Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Content Creator di Era Metaverse

Kompas.com - 07/03/2022, 11:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh:Diah Ayu Candraningrum, MBA., M.Si

PROFESI sebagai content creator kini semakin sering terdengar. Setiap jari kita scroll up di akun media sosial dan berhenti di tampilan yang isinya dianggap menarik, itulah bukti bahwa content creator bekerja dengan baik di akun media sosial tersebut.

Apakah pemilik akun media sosial bekerja sendiri—memilih materi content (konten) hingga proses produksi dan editing—atau dibantu tim produksi konten khusus, semuanya menentukan kapan kita berhenti untuk memperhatikan detail konten yang disajikan.

Dari mulai public figure, politikus, pengusaha, dosen, mahasiswa bahkan anak kecil pun menjalankan profesi ini. Mereka sibuk mempersiapkan materi konten untuk akun media sosialnya.

Tak jarang sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai influencer atau pemberi pengaruh, yang rajin mengumpulkan pengikutnya di dunia maya.

Terbaru pada 9 Februari 2022 lalu, Majalah Forbes Indonesia memilih lima kreator digital yang dinilai berhasil membangun kekayaan dan ketenarannya melalui berbagai platform digital, serta mengunggah konten di sosial media yang positif.

Pasangan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, muncul sebagai halaman muka Majalah Forbes Indonesia’s Second Annual Digital Stars Issue dan dijuluki “Sultan konten”.

Dilansir dari Forbes, Raffi Ahmad dan Nagita Slavina sebagai pembuat konten menggunakan platform mereka untuk tujuan hiburan, menyuarakan pesan sosial di masa sulit pandemi ini, membantu UMKM, dan memperluas konten sehingga menjadi bisnis yang mapan.

Mereka tak lagi berjuluk ‘entertainers’ melainkan telah berkembang menjadi ‘entrepreneurs’.

Kisah sukses pasangan selebritas Raffi Ahmad-Nagita Slavina bisa jadi contekan. Maklum, RANS Entertainment, perusahaan besutan keduanya berhasil menarik 23 juta subscriber di Youtube.

Sedangkan konten dalam kanal RANS Entertainment telah ditonton lebih dari 5,1 miliar kali per 20 Februari 2022.

Meski demikian, bukan hanya mereka public figure yang sukses mengelola konten akun media sosialnya.

Ada banyak tokoh populer tanah air dari berbagai latar belakang profesi, yang sukses meraup untung besar dari akun YouTube yang dikelolanya.

Sebut saja Atta Halilintar, yang pernah menjadi content creator YouTube dengan subscribers terbanyak di Indonesia.

Pada September 2019, kanal YouTube miliknya telah diikuti oleh 18,7 juta subscribers. Efeknya, Atta mampu mengantongi lebih dari Rp 8 miliar setiap bulannya.

Yang fenomenal, suami Aurel Hermansyah ini berhasil mencetak rekor dalam sejarah YouTube pertama dari Asia Tenggara yang berhasil mendapat subscribers terbanyak pada tahun 2018 dan YouTuber dengan jumlah subscribers terbanyak di Asia Tenggara pada 2020.

Nama lain yang tak kalah fenomenal adalah Ria Ricis. Pada akhir 2021 lalu, istri pengusaha Teuku Ryan ini dinobatkan sebagai YouTuber dengan jumlah subscribers terbanyak se-Asia Tenggara, mengalahkan YouTuber ternama, Atta Halilintar.

Dengan 28,1 juta subscribers yang dimilikinya, Ria banyak membuat konten lucu sehingga diminati banyak orang.

Selain mereka bertiga, masih ada lagi selebritas yang dinyatakan sebagai YouTuber Indonesia paling kaya di antaranya selebritas Deddy Corbuzier (dengan jumlah subscribers 17,7 juta) dengan isu variatif yang diusung di setiap video unggahannya.

Juga pasangan artis Baim Wong dan Paul Verhoeven (dengan jumlah subscribers 20 juta), yang banyak mengusung tema kisah lucu kedua putranya serta kebaikan untuk berbagi bersama orang lain.

Namun kini dengan maraknya dunia metaverse, profesi content creator agaknya mulai mengalami pergeseran.

Para kreator tersebut tidak hanya mengisi lapak di media sosial, namun juga mengisi ruang virtual di internet sehingga membuat seseorang dapat membuat dan menjelajah dengan pengguna internet lainnya yang tidak berada di ruang fisik yang sama dengan orang tersebut.

Seperti diketahui, Facebook telah berganti nama menjadi Meta Platforms Inc. atau disingkat Meta pada Oktober 2021 lalu.

