Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiga Peringatan Terbaru WHO: Lonjakan Kasus Covid-19 hingga Nasionalisme Vaksin

Kompas.com - 26/10/2020, 13:50 WIB
Vina Fadhrotul Mukaromah,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta solidaritas global terkait vaksin virus corona di masa mendatang dengan jumlah kasus Covid-19 yang terus meningkat.

Dalam sebuah video saat membuka World Health Summit di Berlin, Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, satu-satunya cara untuk pulih dari pandemi adalah dengan bekerja sama dan memastikan negara-negara yang lebih miskin memiliki akses yang adil terhadap vaksin.

"Wajar jika negara ingin melindungi warga negaranya terlebih dulu, tetapi jika dan ketika kita memiliki vaksin yang efektif, kita juga harus menggunakannya secara efektif," kata Tedros seperti dikutip dari AFP, Senin (26/10/2020).

"Cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan melakukan vaksinasi pada beberapa orang di semua negara daripada semua orang di beberapa negara saja," lanjut dia.

Tedros menegaskan bahwa "nasionalisme vaksin" justru akan memperpanjang masa pandemi, bukan memperpendek.

Sebelum peringatan soal nasionalisme vaksin ini disampaikan, WHO juga telah memperingatkan sejumlah hal terkait dengan kondisi pandemi virus corona di pekan ini, mulai dari pentingnya karantina, lonjakan kasus eksponensial, hingga titik kritis dan jalur bahaya.

Baca juga: WHO: Dunia Berada di Titik Kritis dalam Pandemi Covid-19

Pentingnya karantina

Seperti diberitakan AFP, 20 Oktober 2020, WHO kembali mengingatkan pentingnya pemberlakuan karantina untuk melawan pandemi virus corona yang masih berlangsung hingga kini.

Melihat lonjakan kasus yang terjadi di wilayah Erpa dan Amerika utara, WHO mengimbau perlunya karantina untuk orang-orang yang melakukan kontak dengan kasus positif.

Direktur Program Kedaruratan WHO Michael Ryan menghubungkan tingkat transmisi yang meningkat di belahan bumi bagian utara dengan kegagalan implementasi langkah vital ini.

"Saya tidak yakin bahwa itu (karantina) telah diberlakukan secara sistematis di mana pun," kata Ryan dalam sebuah konferensi pers virtual seperti dikutip dalam laporan AFP, 20 Oktober 2020.

Menurut dia, hal itu menyebabkan tingginya angka kasus baru kembali bermunculan.

Titik kritis dan jalur bahaya

Melansir CNA, Sabtu (24/10/2020), WHO mengatakan bahwa dunia tengah berada di titik kritis dalam pandemi Covid-19.

Bahkan, beberapa negara disebut berada di jalur yang berbahaya.

"Kita berada pada titik kritis dalam pandemi Covid-19, terutama di belahan bumi utara," kata Tedros.

"Beberapa bulan ke depan akan menjadi sangat sulit dan beberapa negara berada di jalur berbahaya," lanjut dia.

Oleh karena itu, WHO mendesak para pemimpin dunia untuk segera mengambil tindakan, terutama untuk mencegah kematian yang dapat terjadi, mencegah kolapsnya sistem layanan kesehatan, dan dampak-dampak lainnya.

Baca juga: WHO dan Wikimedia Foundation Berkolaborasi Cegah Misinformasi

Lonjakan kasus eksponensial

Pada Minggu (25/10/2020), WHO mengumumkan catatan kasus harian tertinggi pada kasus harian Covid-19 global, yaitu sebanyak 465.000.

Mengutip ABC, Minggu (25/10/2020), angka tersebut pun menjadi peningkatan harian tertinggi sejak pandemi corona dimulai.

WHO telah memperingatkan peningkatan eksponensial pada kasus-kasus Covid-19 pada gelombang kedua pandemi.

Tedros sendiri mengatakan, banyak negara yang memperlihatkan kenaikan eksponensial pada kasus-kasus Covid-19 dan menghadapi masalah kekurangan kapasitas rumah sakit serta unit perawatan intensif.

Beberapa negara di Eropa bahkan melaporkan tingkat infeksi yang lebih tinggi daripada gelombang pertama pandemi pada Maret dan April.

Baca juga: WHO Ingatkan Pentingnya Karantina untuk Kendalikan Pandemi Corona

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Seekor Kucing Mati Setelah Diberi Obat Scabies Semprot, Ini Kronologi dan Penjelasan Dokter Hewan

Seekor Kucing Mati Setelah Diberi Obat Scabies Semprot, Ini Kronologi dan Penjelasan Dokter Hewan

Tren
Riwayat Kafe Xakapa di Lembah Anai, Tak Berizin dan Salahi Aturan, Kini 'Tersapu' oleh Alam

Riwayat Kafe Xakapa di Lembah Anai, Tak Berizin dan Salahi Aturan, Kini "Tersapu" oleh Alam

Tren
Video Viral Detik-detik Petugas Damkar Tertabrak hingga Kolong Mobil

Video Viral Detik-detik Petugas Damkar Tertabrak hingga Kolong Mobil

Tren
Izin Paytren Aset Manajemen Dicabut OJK, Ini Alasannya

Izin Paytren Aset Manajemen Dicabut OJK, Ini Alasannya

Tren
Kelas BPJS Kesehatan Dihapus, Kemenkes Sebut KRIS Sudah Bisa Diterapkan

Kelas BPJS Kesehatan Dihapus, Kemenkes Sebut KRIS Sudah Bisa Diterapkan

Tren
Paus Fransiskus Umumkan 2025 sebagai Tahun Yubileum, Apa Itu?

Paus Fransiskus Umumkan 2025 sebagai Tahun Yubileum, Apa Itu?

Tren
Bisakah Cairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan Tanpa Paklaring Usai Resign?

Bisakah Cairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan Tanpa Paklaring Usai Resign?

Tren
Apa Itu Gerakan Blockout 2024 yang Muncul Selepas Met Gala dan Merugikan Taylor Swift juga Zendaya?

Apa Itu Gerakan Blockout 2024 yang Muncul Selepas Met Gala dan Merugikan Taylor Swift juga Zendaya?

Tren
Balon Udara Meledak di Ponorogo, Korban Luka Bakar 63 Persen, Polisi: Masuk Ranah Pidana

Balon Udara Meledak di Ponorogo, Korban Luka Bakar 63 Persen, Polisi: Masuk Ranah Pidana

Tren
Warga Korsel Dilaporkan Hilang di Thailand dan Ditemukan di Dalam Tong Sampah yang Dicor Semen

Warga Korsel Dilaporkan Hilang di Thailand dan Ditemukan di Dalam Tong Sampah yang Dicor Semen

Tren
Harta Prajogo Pangestu Tembus Rp 1.000 Triliun, Jadi Orang Terkaya Ke-25 di Dunia

Harta Prajogo Pangestu Tembus Rp 1.000 Triliun, Jadi Orang Terkaya Ke-25 di Dunia

Tren
Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Tren
Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Tren
Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Tren
Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com