Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyelisik Video Prank Galih Loss yang Meresahkan, Ini Pandangan Sosiolog

Kompas.com - 18/04/2024, 20:30 WIB
Alicia Diahwahyuningtyas,
Mahardini Nur Afifah

Tim Redaksi

Kemudian, yang menjadi masalah secara sosiologis yakni prank menjadi tidak relevan atau tidak dapat ditoleransi, yaitu ketika prank itu dirayakan dan ditayangkan sebagai pertunjukan.

"Guyonan itu konteksnya ya guyonan, tapi ketika itu diunggah di media sosial dan disebarluaskan, maka ini yang sering kali mengganggu orang, bukan hanya orang yang di prank tapi mereka yang menyaksikannya juga," sambung dia.

Baca juga: YouTuber Ditembak Saat Lakukan Prank, Warganet dan Juri Bela Pelaku

Prank kelewat batas mengganggu norma masyarakat

Drajat mengungkapkan, dalam konteks-konteks tertentu, prank juga bisa mengganggu standar norma atau kebisaan umum di masyarakat.

"Jadi prank itu juga bisa mengganggu dan yang terganggu masyarakat," kata dia.

Misalnya, kata dia, ada orang yang di-prank dengan perilaku asusila atau melecehkan, dalam kasus ini bahkan sampai menuduh menghamili orang.

"Karena dalam video itu tidak disebutkan sebagai prank di awal atau di akhir tayangannya, maka bagi masyarakat dan keluarga yang tidak mengetahui itu prank bisa menganggap itu bukan lagi guyonan dan justru menjadi aib,” ungkap Drajat.

"Nah, di sini perlindungan bagi korban-korban prank yang tidak terlindungi dari penyebaran pertunjukan prank yang menurut mereka telah melampaui batas norma mereka itu sebenarnya harus dilakukan, harus ada akses untuk perlindungannya," imbuh dia.

Adapun bila prank disiarkan di televisi, perlindungan korban bisa dilakukan melalui lembaga sensor atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan penayangannya bisa dikontrol.

Akan tetapi, apabila prank meresahkan kadung diunggah dan tersebar di media sosial, maka hal itu dapat menjadi persoalan.

"Dalam konteks video prank Galih Loss ini kan tidak ditunjukan atau dijelaskan, ini prank atau guyonan, ataun minta izin terkait penayangan video tersebut. Sehingga orang lain yang melihat itu nampak seperti kejadian sungguhan. Itu dapat memengaruhi konteks orang dalam berfikir," jelas Drajat.

Ia menyebut bahwa prank seperti inilah yang kemudian tidak bisa dikategorikan ke dalam tolerence of intolerence.

Di mana yang awalnya sebuah prank guyonan, berubah menjadi konten serius yang meresahkan masyarakat.

"Dampaknya, korban yang mengalami prank bisa mengalami kekerasan simbolik dan itu bisa menghancurkan reputasi dia, keluarga, atau orang terdekatnya. Itu yang perlu diantisipasi," kata dia.

Drajat menyampaikan, dalam bersosialisasi ada norma sosial yang harus dijalankan sehari-hari, demikian juga dengan netiket atau norma dalam bermedia sosial.

Pada dasarnya netiquette merupakan panduan untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan kaidah normatif di lingkungan Internet.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com