Seperti diketahui, PT Pertamina (Persero) tercatat mengalami kerugian sekitar Rp 11 triliun pada semester 1 tahun 2020.
Menyoal dari hal itu, Komaidi menuturkan, berdasarkan laporan keuangan yang ada, sebenarnya kegiatan operasional penjualan-biaya pokok penjualan masih untung.
"Untuk kerugian, jika mencermati laporan keuangan yang ada relatif dapat dipahami. Artinya rugi datang dari biaya lain-lain di luar biaya pokok penjualan," kata Komaidi.
Menurut Komaidi, dalam konteks laporan keuangan (akuntansi) umum, semester 1 tidak lebih baik dari semester 2.
Baca juga: Pertamina, Skema Baru Pengisian BBM dan Pembayaran Nontunai...
Salah satu penyebabnya yakni banyak biaya-biaya yang sudah keluar di semester 1, penerimaan atas biaya tersebut belum terealisasi di semester 1.
"Ada pula sebab lain, pada semester 1 masih ada peluang adanya pembebanan biaya dari tahun sebelumnya," ungkap dia.
"Misalnya tagihan-tagihan dari vendor yang disampaikan di Desember tahun sebelumnya misalnya akan dibayar di semester 1 tahun berikutnya mengingat proses invoice juga memerlukan waktu," sambung Komaidi.
Laporan kerugian di semester 1 ini, Komaidi melanjutkan, tidak bisa digunakan menjadi indikator akhir karena masih ada semester berikutnya.
Baca juga: Menyoal Pertamina dan Bisnis Anak Cucunya
Komaidi memiliki satu saran utama untuk Pertamina jika ingin menutup kerugian yang mereka alami di semester 1 ini.
Saran itu yakni dengan memaksimalkan di semester 2 nanti.
"Saya kira memaksimalkan di semeter kedua. Maksimalkan penjualan dan minimalkan biaya," jelas Komaidi.
Saat disinggung soal kebijakan Pertamina di masa pandemi virus corona ini, Komaidi melihat upaya yang serius perusahan pelat merah itu.
Baca juga: Jadi Maskapai Pelat Merah, Garuda Indonesia Berawal dari Pesawat Sewa
Sebaliknya, Komaidi justru menyoroti beberapa kebijakan pemerintah.
"Saya kira dari sisi perusahaan (Pertamina) terlihat banyak upaya yang dilakukan untuk menaikkan penjualan. Yang perlu menjadi catatan adalah kebijakan pemerintah. Misalnya menugaskan Pertamina untuk membangun RS untuk Covid," kata Komaidi.
Hal itu, lanjut dia, berdampak bagus dari sisi sosial, namun, dari kacamata usaha akan menjadi beban tersendiri bagi kelangsungan usaha.
"Dari sisi sosial bagus namun dari kacamata usaha tentu ini menjadi beban usaha. Sehingga pemerintah perlu lebih baik lagi ke depan," pungkas Komaidi.
Baca juga: Bantuan UMKM Rp 2,4 Juta, Apakah Semua Pelaku Usaha Bisa Mendapatkannya?
Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhy.
Fahmy menjelaskan, harga BBM non-subsidi Pertamina ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar.
Baca juga: 5 BUMN yang Dominasi Pasar, dari Pertamina hingga Semen Indonesia
Hal itu, lanjut Fahmy, dipastikan dapat bersaing di pasar dalam negeri, dan juga dipastikan menjadi market leader.