Kelompok-kelompok bersenjata memanfaatkan kehadiran keamanan yang lemah di perbatasan terbuka Burkina Faso, untuk melancarkan lebih banyak serangan dan memperkuat kehadiran mereka.
Kelompok ekstrimis juga menyulut ketegangan sektarian antara komunitas Kristen dan Muslim, yang sebelumnya hidup berdampingan di Burkina Faso.
Para militan mengambil keuntungan dari minimnya kehadiran negara dan kurangnya dukungan kemanusiaan, yang telah membuat masyarakat rentan dan mudah direkrut.
Partisipasi politik juga dirusak oleh kehadiran kelompok militan. Pada 2020, para pemilih yang meninggalkan rumah mereka di bagian utara dan timur tidak dapat berpartisipasi dalam pemilihan presiden. Saat itu Kabore terpilih kembali dengan 58 persen suara.
Tekanan kelompok militan pada masyarakat akhirnya meningkatkan ketidakpuasan publik pada masa jabatan kedua presiden.
Baca juga: 5 Agustus dalam Sejarah: Burkina Faso Merdeka dari Koloni Perancis
Perkembangan kudeta Burkina Faso memiliki kesamaan dengan peristiwa di Mali sebelum kudeta militernya sendiri pada Agustus 2020.
Ada serangkaian serangan mematikan terhadap sasaran militer dan sipil, diikuti oleh protes massa yang dipicu oleh semakin kurangnya kepercayaan pada pemerintah Presiden Mali saat itu, Ibrahim Boubacar Keita.
Di Burkina Faso, Pemimpin oposisi utama Eddie Komboigo telah mencoba memanfaatkan ketidakpuasan publik tentang ketidakamanan untuk mengobarkan kemarahan.
Tapi sementara publik di Mali secara luas mendukung kudeta militer, Burkina Faso mungkin perlu waspada terhadap ketidakstabilan lebih lanjut setelah tentara mengambil alih.
Baca juga: Angelina Jolie Kunjungi Pengungsi Korban Konflik Mali di Burkina Faso
Seperti Mali, pasukan keamanan Burkina Faso bergantung pada dukungan dari Perancis yang mengerahkan 5.100 personel di wilayah yang disebut Operasi Barkhane.
Dukungan itu dimulai untuk menghentikan para militan yang menyerbu ibu kota Mali, Bamako pada 2013. Tapi dukungan publik untuk keterlibatan Perancis berkurang karena situasi keamanan memburuk.
Pada Desember, penduduk Kaya memblokir konvoi militer Perancis yang mengirimkan pasokan ke tentara Burkina Faso. Mereka menuduh pasukan Barkhane malah bekerja dengan kelompok ekstremis.
Perancis selanjutnya didorong keluar dari wilayah Sahel, yang mencakup kedua negara, dalam pertikaian diplomatik dengan Mali yang memicu penarikan hampir setengah dari kontingen Barkhane.
Kekosongan keamanan dimanfaatkan oleh para militan. Sementara ketidakstabilan politik yang terus-menerus, merusak kerja sama pertahanan di bawah apa yang disebut pasukan G5 Sahel (mencakup pasukan dari Burkina Faso, Chad, Mali, Mauritania, dan Niger).
Mali beralih ke Rusia untuk mengisi celah keamanan ini. Namun mitra Sahel - termasuk Burkina Faso - sangat menentang langkah kontroversial Mali tersebut.
Baca juga: Ditinggal Perancis, Mali Minta Bantuan Perusahaan Militer Swasta Rusia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.