Meski belum ada bentuk kongkretnya saat itu, namun ide-ide futuristik yang lontarkan CEO Facebook Mark Zuckerberg, dikenal dengan istilah ‘metaverse’, yakni sebuah lingkungan virtual yang bisa dimasuki manusia meski dalam bentuk avatar.

Gambaran sederhananya seperti ini: metaverse adalah ruang virtual, tempat di mana seseorang dapat membuat dan menjelajah ‘dunia’ tersebut bersama dengan pengguna internet lainnya, yang tidak berada di ruang fisik yang sama dengan orang tersebut (CNBC, 2021).

Meski ide ini sungguh cerdas, namun sebetulnya Zuckerberg bukanlah orang pertama yang mempopulerkan istilah ‘metaverse’ ke dunia internasional.

Adalah Neal Stephenson yang menciptakan istilah ini dalam novel karyanya tahun 1992 berjudul Snow Crash.

Dijelaskan di sana, istilah ‘metaverse’ merujuk pada dunia virtual 3D yang dihuni oleh avatar.

Dengan bahasa yang lebih sederhana, ‘metaverse’ adalah dunia komunitas virtual tanpa akhir yang saling terkoneksi.

Di sini, banyak orang dapat melakukan berbagai kegiatan dengan menggunakan teknologi pembantu seperti headset realitas virtual, kacamata augmented reality (AI), aplikasi ponsel pintar atau perangkat lainnya.

Lalu apa saja yang dapat dilakukan manusia ‘betulan’ di dalam metaverse? Mereka bisa pergi ke konser virtual, melakukan perjalanan online, membuat atau menikmati karya seni, bahkan mencoba pakaian digital untuk dibeli.

Menurut Zuckerberg, banyak pengalaman metaverse yang dapat dihadirkan di sekitar manusia untuk menciptakan kemampuan berteleportasi dari satu pengalaman ke pengalaman lainnya.

Salah satu contoh, menghadirkan semua karyawan dalam bentuk hologram atau AI untuk bergabung dalam bersama dalam sebuah rapat virtual.

Tentu saja ini sebuah teknologi yang jauh lebih maju daripada sekadar melihat rekan kerja di kotak panggilan video seperti di aplikasi video conference yang banyak digunakan saat ini.

Dengan demand yang ada, perusahaan-perusahaan teknologi berusaha melakukan inovasi supaya bisa menghubungkan platform online mereka satu sama lain.

Facebook telah meluncurkan software meeting untuk perusahaan yang dikenal dengan Horizon Workrooms, lengkap dengan headset virtual reality-nya.

Perusahaan Microsoft dan pembuat chip Nvidia sudah siap dengan inovasi membangun dunia dan lingkungan virtual di metaverse.

Perusahaan video game di balik video game Fortnite yang populer, Epic Games, juga telah mengumpulkan dana dari investor untuk membangun metaverse-nya.

Pemain besar lainnya, yakni platform game Roblox, juga telah berencana membangun metaverse tempat orang berkumpul bersama dalam pengalaman 3D.

Tak ketinggalan, perusahaan berbagi konten internasional YouTube di awal Februari ini juga mengumumkan akan terjun ke dunia teknologi Web3 dengan menyiapkan fitur baru terkait non-fungible token (NFT).

Selain itu, YouTube juga ingin menciptakan bermain game dengan lebih banyak interaksi dengan suasana yang hidup melalui metaverse sehingga dapat menjadi sumber pendapatan bagi para kreator (Bisnis.com, 2022).

Bagaimana dengan pemain individu? Dunia metaverse yang amat sangat menjanjikan memang menarik. Namun karena masih amat baru, belum banyak yang bisa berpatisipasi di dalamnya.

Saat ini yang jauh lebih populer adalah non-fungible token (NFT), yakni token unik yang tidak dapat ditukar dengan token lainnya, namun menjadi asset virtual yang menjadi dasar pertumbuhan metaverse.

NFT jelas tak berwujud, namun tergolong sebagai aset digital berbentuk koleksi dalam game, video, gambar atau properti virtual lainnya.

Teknologi NFT adalah teknologi di mana individu memiliki kepemilikan sejati atas aset digital seperti gambar, audio, video di metaverse.

NFT memungkinkan individu untuk menjual, membeli dan mentransfer dalam metaverse atau melalui internet.

Lalu apa manfaatnya bagi masyarakat di dunia nyata? Tentu saja tidak ada. Namun berkat metaverse, tren pasar NFT akan naik tajam dan manusia bisa menggunakan apapun yang mereka beli di platform NFT.

Karena itu dapat dikatakan, segala sesuatu di metaverse atau dunia maya nantinya akan sangat tergantung pada NFT.

