIONAL FEBRUARI 2021: Kudeta Myanmar | Penyelidikan WHO di Wuhan

Grace, seorang guru di Yangon Nursing University, mengatakan mereka semua "memilih untuk bergabung dengan CDM (gerakan pembangkangan sipil)".

"Setiap malam jam 8 malam, kami akan menggedor pot dan menyanyikan lagu-lagu revolusioner di depan sekolah. Kami marah, bagaimana mereka bisa menangkap pemimpin kami setelah mereka kalah dalam pemilihan?"

Pengunjuk rasa berlarian setelah polisi memberikan tembakan peringatan dan menggunakan meriam air untuk membubarkan demonstrasi di Mandalay, Myanmar, pada 9 Februari. Polisi bergerak setelah massa berdemonstrasi menentang kudeta militer Myanmar.STR via AP Pengunjuk rasa berlarian setelah polisi memberikan tembakan peringatan dan menggunakan meriam air untuk membubarkan demonstrasi di Mandalay, Myanmar, pada 9 Februari. Polisi bergerak setelah massa berdemonstrasi menentang kudeta militer Myanmar.

Operasi “bawah tanah”

Grace adalah salah satu dari ribuan tenaga kesehatan Myanmar yang tidak hanya meninggalkan pekerjaannya, tetapi kehilangan akomodasi sebagai akibatnya. Meski begitu, dia tetap bergabung dengan protes untuk membantu yang terluka.

"Kami mengatur ambulans jika seseorang tertembak. Kekhawatiran terbesar kami adalah bagaimana memindahkan mereka ke daerah yang aman,” ujarnya kepada BBC.

Menurutnya, untuk luka ringan, tenaga kesehatan Myanmar akan membawa korban ke ambulans dan merawat mereka di sana. Sedangkan untuk luka tembak, petugas harus menemukan rute aman ke klinik yang dirikan di kuil dan kompleks biara."

Dari awal yang putus asa dan improvisasi ini, mereka membangun sistem kesehatan bayangan, yang biasanya berada di bawah otoritas Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), yang dideklarasikan pada April, oleh anggota parlemen yang digulingkan untuk menantang junta.

Baca juga: 30 Orang Lebih Dibunuh dan Dibakar di Myanmar, AS Serukan Embargo Senjata

Namun kenyataannya, sistem ini dijalankan oleh ribuan sukarelawan di seluruh negeri. Mereka bekerja di klinik amal atau rumah sakit swasta yang bersedia mengambil risiko, dan menggunakan aplikasi komunikasi terenkripsi untuk menghindari deteksi.

Mereka menyediakan perawatan kesehatan yang tidak lagi tersedia di rumah sakit pemerintah yang kekurangan staf, atau tidak diinginkan oleh pasien yang menentang kudeta.

Sejumlah pedemo berlindung di balik perisai buatan sendiri, untuk menghindari gas air mata yang ditembakkan aparat dalam demo melawan kudeta Myanmar di Yangon, Senin (8/3/2021).STR/AFP Sejumlah pedemo berlindung di balik perisai buatan sendiri, untuk menghindari gas air mata yang ditembakkan aparat dalam demo melawan kudeta Myanmar di Yangon, Senin (8/3/2021).

Bantuan dari warga di luar negeri

Uang dikumpulkan dari warga Burma yang tinggal di luar negeri untuk mendukung sukarelawan
Dr Zaw Wai Soe, seorang ahli bedah ortopedi dan tokoh terkemuka dalam perjuangan pemerintah yang digulingkan melawan Covid-19, yang juga Menteri Kesehatan NUG.

Setelah kudeta, dia menolak tawaran dari militer untuk menjadi wakil menteri kesehatan mereka, dan bersembunyi. Dia telah didakwa oleh otoritas militer dengan pengkhianatan.

NUG mengumpulkan uang dari warga Burma yang tinggal di luar negeri untuk mendukung para sukarelawan. Mereka juga telah membuat halaman Facebook bagi pasien untuk mendapatkan saran medis online dari dokter yang bersembunyi, yang disebut telemedicine.

"Kami tidak punya cukup uang," kata Zaw Wai Soe kepada BBC, berbicara dari lokasi yang dirahasiakan.

"Tapi kami mendapat dukungan dari masyarakat lokal, dan internasional dari diaspora. Itu tidak cukup, tetapi kami berusaha sekeras yang kami bisa untuk menyediakan layanan kesehatan yang layak."

Baca juga: PBB Merasa Ngeri atas Laporan 35 Orang Dibunuh dan Dibakar di Myanmar

Pekerjaan yang berbahaya

Tetapi bekerja di bawah tanah, bertentangan dengan militer, berbahaya.

Organisasi Kesehatan Dunia mencatat bahwa, pada Juli, setengah dari 500 serangan terhadap petugas kesehatan yang tercatat di seluruh dunia telah terjadi di Myanmar.

Sebuah proyek serupa di Universitas Manchester melaporkan bahwa pada periode yang sama 25 tenaga kesehatan terbunuh di Myanmar, 190 ditangkap, dan 55 rumah sakit diduduki militer Myanmar.

Luke adalah seorang perawat ICU di sebuah rumah sakit swasta di Mandalay. Dia mengatakan menjadi pemimpin protes, dan meninggalkan pekerjaannya segera setelah kudeta militer Myanmar, karena pemilik rumah sakit memiliki hubungan dekat dengan angkatan bersenjata.

“Mereka menangkap saya pada 5 April dan membawa saya ke Istana Mandalay (tempat komando militer kota itu bermarkas). Mereka berjanji tidak menyakiti kami, tetapi begitu kami berada di istana, mereka mulai memukuli dan menanyai kami.”

Dia menceritakan setelah itu dia dan sejumlah orang lainnya dikirim ke penjara Obo. Mereka ditahan di satu ruangan, berisi 50 orang.

“Kami semua harus berbagi satu toilet, dan hanya bisa mandi sekali sehari. Saat itu musim panas, waktu terpanas sepanjang tahun, dan tidak ada cukup air minum."

Dalam foto yang disediakan Free Burma Rangers ini menunjukkan warga desa berlindung di tempat terbuka akibat serangan udara, Sabtu, (27/3/2021) di Deh Bu Noh, di negara bagian Karen, Myanmar. Jet-jet militer Myanmar menghantam sebuah desa di Negara Bagian Karen pada Sabtu malam, menewaskan beberapa orang dan melukai lainnya, menurut organisasi bantuan.FREE BURMA RANGERS via AP PHOTO Dalam foto yang disediakan Free Burma Rangers ini menunjukkan warga desa berlindung di tempat terbuka akibat serangan udara, Sabtu, (27/3/2021) di Deh Bu Noh, di negara bagian Karen, Myanmar. Jet-jet militer Myanmar menghantam sebuah desa di Negara Bagian Karen pada Sabtu malam, menewaskan beberapa orang dan melukai lainnya, menurut organisasi bantuan.

Baca juga: Aktor Myanmar Paing Takhon Dipenjara 3 Tahun dengan Kerja Paksa

Luke ditahan di penjara selama 87 hari, sebelum dibebaskan dengan amnesti. Sekarang, dia bekerja di ruang operasi berjalan di Mandalay yang tersembunyi di dalam kontainer pengiriman.

“Pencahayaan tidak terlalu bagus. Tapi kami melakukan apa yang kami bisa. Di penjara, saya melihat beberapa luka tembak yang tidak dirawat dengan baik di rumah sakit pemerintah dan beberapa meninggal karena luka itu.”

Rumah sakit-rumah sakit pemerintah kata dia memang memiliki peralatan yang lebih baik, tetapi tidak cukup spesialis dan perawat yang terampil. Mereka bahkan sering tidak menerima pasien yang membutuhkan perawatan kritis.

“Saya pikir perawatan medis kami lebih baik, karena kami memiliki lebih banyak spesialis daripada mereka (pendukung militer Myanmar). Masalah utama kami adalah bahwa kita tidak bisa bekerja secara terbuka," keluhnya.

Beberapa perawat lainnya mengaku kepadanya, bahwa mereka bekerja di klinik amal tersembunyi di Yangon dan Mandalay. Mereka harus menyamar sebagai pusat pengujian Covid, untuk menghindari serangan militer.

Tapi, sebagian besar dari mereka harus pindah rumah beberapa kali karena takut ditangkap.

Ketika mereka pergi bekerja, mereka mengenakan pakaian biasa, bukan seragam, dan meninggalkan ponsel mereka jika ditahan. Mereka harus selalu berhati-hati untuk menghindari jebakan yang dibuat oleh militer, beberapa tenaga kesehatan Myanmar telah ditangkap dengan cara ini.

