Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[Biografi Tokoh Dunia] Abiy Ahmed, Pemenang Nobel Perdamaian yang Kini Pimpin Perang Saudara di Ethiopia

Kompas.com - 20/02/2021, 21:46 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

KOMPAS.com - Sebagian besar negara di dunia berfokus pada pengendalian virus Covid-19 selama satu tahun terakhir. Tapi disaat yang sama instabilitas politik juga terjadi di sejumlah negara.

Sejak akhir 2020 hingga awal 2021, yang paling banyak mendapat sorotan antara lain konflik domestik di Amerika Serikat hingga Myanmar. Sedangkan konflik di Afrika yang juga terjadi sejak November 2020, seolah terpinggirkan.

Padahal setidaknya satu laporan pembantaian diterima PBB dari wilayah konflik di Ethiopia. Bentrokan terjadi antara pasukan federal Ethiopia dan pasukan regional di wilayah utara negara itu.

Insiden terjadi setelah Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed memerintahkan pasukannya menanggapi dugaan serangan terhadap pasukan pemerintah di wilayah itu, oleh Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF).

Negara-negara di kawasan itu justru khawatir krisis tersebut dapat meningkat menjadi perang habis-habisan di bawah Abiy, yang sempat memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 2019.

Baca juga: Konflik Ethiopia Meluas ke Luar Negeri, Roket Hantam Ibu Kota Eritrea

Harapan perubahan

Sejak menjabat Perdana Menteri pada April 2018, dunia internasional semula berharap banyak padanya. Di bawah pimpinan Abiy Ahmed, Ethiopia disebut mengalami perubahan sangat cepat.

Abiy memperkenalkan reformasi yang belum pernah terpikirkan beberapa waktu yang lalu. Inilah mengapa dia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian.

Selama bertahun-tahun, pemerintah tampaknya tahan terhadap kritik dari kelompok hak asasi manusia. Negara itu sempat dituding menahan kebebasan berekspresi, mengesampingkan dan memenjarakan para pemimpin oposisi dan menindak protes.

Pemerintahannya juga tampak teguh menentang keputusan komisi perbatasan, yang dimaksudkan untuk mengakhiri konflik dua dekade dengan tetangganya Eritrea.

Tapi semua itu telah berubah. Setelah pendahulunya Hailemariam Desalegn secara tidak terduga mengundurkan diri, Abiy mencabut keadaan darurat dalam beberapa bulan pertamanya berkuasa.

Pemimpin negara yang kini berusia 44 tahun itu juga memerintahkan pembebasan ribuan tahanan, mengizinkan para pembangkang yang diasingkan untuk kembali ke rumah, dan membuka blokir ratusan situs web dan saluran TV.

Dia juga mengakhiri perang dengan Eritrea. Dalam proses menormalkan hubungan dengan musuh lama negaranya, dia akhirnya setuju menyerahkan wilayah perbatasan yang disengketakan.

Baca juga: Sengketa Bendungan Sungai Nil antara Mesir, Ethiopia, dan Sudan

Latar belakang militer

Abiy adalah pemimpin Oromo pertama di negara itu. Oromo adalah kelompok etnis yang menjadi pusat protes anti-pemerintah selama hampir tiga tahun. Banyak orang tewas dan ribuan orang ditangkap akibat bentrokan dengan pasukan keamanan saat itu.

Para pengunjuk rasa merasa mereka telah terpinggirkan secara politik, ekonomi dan budaya selama bertahun-tahun. Padahal etnis itu merupakan komunitas terbesar di negara itu.

Berkuasanya Abiy, yang diyakini mendapat dukungan besar di kalangan pemuda Oromo serta kelompok etnis lainnya, mulai mengubah hal itu.

Dia adalah pemimpin Organisasi Demokratik Rakyat Oromo (OPDO), salah satu dari empat partai etnis yang membentuk koalisi Front Demokrasi Revolusioner Rakyat Ethiopia (EPRDF) yang berkuasa.

Abiy lahir di kota Agaro di Oromia dan berasal dari keluarga campuran Kristen-Muslim. Dia bergabung dengan OPDO pada akhir 1980-an.

Di militer, ia naik pangkat letnan kolonel, sebelum menjadi pendiri dan direktur Badan Jaringan dan Keamanan Informasi Negara. Lembaga ini bertanggung jawab atas keamanan dunia maya Ethiopia yang akses internetnya selalu dikontrol ketat oleh pemerintah terdahulu.

Setelah itu dia menjadi Menteri IPTEK. Saat itu janjinya adalah untuk membebaskan sektor telekomunikasi, yang masih didominasi oleh monopoli milik negara.

Namun, kebiasaan lama tampaknya sulit dihilangkan. Pada Juni 2019 internet diblokir di seluruh negeri selama beberapa minggu.