Meski demikian, saat ini telah banyak sosok public figure yang meluncurkan NFT-nya. Juga penjualan beberapa karya seni dengan harga menarik.

Pantas hal ini tidak hanya menarik bagi perusahaan teknologi melainkan juga pemain individu. Yang paling fenomenal adalah kisah pemuda bernama Ghozali, yang berhasil meraup Rp 1,7 miliar dari penjualan foto selfie-nya di NFT.

Para public figure pun mulai melirik dunia NFT. Mereka adalah penyanyi dan pencipta lagu Anang Hermansyah dengan proyek Asix Token, yang beberapa waktu lalu dilarang diperjualbelikan.

Ada pula penyanyi Syahrini yang menjual Syahrini’s Metaverse Tour yang langsung ludes setelah dirilis. Karyanya dijual seharga 20 BUSD atau sekitar 19,99 dollar AS.

Tak ketinggalan pengamat politik Denny JA, yang berhasil menjual karya NFT pada April 2021. Karya tersebut adalah sebuah lukisan dirinya yang mampu terjual seharga 27,5 WETH atau sekitar Rp 1 miliar.

Ada pula komposer Ananda Sukarlan yang menjual dua karya piano sebagai NFT dan mampu terjual senilai Rp 1 miliar (CNBC, 2022).

Lalu bagaimana selanjutnya kehidupan para kreator konten kini dan nanti? Bisa jadi konten apapun bentuknya saat ini mampu diterjemahkan dalam bentuk konset asset di masa datang.

Dengan NFT, karya seni dapat ‘ditoken’ untuk membuat sertifikat kepemilikan digital yang dapat dibeli dan dijual.

Meski file digital dapat terus diduplikasi, disalin dan dibagikan berkali-kali, namun dalam banyak kasus, artis mempertahankan kepemilikan hak cipta atas karyanya sehingga mereka dapat terus memproduksi.

Hal ini juga kontradiktif sebab pembeli NFT yang memiliki token juga mampu membuktikan bahwa merek memiliki karya asli di metaverse.

Fenomena berkegiatan di dunia metaverse yang berbeda dengan dunia nyata, kemudian menjadi sebuah tren dan akhirnya menjadi kenormalan bagi masyarakat sangat menarik ketika dikaitkan dengan Teori Identitas Sosial karya Henri Tajfel, seorang psikolog masalah sosial.

Dalam teori ini dikatakan bahwa perasaan seseorang tentang siapa mereka didasarkan pada keanggotaan kelompok mereka.

Dunia bagi manusia hanya terbagi atas dua, yaitu “mereka” dan “kami.” Pembagian ini didasarkan pada proses kategori sosial, di mana masing-masing orang menempatkan dirinya dalam kelompok sosial berdasarkan persamaan yang dimiliki dengan orang lain atau sebaliknya, berdasarkan perbedaannya dengan orang lain.

Ada tiga tahap dalam teori ini, yakni Social Categorization, Social Identification dan Social Comparison.

Dalam tahap Social Categorization, manusia akan mengelompokkan hal-hal yang mereka lihat dan pahami. Hal ini berlaku untuk hal-hal baru seperti dunia virtual layaknya metaverse ini.

Selanjutnya dalam tahap Social Identification, hal-hal yang dipahaminya tadi kemudian diidentifikasikan dan dicari yang paling sesuai dengan pemikirannya.

Ketika seseorang telah memahami konsep NFT dan metaverse, dirinya kemudian akan mencari cara bagaimana bisa bergabung dan menjalani kehidupan secara virtual tadi.

Efeknya, dia akan mengadopsi pemikiran-pemikiran futuristik yang disampaikan oleh para inovator.

Di tahap Social Comparison, manusia biasanya akan membandingkan dirinya atau kelompoknya dengan kelompok lain.

Jika dianggap kelompok yang diikutinya lebih baik, hal ini akan menaikkan kepercayaan dirinya.

Di sinilah konsep kompetisi dan kekerasan mulai muncul karena dianggap tidak sekadar berkompetisi untuk mendapatkan sesuatu, tetapi sebagai hasil untuk mempertahankan identitas mereka.

Bayangkan jika semua orang telah nyaman hidup dan berkegiatan di dunia virtual metaverse, akankah kehidupan nyata yang riil masih menjadi pilihan?

Ataukah justru manusia tak bisa membedakan kehidupan nyata dan kehidupan virtualnya? Hanya waktu yang dapat menjawab bagaimana manusia hidup dalam metaverse.

Diah Ayu Candraningrum, MBA., M.Si
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara
Mahasiswa Program Doktoral Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com