Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Ini dalam Sejarah: Gunung Tambora di NTB Meletus, Dampaknya Terasa sampai Eropa

Kompas.com - 10/04/2023, 06:45 WIB
Yefta Christopherus Asia Sanjaya,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), meletus hebat pada 10 April 1815 atau tepatnya 208 tahun lalu.

Letusan Gunung Tambora menjadi salah satu peristiwa paling kelam di muka bumi karena dampaknya yang luar biasa bagi manusia dan lingkungan.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa letusan itu menewaskan 71.000 orang di Sumbawa dan memuntahkan 140 miliar ton magma.

Gunung Tambora juga mengeluarkan abu vulkanik saat meletus yang menyebabkan iklim di beberapa wilayah di dunia mengalami anomali.

Berikut kronologi dan dampak yang disebabkan oleh letusan gunung setinggi 2.750 meter tersebut.

Baca juga: Mengenal Gunung Tambora yang Letusannya Membuat Dunia Merasakan Tahun Tanpa Musim Panas

Kronologi letusan Gunung Tambora

Letusan Gunung Tambora terekam dalam "Transactions of the Batavian Society" Vol III 1816 dan "The Asiatic Journal" Vol II, Desember 1816.

Dilansir dari Kompas.com, berikut gambaran situasi ketika dan setelah Gunung Tambora meletus di beberapa wilayah.

Sumenep, 10 April 1815

Suara letusan yang begitu kencang saat Gunung Tambora meletus terdengar di Sumenep, Madura, pada 10 April 1815 sore hari.

Menurut catatan sejarah, suara letusan gunung tersebut mengguncang kota bak bunyi meriam yang mengeluarkan tembakan.

Suara keras disusul atmosfer yang menjadi tebal pada sore keesokan harinya. Kondisi ini memaksa warga menghidupkan lilin pada pukul 16.00.

Tak sampai di situ, perubahan lain yang dirasakan saat letusan Gunung Tambora adalah surutnya air laut pada 11 April 1815 pada pukul 19.00.

Air deras dari teluk kemudian terjadi yang menyebabkan air sungai naik hingga 4 kaki dan surut dalam waktu 4 menit.

Baca juga: Ilmuwan: Letusan Gunung Tambora Sebabkan 3 Tahun Perubahan Iklim

Banyuwangi, 10 April 1815

Banyuwangi menjadi wilayah lain yang menjadi saksi letusan Gunung Tambora pada 10 April 1815.

Ketika malam hari, warga mendengar semakin sering mendengar suara ledakan. Namun, intensitasnya terus berkurang keesokan paginya dan baru benar-benar berhenti pada 14 April 1815.

Bengkulu, 11 April 1815

Suara letusan Gunung Tambora terdengar hingga ke Bengkulu atau Fort Marlboro pada 11 April 1815 pagi hari.

Beberapa pemimpin melaporkan adanya serangan senjata api sejak fajar menyingsing, tetapi orang-orang yang melakukan penyelidikan tidak menemukan apa pun.

Gresik, 12 April 1815

Satu hari setelah Gunung Tambora meletus, kegelapan menyelimuti Gresik, Jawa Timur, pada pukul 09.00.

Warga yang tinggal di wilayah Kradenan mengaku bahwa teras rumah mereka ditutupi lapisan abu tebal.

Mereka terpaksa sarapan dengan bantuan cahaya lilin pada pukul 11.00 dan terdengar kicauan burung jelang siang hari.

Sinar Matahari mulai tampak pada pukul 11.30 dan kondisi semakin terang pukul 05.00, tetapi warga belum bisa menulis atau membaca tanpa bantuan cahaya lilin.

Baca juga: Kisah Unik Desa Pancasila di Kaki Gunung Tambora, Seperti Apa?

Makassar, 12-14 April 1815

Makassar, Sulawesi Selatan, yang berjarak 378 kilometer dari Gunung Tambora merasakan perubahan cuaca akibat letusan ini.

Pada 12-15 April 1815, sinar matahari terhalang abu dan udara masih tipis dan berdebu.

Catatan sejarah menunjukkan embusan angin sedikit dan terkadang tidak ada sama sekali.

Di sisi lain, warga yang berlayar hanya merasakan sedikit angin pada 15 April 1815. Lalu, ditemukan juga batu-batu terapung di lautan dan air tertutup debu.

Pantai pasir juga bercampur dengan batu-batu berwarna hitam, perahu sulit menembus teluk Bima, dan pohon-pohon bertumbangan.