Pihak berwenang tidak pernah memberikan alasan atas hal itu. Tetapi tindakan tersebut bertepatan dengan penyelenggaraan ujian nasional dan mungkin merupakan upaya kejam untuk mencegah kecurangan.

Kecepatannya mengubah Ethiopia belum pernah terjadi sebelumnya, tetapi seharusnya tidak mengejutkan.

Dia memaparkan visi politiknya dalam komentar yang dibuat untuk Gerakan Demokratik Rakyat Ethiopia Selatan (SEPDM), sebuah partai konstituen dari koalisi yang berkuasa, pada Oktober 2017.

Saat itu, secara tegas dia mengatakan tidak ada pilihan bagi Ethiopia selain bersatu. Bukan sekadar bekerja sama dan membantu satu sama lain, tetapi bersatu untuk hidup bersama. Jika tidak maka pilihan lainnya adalah membunuh satu sama lain.

"Namun, tidak ada orang waras yang akan memilih untuk ini (membunuh). Jadi, pilihan kita adalah harus percaya satu sama lain, menyembuhkan luka kita bersama dan bekerja sama untuk membangun negara kita," kata Abiy mengutip BBC.

Baca juga: Sengketa Bendungan GERD di Sungai Nil, Ethiopia Yakin Tak Rugikan Siapa Pun

Penentangan terhadap reformasinya

Tapi tidak semua orang senang dengan kecepatan perubahan di negara kawasan Afrika itu.

Pada Juni 2018, Abiy menjadi sasaran serangan. Dua orang dinyatakan tewas dalam ledakan di rapat umum yang diadakan untuk menunjukkan dukungan untuknya.

Ada juga beberapa penentangan terhadapnya di provinsi Tigray, yang dulu mendominasi negara itu.

Masih di tahun yang sama, sekelompok tentara berbaris ke kantornya untuk menuntut kenaikan gaji. Beberapa dari tentara dalam aksi protes itu secara terang-terangan membawa senjata.

Awalnya, foto dirinya melakukan press-up dengan tentara membuatnya dipuji karena berhasil meredakan situasi yang berpotensi berbahaya. Namun, dia kemudian mengatakan beberapa dari tentara ingin membunuhnya.

Setelah beberapa kontrol ketat Ethiopia dia cabut, ketegangan etnis justru membara di negara yang beragam ini. Aksi kekerasan bahkan memaksa sekitar 2,5 juta orang mengungsi.

Pada Juni 2019, dua sekutu dekat Abiy tewas dalam apa yang digambarkan sebagai upaya untuk merebut kendali wilayah Amhara, tempat beberapa kekerasan terburuk terjadi.

Baca juga: Internet di Ethiopia Mati di Tengah Protes Kematian Seorang Penyanyi

Dukungan oposisi

Ketika Abiy berkuasa, dia dipandang oleh banyak orang sebagai orang yang blak-blakan dan kompeten, dengan gaya kepemimpinan partisipatif. Sikap itu membuat tokoh-tokoh oposisi optimistis akan masa depan, selama dia menangani masalah di balik kerusuhan yang kerap terjadi.

Pemimpin oposisi Berhanu Nega, yang pernah dicap sebagai teroris di Ethiopia, telah kembali ke rumah. Nega berjanji akan bekerja dengan erat bersama pemerintah "untuk menstabilkan negara".

Tetapi dia tidak membebaskan Sang Perdana Menteri termuda di kawasan Afrika itu begitu saja. "Banyak lembaga dan banyak undang-undang perlu direformasi untuk menciptakan demokrasi yang berarti.” tegasnya.

Ethiopia telah mengadakan pemilihan umum setiap lima tahun sejak 1995. Tetapi dalam pemungutan suara terakhir pada 2015 tidak ada satu pun anggota parlemen dari oposisi yang terpilih.

Jurnalis dan aktivis Jawar Mohammed pernah dituduh memicu protes anti-pemerintah. Dia telah mengakhiri pengasingannya dan menggambarkan penunjukan Abiy sebagai "kesempatan unik untuk transisi damai menuju demokrasi".

"Intinya adalah dia harus menjadi seseorang yang memahami tuntutan publik dan keinginan publik untuk perubahan. Dia harus mereformasi institusi yang sangat membutuhkan reformasi,” kata pemimpin oposisi Partai Biru Yeshiwas Assefa kepada BBC.

Baca juga: PM Etiopia Perintahkan Serangan Terakhir untuk Menggempur Ibu Kota Tigray

Konflik Tigray

Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada 2019.

Penghargaan itu diberikan karena mengakhiri "keadaan perang" selama dua dekade antara Ethiopia dan Eritrea. Banyak yang memuji era baru perdamaian di wilayah tersebut.

Sayangnya hanya satu tahun kemudian, militer Ahmed telah mengungsikan puluhan ribu warga sipil dalam kampanye militer di wilayah Tigray Utara.

