"Pemerintah berinvestasi banyak untuk membangun infrastruktur transportasi, terutama menambah jalur kereta cepat dari kota-kota satelit. Ini supaya penduduk yang tinggal di kejauhan bisa bepergian ke pusat kota dengan lebih mudah,” kata dia.
"Kebanyakan menyukai kota-kota baru ini karena dilengkapi fasilitas baru, sekolah dan rumah sakit modern, serta kualitas hidup yang lebih baik, tapi mereka masih bisa bekerja di Seoul.”
Studi yang dibuat ECA Internatonal, sebuah perusahaan konsultan mobilitas dan transportasi, menemukan bahwa Seoul sebagai kota kesepuluh paling mahal di dunia untuk kaum ekspatriat.
Adapun Hong Kong masih berdiri di urutan teratas, diikuti Tokyo, Shanghai dan Guanghzhou di China.
Dampaknya, tidak sedikit perusahaan Korea yang mengaku kesulitan merekrut tenaga kerja berkualitas, terutama untuk bidang sains, teknologi, dan mesin.
Baca juga: AS Pulangkan Dua Anggota Dinas Rahasia Setelah Insiden di Korea Selatan
Pinkston mengakui, perusahaan yang mencari sentra bisnis alternatif di Asia Pasifik kemungkinan tidak akan melirik Seoul.
Namun, hal ini lebih berkaitan dengan pergeseran tren bisnis yang menjauhi cara-cara "tradisional.”
"Ada banyak perusahaan startup teknologi yang didirikan oleh anak muda. Mereka biasanya tidak ingin menempuh jalur tradisional dengan berkuliah di sekolah elit dan melanjutkan bekerja di perusahaan besar di Korea,” kata dia.
"Kami mulai menjauhi model tersebut.”
Menurutnya, salah satu keuntungan terbesar perekonomian modern berbasis teknologi adalah bahwa perusahaan tidak lagi harus menghabiskan uang untuk menyewa kantor mahal di kompleks bisnis mewah.
Namun, apa yang baik bagi pelaku usaha, belum tentu berdampak positif bagi kota seperti Seoul.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.