 

Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat. (Sumber: BTN Tambora) Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat. (Sumber: BTN Tambora)

Dampak letusan Gunung Tambora

Letusan Gunung Tambora yang disebut sebagai letusan gunung api terbesar dalam sejarah menyebabkan dampak yang tidak main-main.

Dilansir dari Kompas.com, letusan gunung tersebut menyebabkan kelaparan di Eropa dan Amerika.

Bencana kelaparan disebabkan oleh abu vulkanik yang menyebabkan tahun tanpa musim di dua benua tersebut.

Tak sampai di situ, dunia juga mengalami pendinginan pasca-letusan Gunung Tambora.

Bumi mengalami penurunan suhu sebesar 0,4-0,7 derajat celsius dan kondisi ini menyebabkan kegagalan panen secara global.

Di sisi lain, tidak ada musim panas pada tahun 1816 yang disusul turunnya salju di Albany, New York, pada bulan Juni.

Ratusan ribu orang meninggal karena kondisi tersebut. Bahkan, sungai es juga terlihat di Pennsylvania pada bulan Juni.

Baca juga: 10 April Gunung Tambora Menggetarkan Dunia

Letusan Gunung Tambora mengilhami penemuan sepeda

Banyaknya material vulkanik dan jumlah korban tewas membuat letusan Gunung Tambora termasuk letusan gunung berapi terkuat dalam sejarah.

Akan tetapi, belum banyak yang menyadari bahwa peristiwa tersebut mengilhami penemuan alat transportasi tanpa mesin, yaitu sepeda.

Perlu diketahui bahwa letusan Gunung Tambora menyebabkan suhu rata-rata di Bumi turun hingga 3 derajat celsius.

Kondisi seperti itu menyebabkan beberapa wilayah di belahan Bumi utara tidak mengalami musim panas selama satu tahun.

Akibatnya, banyak binatang ternak mati kelaparan akibat kegagalan panen. Salah satu binatang ternak yang mati adalah kuda.

Matinya banyak kuda membuat manusia merugi karena binatang ini sering dimanfaatkan sebagai sarana transportasi.

Baca juga: Dahsyatnya Letusan Gunung Tambora, Hancurkan 3 Kerajaan di Sumbawa

Awal mula penemuan sepeda

Berawal dari situ, tercetuslah ide melahirkan alat transportasi tanpa mesin yang bisa digerakkan manusia tanpa bantuan binatang.

Karl von Drais dari Jerman lalu menciptakan kendaraan dengan dua roda pada tahun 1817.

Dilansir dari Kompas.com, kendaraan yang diciptakan Drais dikenal di seluruh Eropa, tetapi diberi nama yang berbeda.

Sebagian orang menyebut kendaraan roda dua bikinan Drais sebagai hobby horse, draisienne, dan dandy horse.

Saat pertama kali diluncurkan, sepeda tersebut mempunyai berat hingga 23 kilogram dan rodanya masih terbuat dari kayu.

Setang terbuat dari kayu dengan tambahan tempat duduk dari kulit yang dipaku ke kerangka sepeda.

Kepopuleran sepeda di Eropa

Drais kemudian membawa sepeda buatannya ke Inggris dan Perancis yang membuat kendaraan ini sangat populer.

Denis Johnson, warga dari Inggris lalu membuat sepeda versinya sendiri dan menjualnya kepada para bangsawan London.

Sepeda akhirnya menuai kesuksesan selama beberapa tahun, tetapi sempat dilarang pada tahun 1820-an karena dinilai membahayakan pejalan kaki.

Sepeda yang sempat menghilang kembali muncul pada tahun 1860-an dengan perubahan yang kentara.

Roda sepeda sudah terbuat dari baja, sedangkan bahan kayu masih dipertahankan sebagai kerangka.

Setelah itu, terciptalah pedal yang mengubah cara gerak sepeda. Sebelumnya, kendaraan ini bergerak menggunakan kekuatan yang digerakkan ke depan.

Karl Kech dari Jerman pernah mengeklaim bahwa ia adalah orang pertama yang menyematkan pedal ke sepeda tahun 1862.

Namun, Pierre Lelement yang berstatus pembuat kereta asal Perancis pada tahun 1866 yang mendapat paten pedan.

Baca juga: 6 Bencana Alam Dahsyat dalam Sejarah Dunia, Salah Satunya Letusan Gunung Tambora

(Sumber: Kompas.com/ Nur Fitriatus Shalihah, Luthfia Ayu Azanella | Editor: Rendika Ferri Kurniawan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com