Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekerasan Seksual di Mesir, Melawan Budaya Diam

Kompas.com - 18/09/2020, 06:53 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Editor

Sebaliknya, responden perempuan lebih terbuka untuk berubah daripada rekan pria mereka dan mendukung kesetaraan gender.

Arafa, yang merupakan ibu dari seorang anak laki-laki, menganjurkan perubahan dalam cara mendidik anak laki-laki.

Menurut Arafa, cara membesarkan anak laki-laki untuk menjadi superior dan berkuasa, harus diakhiri. Sebaliknya, anak laki-laki harus "menghormati anak perempuan dan mempelajari batasan".

Dia juga melihat masalah pada fakta bahwa anak laki-laki dibesarkan untuk tidak menunjukkan emosi.

“Kerentanan mengekspresikan emosi dianggap sebagai kelemahan. Seiring bertambahnya usia, mereka menekan perasaan mereka dan memprosesnya menjadi agresi, ”kata Arafa.

Baca juga: Tragedi Pemerkosaan Terhadap Lebih dari 50 Wanita, Mesir Mulai Anggap Kejahatan Seksual sebagai Kasus Penting

Menuduh dan budaya diam

Keluarga terus menjunjung tinggi reputasi mereka, tetapi terutama pada reputasi anggota perempuan mereka.

Segala sesuatu yang dilakukan seorang perempuan, mulai dari bagaimana cara dia berpakaian, dengan siapa dia terlihat di depan umum, semua hal itu tidak hanya berada di bawah pengawasan penuh kecurigaan oleh keluarganya sendiri, tetapi oleh masyarakat secara keseluruhan.

Saat perempuan mengalami pelecehan seksual, pertanyaan pertamanya selalu: Pakaian apa yang Anda kenakan dan mengapa Anda berada di sana? Dengan demikian, rasa bersalah sudah ditetapkan terhadap korban.

Telah lama terbukti bahwa pakaian tidak menjadi penyebab seseorang mengalami kekerasan seksual.

Sebaliknya, faktor-faktor seperti kesempatan dan motivasi pelaku berperan dalam pemilihan korban.

Tetapi anggapan bahwa perempuan memprovokasi terjadinya pelecehan seksual, tampaknya tertanam kuat dalam pemikiran sosial.

Struktur ini juga dipertahankan oleh beberapa kalangan perempuan sendiri, yang juga ikut serta dalam menyalahkan korban dan bahkan membela para terpidana.

Dalam kasus ini juga, Arafa mengidentifikasi cara pengasuhan sebagai masalah sebenarnya, “Beginilah cara kami dibesarkan. Perempuan percaya bahwa apapun yang dilakukan pria adalah benar. Masyarakat tidak diizinkan untuk menghakiminya."

Kategorisasi sosial ke dalam perempuan baik dan buruk, menurut aktivis hak asasi manusia dan direktur LSM Nazra Untuk Studi Feminis, Mozn Hassan, adalah salah satu alasan utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan menggambarkan pola pikir sebagai berikut,

“Ada perempuan baik-baik yang pantas mendapatkan perlindungan, namun perempuan tidak baik-baik tidak pantas."

Penjahat seperti Zaki memanfaatkan struktur pemikiran ini. Mereka tahu bahwa kalaupun perempuan itu dipercaya sebagai korban, reputasi mereka dipertaruhkan, karena dianggap provokatif.

Oleh karena itu, banyak perempuan lebih memilih untuk diam atau bahkan membiarkan diri mereka diperas untuk melakukan tindakan seksual, selama tidak ada yang tahu tentang "rasa malu" yang mereka rasakan.

Motivasi untuk melindungi reputasi diri sendiri atau anggota keluarga perempuan dengan segala cara menjelaskan mengapa kejahatan seksual sering tidak dilaporkan. Masalah lainnya adalah sistem peradilan di Mesir.

Baca juga: Dianggap Mengundang Syahwat, Penari Perut asal Mesir Ini Dipenjara 3 Tahun

Hukum tidak berarti keadilan

Berdasarkan pasal 267 hukum pidana di Mesir, pemerkosaan merupakan tindak pidana, tetapi perkosaan dalam perkawinan dikecualikan.

Selain itu, penyerangan hanya dianggap pemerkosaan jika penetrasi penuh telah terjadi. Bila tidak ada penetrasi penuh, maka tindakan tersebut akan diturunkan peringkatnya sebagai kekerasan seksual. Hukuman untuk vonis bersalah adalah penjara seumur hidup atau hukuman mati.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com