Para public figure pun mulai melirik dunia NFT. Mereka adalah penyanyi dan pencipta lagu Anang Hermansyah dengan proyek Asix Token, yang beberapa waktu lalu dilarang diperjualbelikan.
Ada pula penyanyi Syahrini yang menjual Syahrini’s Metaverse Tour yang langsung ludes setelah dirilis. Karyanya dijual seharga 20 BUSD atau sekitar 19,99 dollar AS.
Tak ketinggalan pengamat politik Denny JA, yang berhasil menjual karya NFT pada April 2021. Karya tersebut adalah sebuah lukisan dirinya yang mampu terjual seharga 27,5 WETH atau sekitar Rp 1 miliar.
Ada pula komposer Ananda Sukarlan yang menjual dua karya piano sebagai NFT dan mampu terjual senilai Rp 1 miliar (CNBC, 2022).
Lalu bagaimana selanjutnya kehidupan para kreator konten kini dan nanti? Bisa jadi konten apapun bentuknya saat ini mampu diterjemahkan dalam bentuk konset asset di masa datang.
Dengan NFT, karya seni dapat ‘ditoken’ untuk membuat sertifikat kepemilikan digital yang dapat dibeli dan dijual.
Meski file digital dapat terus diduplikasi, disalin dan dibagikan berkali-kali, namun dalam banyak kasus, artis mempertahankan kepemilikan hak cipta atas karyanya sehingga mereka dapat terus memproduksi.
Hal ini juga kontradiktif sebab pembeli NFT yang memiliki token juga mampu membuktikan bahwa merek memiliki karya asli di metaverse.
Fenomena berkegiatan di dunia metaverse yang berbeda dengan dunia nyata, kemudian menjadi sebuah tren dan akhirnya menjadi kenormalan bagi masyarakat sangat menarik ketika dikaitkan dengan Teori Identitas Sosial karya Henri Tajfel, seorang psikolog masalah sosial.
Dalam teori ini dikatakan bahwa perasaan seseorang tentang siapa mereka didasarkan pada keanggotaan kelompok mereka.
Dunia bagi manusia hanya terbagi atas dua, yaitu “mereka” dan “kami.” Pembagian ini didasarkan pada proses kategori sosial, di mana masing-masing orang menempatkan dirinya dalam kelompok sosial berdasarkan persamaan yang dimiliki dengan orang lain atau sebaliknya, berdasarkan perbedaannya dengan orang lain.
Ada tiga tahap dalam teori ini, yakni Social Categorization, Social Identification dan Social Comparison.
Dalam tahap Social Categorization, manusia akan mengelompokkan hal-hal yang mereka lihat dan pahami. Hal ini berlaku untuk hal-hal baru seperti dunia virtual layaknya metaverse ini.
Selanjutnya dalam tahap Social Identification, hal-hal yang dipahaminya tadi kemudian diidentifikasikan dan dicari yang paling sesuai dengan pemikirannya.
Ketika seseorang telah memahami konsep NFT dan metaverse, dirinya kemudian akan mencari cara bagaimana bisa bergabung dan menjalani kehidupan secara virtual tadi.
Efeknya, dia akan mengadopsi pemikiran-pemikiran futuristik yang disampaikan oleh para inovator.
Di tahap Social Comparison, manusia biasanya akan membandingkan dirinya atau kelompoknya dengan kelompok lain.
Jika dianggap kelompok yang diikutinya lebih baik, hal ini akan menaikkan kepercayaan dirinya.
Di sinilah konsep kompetisi dan kekerasan mulai muncul karena dianggap tidak sekadar berkompetisi untuk mendapatkan sesuatu, tetapi sebagai hasil untuk mempertahankan identitas mereka.
Bayangkan jika semua orang telah nyaman hidup dan berkegiatan di dunia virtual metaverse, akankah kehidupan nyata yang riil masih menjadi pilihan?
Ataukah justru manusia tak bisa membedakan kehidupan nyata dan kehidupan virtualnya? Hanya waktu yang dapat menjawab bagaimana manusia hidup dalam metaverse.
Diah Ayu Candraningrum, MBA., M.Si
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara
Mahasiswa Program Doktoral Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia