OUAGADOUGOU, KOMPAS.com - Kudeta militer Burkina Faso merupakan penggulingan pemerintahan keempat di negara kawasan Afrika Barat dalam 17 bulan terakhir.
Negara tetangga Mali telah mengalami dua intervensi militer dalam periode tersebut. Penyebabnya antara lain adalah kekhawatiran atas ketidakmampuan pemerintah menangani kekerasan militan yang berkembang.
Meski tetap meresahkan, CNN mewartakan bahwa penggulingan Presiden Roch Kabore sejatinya tidak mengejutkan.
Parahnya ancaman kelompok ekstrimis
Seperti di Mali, pemecatan Kabore dipicu oleh meningkatnya ketidakpuasan di antara pasukan keamanan.
Pihak militer menudingnya gagal memberikan dukungan yang memadai agar mereka dapat melawan kelompok militan yang terkait dengan Al-Qaeda dan kelompok ISIS.
Pada Minggu (23/1/2022), pemberontakan dilaporkan terjadi di beberapa kamp militer, di ibu kota, Ouagadougou, dan kota utara Kaya dan Ouahigouya. Kerusuhan terjadi setelah berbulan-bulan protes anti-pemerintah yang menuntut pengunduran diri presiden.
Serangan militan dimulai pada 2015, lebih dari 2.000 tewas dan 1,5 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka, menurut perkiraan PBB.
Kepercayaan publik terhadap manajemen presiden atas krisis keamanan turun tajam, setelah serangan di desa utara Solhan pada Juni 2021. Lebih dari 100 orang tewas dalam serangan itu, yang diduga dilakukan oleh gerilyawan yang menyeberang dari Mali.
Serangan ke Solhan memicu protes oposisi di ibu kota. Kabore akhirnya terpaksa merombak pemerintaham dan mengangkat dirinya sendiri sebagai menteri pertahanan.
Kemarahan terhadap pemerintah meningkat usai serangan lain terjadi di pangkalan militer Inata utara pada November 2021. Lebih dari 50 anggota pasukan keamanan tewas.
Pangkalan itu dilaporkan telah mengirim pesan darurat, yang meminta jatah makanan dan peralatan tambahan dua minggu sebelum serangan. Tapi bantuan tidak pernah tiba.
Penyebaran kekerasan militan
Terlepas dari ketidakstabilan keamanan dan politik kawasan Afrika Barat, Burkina Faso menikmati stabilitas yang rapuh. Tapi kondisi itu buyar setelah pemberontakan rakyat 2014, untuk menggulingkan mantan Presiden Blaise Compaore yang sudah lama menjabat.
Upaya kudeta pada 2015 selanjutnya membuat militer Burkina Faso terpecah. Kabore pertama kali terpilih tahun itu dengan janji akan menyatukan negara.
Namun, militan dari negara tetangga Mali melakukan serangan di ibu kota Burkina Faso, saat Kabore bersiap mengambil alih.
Kelompok-kelompok bersenjata memanfaatkan kehadiran keamanan yang lemah di perbatasan terbuka Burkina Faso, untuk melancarkan lebih banyak serangan dan memperkuat kehadiran mereka.
Kelompok ekstrimis juga menyulut ketegangan sektarian antara komunitas Kristen dan Muslim, yang sebelumnya hidup berdampingan di Burkina Faso.
Para militan mengambil keuntungan dari minimnya kehadiran negara dan kurangnya dukungan kemanusiaan, yang telah membuat masyarakat rentan dan mudah direkrut.
Partisipasi politik juga dirusak oleh kehadiran kelompok militan. Pada 2020, para pemilih yang meninggalkan rumah mereka di bagian utara dan timur tidak dapat berpartisipasi dalam pemilihan presiden. Saat itu Kabore terpilih kembali dengan 58 persen suara.
Tekanan kelompok militan pada masyarakat akhirnya meningkatkan ketidakpuasan publik pada masa jabatan kedua presiden.
Pola yang sama dengan Mali
Perkembangan kudeta Burkina Faso memiliki kesamaan dengan peristiwa di Mali sebelum kudeta militernya sendiri pada Agustus 2020.
Ada serangkaian serangan mematikan terhadap sasaran militer dan sipil, diikuti oleh protes massa yang dipicu oleh semakin kurangnya kepercayaan pada pemerintah Presiden Mali saat itu, Ibrahim Boubacar Keita.
Di Burkina Faso, Pemimpin oposisi utama Eddie Komboigo telah mencoba memanfaatkan ketidakpuasan publik tentang ketidakamanan untuk mengobarkan kemarahan.
Tapi sementara publik di Mali secara luas mendukung kudeta militer, Burkina Faso mungkin perlu waspada terhadap ketidakstabilan lebih lanjut setelah tentara mengambil alih.
Peran sentimen anti-Perancis
Seperti Mali, pasukan keamanan Burkina Faso bergantung pada dukungan dari Perancis yang mengerahkan 5.100 personel di wilayah yang disebut Operasi Barkhane.
Dukungan itu dimulai untuk menghentikan para militan yang menyerbu ibu kota Mali, Bamako pada 2013. Tapi dukungan publik untuk keterlibatan Perancis berkurang karena situasi keamanan memburuk.
Pada Desember, penduduk Kaya memblokir konvoi militer Perancis yang mengirimkan pasokan ke tentara Burkina Faso. Mereka menuduh pasukan Barkhane malah bekerja dengan kelompok ekstremis.
Perancis selanjutnya didorong keluar dari wilayah Sahel, yang mencakup kedua negara, dalam pertikaian diplomatik dengan Mali yang memicu penarikan hampir setengah dari kontingen Barkhane.
Kekosongan keamanan dimanfaatkan oleh para militan. Sementara ketidakstabilan politik yang terus-menerus, merusak kerja sama pertahanan di bawah apa yang disebut pasukan G5 Sahel (mencakup pasukan dari Burkina Faso, Chad, Mali, Mauritania, dan Niger).
Mali beralih ke Rusia untuk mengisi celah keamanan ini. Namun mitra Sahel - termasuk Burkina Faso - sangat menentang langkah kontroversial Mali tersebut.
https://www.kompas.com/global/read/2022/01/25/213500670/latar-belakang-kudeta-militer-burkina-faso-dan-penahanan-presiden-roch