Baca juga: 30 Orang Lebih Tewas Ditembak Lalu Dibakar oleh Militer Myanmar pada Hari Natal

"Kami harus waspada ketika kami dipanggil ke rumah pasien", kata Nway Oo, seorang perawat yang telah kembali dari Yangon ke kampung halamannya di Negara Bagian Shan.

"Kami cek ke orang-orang kami di daerah itu untuk memastikan apakah pasien itu benar-benar sakit. Jadi, kami selalu menunggu satu hari untuk memastikan pasien itu asli."

Perawat lain mengaku tidak meninggalkan rumahnya di Yangon selama lima bulan, dan hidup dalam ketakutan akan terhadap pasukan keamanan yang melakukan inspeksi rumah.

Seorang warga suku Karen mendapat pertolongan dari petugas di wilayah Thailand setelah militer Myanmar melancarkan serangan di Negara Bagian Karen.ROYAL THAI ARMY/EPA via BBC INDONESIA Seorang warga suku Karen mendapat pertolongan dari petugas di wilayah Thailand setelah militer Myanmar melancarkan serangan di Negara Bagian Karen.

Melawan Covid-19 Myanmar

Sangat bergantung pada telemedicine, sistem kesehatan bawah tanah Myanmar juga berjuang untuk merawat pasien selama lonjakan infeksi Covid-19 Myanmar pada Juli dan Agustus.

Myanmar telah memulai program vaksin yang menjanjikan sebelum kudeta, tetapi terhenti setelah militer merebut kekuasaan. Salah satu dari mereka yang ditangkap adalah dokter yang bertanggung jawab atas peluncuran vaksin.

Militer Myanmar berjanji mempercepat vaksinasi, tetapi terhambat oleh kurangnya staf terlatih, kurangnya vaksin, dan kurangnya kepercayaan publik pada sistem kesehatan yang dijalankan militer.

Sementara itu, NUG meluncurkan program vaksinnya sendiri pada Juli. Tetapi program ini sebagian besar terbatas pada daerah perbatasan di bawah kendali tentara pemberontak etnis yang simpatik.

Varian Delta dari Covid tampaknya telah menyebar di Myanmar pada Juli dan Agustus. Jumlah korban sebenarnya sulit diketahui. Semua perawat dan dokter yang berbicara kepada BBC mengatakan pasien yang sakit parah ditolak dari rumah sakit pemerintah, dan harus pulang, entah untuk sembuh, atau mati.

Baca juga: Tambang Batu Giok Myanmar Longsor, 80 Orang Dikhawatirkan Tersapu

Pada September, jumlah Covid-19 Myanmar telah turun tajam. Tetapi Myanmar tetap rentan terhadap wabah di masa depan, dengan tingkat vaksinasi masih jauh di bawah negara-negara tetangga.

“Saat wabah Covid terparah tahun ini, kami berusaha mendapatkan obat-obatan, oksigen konsentrator, silinder, dan peralatan lainnya. Ini adalah situasi yang sangat sulit. Tetapi kami memiliki tenaga, karena saya yakin 70 hingga 80 persen tenaga medis bekerja dengan kami," kata Zaw Wai Soe kepada BBC.

“Kami kehilangan masa depan”

Ditanya soal mengapa petugas medis Myanmar berperan besar dalam menentang kudeta, Zaw Wai Soe percaya itu adalah respon moral dari sebuah profesi yang sangat diabaikan selama periode pemerintahan militer sebelumnya, ketika Myanmar memiliki salah satu tingkat pengeluaran perawatan kesehatan terendah di dunia.

Kondisi itu baru mulai berubah di bawah pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, dengan upaya perekrutan besar-besaran untuk mendatangkan staf baru.

“Jika dibandingkan dengan negara lain, kami tidak mendapatkan gaji yang besar. Sebagian besar dari kami dapat dengan mudah pergi dan mendapatkan lebih banyak bekerja di negara lain, seperti Malaysia, Singapura dan Brunei. Tapi, terutama setelah Covid tiba tahun lalu, kami memberikan semua upaya kita untuk negara.”

Menurutnya, semua berharap akan memiliki masa depan yang lebih baik suatu hari nanti, dengan pemerintah terpilih pada akhir 2020. Tapi tiba-tiba kudeta ini terjadi.

“Itu sebabnya kami tidak bisa menerima ini. Kami bekerja untuk rakyat, bahkan dengan gaji dan standar hidup yang buruk. Kami memiliki harapan untuk masa depan, dan tiba-tiba kami kehilangan masa depan itu.”

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com