Pada November 2020, pemerintah Ethiopia telah mengungkapkan pasukan federal yang menembaki dan menahan pekerja PBB di wilayah Tigray utara, karena berusaha memasuki daerah yang mereka katakan terlarang.

Menanggapi perkembangan ini, Awol Allo, Profesor di Fakultas Hukum Universitas Keele Inggris mengubah pandangannya terhadap Abiy. Padahal sang profesor termasuk di antara mereka yang menominasikan Ahmed untuk Hadiah Nobel Perdamaian.

Menurutnya, Perdana Menteri Ethiopia itu telah memupuskan harapan untuk perdamaian di wilayah tersebut.

“Ethiopia selama dua tahun terakhir bergerak dari momen harapan dan optimisme yang sangat tinggi, transformasi visi, menjadi perang saudara total yang terancam tidak hanya mengguncang negaranya, tetapi juga wilayah Tanduk Afrika yang lebih luas," keluhnya.

Ethiopia menolak seruan untuk penyelidikan independen atas kekerasan tersebut. Seorang pejabat tinggi pemerintah Ethiopia mengatakan "tidak membutuhkan pengasuh anak."

Ini terjadi di tengah pemadaman komunikasi dan ketika Ethiopia mengakui pasukan federal menembaki dan menahan pekerja PBB di wilayah Tigray utara karena berusaha memasuki daerah yang mereka katakan terlarang.

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet berbicara tentang konflik tersebut sebagai "pelanggaran berat hak asasi manusia."

Baca juga: Konflik Etiopia: Pemimpin Pasukan Tigray Belum Mau Menyerah

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Tentara Israel Diserang Ratusan Lebah di Gaza Selatan

Tentara Israel Diserang Ratusan Lebah di Gaza Selatan

Global
Kritikan Paling Keras AS untuk Israel, Dituduh Mungkin Langgar Hukum Internasional

Kritikan Paling Keras AS untuk Israel, Dituduh Mungkin Langgar Hukum Internasional

Global
Ukraina Evakuasi Ratusan Orang dari Kharkiv Usai Serangan Rusia

Ukraina Evakuasi Ratusan Orang dari Kharkiv Usai Serangan Rusia

Global
Sekitar 300.000 Warga Palestina Dilaporkan Mengungsi dari Rafah Timur

Sekitar 300.000 Warga Palestina Dilaporkan Mengungsi dari Rafah Timur

Global
Pria Rusia Dituntut karena Mewarnai Rambutnya Kuning, Biru, dan Hijau

Pria Rusia Dituntut karena Mewarnai Rambutnya Kuning, Biru, dan Hijau

Global
Otoritas Cuaca AS Sebut Dampak Badai Matahari Kuat yang Hantam Bumi

Otoritas Cuaca AS Sebut Dampak Badai Matahari Kuat yang Hantam Bumi

Global
Tabrakan 2 Kereta di Argentina, 57 Orang Dilarikan ke Rumah Sakit

Tabrakan 2 Kereta di Argentina, 57 Orang Dilarikan ke Rumah Sakit

Global
Inggris Cabut Visa Mahasiswa Pro-Palestina yang Protes Perang Gaza

Inggris Cabut Visa Mahasiswa Pro-Palestina yang Protes Perang Gaza

Global
3 Warisan Dokumenter Indonesia Masuk Daftar Memori Dunia UNESCO

3 Warisan Dokumenter Indonesia Masuk Daftar Memori Dunia UNESCO

Global
Israel Kirim 200.000 Liter Bahan Bakar ke Gaza Sesuai Permintaan

Israel Kirim 200.000 Liter Bahan Bakar ke Gaza Sesuai Permintaan

Global
China Buntuti Kapal AS di Laut China Selatan lalu Keluarkan Peringatan

China Buntuti Kapal AS di Laut China Selatan lalu Keluarkan Peringatan

Global
AS Kecam Israel karena Pakai Senjatanya untuk Serang Gaza

AS Kecam Israel karena Pakai Senjatanya untuk Serang Gaza

Global
9 Negara yang Tolak Dukung Palestina Jadi Anggota PBB di Sidang Majelis Umum PBB

9 Negara yang Tolak Dukung Palestina Jadi Anggota PBB di Sidang Majelis Umum PBB

Global
Jumlah Korban Tewas di Gaza Dekati 35.000 Orang, Afrika Selatan Desak IJC Perintahkan Israel Angkat Kaki dari Rafah

Jumlah Korban Tewas di Gaza Dekati 35.000 Orang, Afrika Selatan Desak IJC Perintahkan Israel Angkat Kaki dari Rafah

Global
Rangkuman Hari Ke-807 Serangan Rusia ke Ukraina: Putin Angkat Lagi Mikhail Mishustin | AS Pasok Ukraina Rp 6,4 Triliun

Rangkuman Hari Ke-807 Serangan Rusia ke Ukraina: Putin Angkat Lagi Mikhail Mishustin | AS Pasok Ukraina Rp 6,4 Triliun

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com