Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengkaji Hambatan Historis yang Halangi Tercapainya Perjanjian Damai Israel-Palestina

Kompas.com - 20/11/2023, 21:59 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

Yerusalem dan kembalinya para pengungsi

Status Yerusalem dan kembalinya jutaan pengungsi Palestina merupakan dua hal yang secara historis membuat perundingan damai selalu kandas.

Garis Hijau membagi kota suci tersebut, tempat kelahiran beberapa situs tersuci dari tiga agama monoteistik besar - pembagiannya wilayah barat di Israel dan bagian timur di wilayah Palestina.

Namun, pada perang 1967, Israel merebut bagian timur. Sejak itu kota ini berada di bawah kekuasaan Israel, yang menganggapnya sebagai ibu kota yang tak terpisahkan. Palestina juga mengeklaimnya sebagai ibu kota masa depan negara mereka.

Dewan Keamanan PBB, sesuai dengan konsensus internasional, telah menyatakan aneksasi ini batal demi hukum dalam berbagai kesempatan. Sebagian besar negara yang memiliki hubungan dengan Israel telah membuka kedutaan besar mereka di Tel Aviv.

Namun konsensus ini hancur saat Presiden AS Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada akhir 2017, dan memerintahkan pemindahan kedutaan dari Tel Aviv pada tahun berikutnya.

Sejumlah negara kecil lainnya, termasuk Guatemala, Honduras dan Paraguay mengikuti langkah tersebut, meskipun beberapa negara telah membatalkan keputusan mereka.

Yerusalem Timur adalah salah satu tempat dengan jumlah pemukiman Yahudi terbesar, yang dibangun Israel sebagai tembok pertahanan otentik untuk kota tersebut.

Titik sengkarut historis lainnya adalah permintaan Palestina agar pengungsi dan keturunan mereka di negara-negara tetangga, yang diperkirakan oleh UNRWA mencapai 5,9 juta orang, dapat kembali ke tanah asalnya. Hal ini telah ditolak Israel sejak awal.

Sekitar 750.000 orang melarikan diri atau terusir dari rumah mereka ketika Israel mendeklarasikan kemerdekaannya 75 tahun lalu, dan negara-negara tetangga Arab menyatakan perang. Sekitar 300.000 lainnya terusir selama perang 1967.

Bagi Israel, yang memiliki 9 juta penduduk, kembalinya para pengungsi berarti akhir dari keberadaannya sebagai negara dengan mayoritas penduduk Yahudi.

Hak kembalinya para pengungsi ini diratifikasi melalui resolusi PBB 194, yang disetujui pada 11 Desember 1948.

Namun di Oslo, perbedaan pendapat mengenai kembalinya para pengungsi menjadi salah satu alasan yang membuat negosiasi terhenti.

Baca juga: Muncul Laporan Adanya Kesepakatan Sementara di Gaza: Sandera Dibebaskan, Jeda Perang Diterapkan

Saat ini, para ahli seperti Elham Fakhro berpendapat, "ini merupakan tujuan yang sangat jauh, karena ada masalah yang lebih mendesak, seperti perbatasan, permukiman, atau air".

Meskipun demikian, para pengungsi Palestina di banyak negara ini mengalami kondisi genting.

"Para pengungsi yang pergi, misalnya, ke Amerika Latin diintegrasikan sebagai warga negara, tetapi di negara-negara seperti Libanon, Yordania, atau Suriah, mereka masih tinggal di kamp-kamp pengungsian dan tanpa hak-hak penuh, sehingga mereka selalu berharap untuk dapat kembali," jelas peneliti dari Chatham House ini.

Apakah masih ada harapan solusi dua negara di satu wilayah?

Solusi dua negara, Israel sebagai negara dan Palestina sebagai negara, untuk hidup damai sebagai tetangga, menjadi tujuan yang terus diperjuangkan diplomasi internasional dan dalam wacana-wacana publiknya.

Dalam beberapa minggu terakhir, tokoh-tokoh berpengaruh seperti Presiden Amerika Serikat, Joe Biden dan Paus Fransiskus sekali lagi merujuk pada gagasan 'dua negara' sebagai solusi masa depan bagi konflik yang telah memasuki titik terendah dalam beberapa dekade terakhir.

Jajak pendapat, menurut Dov Waxman, terus menunjukkan bahwa solusi dua negara masih menjadi pilihan utama di antara warga Palestina dan Israel.

Namun, menurut profesor dari University of California ini, situasi di Tepi Barat, dengan ratusan ribu pemukim yang tersebar jauh di wilayah tersebut, membuat sangat tidak mungkin bagi pemerintah Israel mengambil keputusan menggusur permukiman-permukiman ini demi kompromi dua negara.

"Fakta-fakta yang tidak dapat diubah di lapangan telah tercipta selama 55 tahun terakhir," kata Khaled Abu Toameh.

"Israel tidak dapat mengembalikan 100 persen dari apa yang diambilnya pada tahun 1967 karena kenyataan di lapangan tidak mengizinkannya, dan tidak ada pemimpin Palestina yang akan menerima kurang dari 100 persen," katanya.

Sebagian besar warga Palestina tidak mengharapkan solusi apa pun, selain kedaulatan mereka sendiri, sebuah pandangan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat internasional.

Ketika berbicara tentang solusi dua negara, Israel dan Palestina memiliki dua hal yang berbeda, jelas Rashid Khalidi.

Di satu sisi, Palestina menginginkan sebuah negara berdaulat, dengan kendali atas perbatasan, wilayah udara dan wilayah yang disengketakan.

Di sisi lain, kata dia, Israel selalu merujuknya pada sebuah negara khayalan dengan otonomi di bawah kendali keamanan Israel.

"Hampir tidak ada tanah yang tersisa di mana sebuah negara dapat dibangun," kata Elham Fakhro.

Sebagaimana banyak orang saat ini, ia menyesalkan, gagasan tentang dua negara dalam satu wilayah ini, seperti sebuah fantasi indah dari masa lalu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com