Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana Hidup di Myanmar di Bawah Pemerintahan Diktator Militer?

Kompas.com - 02/02/2021, 22:55 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

Sumber BBC

NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Kudeta Myanmar telah berlangsung 2 hari ini dan pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi ditahan oleh kekuatan militer.

Namun, kudeta militer pada Senin (1/2/2021) bukan pertama kalinya terjadi di Myanmar, yang juga dikenal dengan sebutan Burma.

Faktanya, kudeta Myanmar pernah terjadi pada akhir 1980 dan yang terjadi sehari lalu mengingatkan pada peristiwa itu.

"Rasanya seperti deja vu, itu seperti kembali ke titik awal," kata seorang warga berusia 25 tahun kepada BBC.

Melansir BBC pada Selasa (2/2/2021), berikut yang dirasakan sejumlah warga Myanmar yang hidup di bawah junta militer.

Baca juga: Viral, Senam Ampun Bang Jago Saat Kudeta Myanmar Diberitakan Media Asing

Tumbuh dengan ketakutan

Wai Wai Nu mengatakan dirinya saat itu berusia 5 tahun, ketika menyaksikan sendiri ayahnya diringkus oleh kekuatan militer.

Ayahnya adalah seorang aktivis politik yang berafiliasi dengan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi, dibawa ke truk dan pergi.

Nu mengatakan, ayahnya dibebaskan setelah mungkin sebulan ditahan, tetapi hingga saat ini ia masih ingat bagaimana perasaannya hari itu.

"Saya tumbuh dengan rasa takut yang terus-menerus," ujar Wai Wai.

"Sebagai seorang anak, saya selalu takut. Selalu ada tentara di luar dan saya masih bisa membayangkan saat ayah ditangkap dihadapanku," ungkapnya.

"Saya ingat kami akan memasang earphone dan mendengarkan radio dengan sangat pelan," lanjutnya.

Wai Wai yang merupakan seorang, Rohingya, salah satu etnis minoritas yang paling teraniaya di negara itu, mengatakan ayahnya selalu dikejar.

Baca juga: Banyak Orang Myanmar Bernama Aung, Ini Arti dan Sejarahnya...

Ketika dia berusia 10 ahun, keluarganya memutuskan untuk pindah ke ibu kota Yangon.

"Saya melihat sedikit lebih banyak kebebasan di Yangon," kata Win Win.

"Di Rakhine mayoritas populasinya adalah (etnis) Rohingya, tapi di Yangon, lebih multikultur dengan ragam bahasa. Namun, banyak orang Yangon tidak tahu tentang apa yang terjadi dengan etnis minoritas," ungkapnya.

Saat kehidupan yang terlihat olehnya cukup normal.

"Kami akan pergi ke sekolah lalu pulang. Di sekolah, saya ingat kami harus menyambut jenderal yang berbeda dan memberikan menghormatan kepada mereka," ujarnya.

"Sistem pendidikannya sederhana, propaganda militer," terangnya.

Namun kemudian, ketika dia berusia 18 tahunm ayahnya kembali jadi target operasi militer. Namun, saat itu semua keluarga dimasukkan ke dalam penjara, yang mereka lalui selama tahun.

Kejahatannya? Menjadi putri seorang aktivis politik.

Setelah dibebaskan, dia melanjutkan ke universitas dan hari ini bekerja sebagai aktivis hak asasi manusia, berkampanye terutama untuk persamaan hak bagi perempuan dan untuk demokrasi Rohingya.

"Saat tumbuh dewasa, negara bagian Rakhine miskin, tetapi tidak buruk, orang masih bisa menjalankan bisnis mereka," katanya.

"Tidak seperti sekarang ini," pungkasnya.

Baca juga: NLD Serukan Pembebasan Segera Aung San Suu Kyi yang Tak Terlihat Sejak Kudeta Myanmar

Penyadapan telpon

Phyo, bukan nama sebenarnya, memiliki pengalaman yang sangat berbeda saat tumbuh dewasa.

Berasal dari keluarga yang lebih kaya, pria 25 tahun yang lahir dan besar di Yangon ini mengatakan bahwa dia sebagian besar terlindung dari apa yang terjadi di luar.

Namun, baginya yang masih bocah dapat merasakan beberapa hal yang janggal.

"Ketika Anda berbicara di telepon, Anda dapat mendengar suara di baliknya, seseorang menonton TV atau hanya orang-orang yang berbicara. Militer mendengarkan Anda," katanya.

"Itu tidak menakutkan, karena ketika kamu lahir di dalamnya, kamu tidak tahu alternatifnya, tetapi orang tua kami akan memberitahu kami untuk tidak berbicara di telepon," ungkapnya.

Phyo lahir pada 1995, hanya 3 tahun setelah diktator militer berkuasa.

Dia menggambarkan tahun kelahirannya sebagai "puncak kekuasaan militer terdalam setelah revolusi '88".

Di sekolah, katanya, kurikulum sekolah adalah salah satu yang sangat selektif dalam apa yang mereka ajarkan kepada siswa.

Baca juga: Mulai Rasakan “Perubahan” Pasca-kudeta, Warga Myanmar Suarakan Kekhawatiran di Medsos

"Mereka tidak mengajarkan hal-hal sensitif. Misalnya, jika di AS mereka mungkin membuat Anda mengkritik situasi politik, kami malah akan melakukan pemahaman membaca tentang dongeng Buddha," katanya.

"Atau Anda akan mengetahui bahwa raja-raja Burma benar-benar hebat sampai semuanya diambil oleh Inggris," ucapnya.

Inggris menguasai negara itu dari 1824 hingga 1948. Namun, dia sebagian besar terlindungi dari kejadian politik negara itu sampai usia 12 tahun.

"Saya masih ingat itu adalah ulang tahun saya yang ke-12 ketika Revolusi Saffron terjadi. Saat itulah saya tersadar, bahwa kita hidup dalam kediktatoran," ucapnya.

Apa yang disebut Revolusi Saffron adalah serangkaian protes jalanan di Myanmar pada 2007 yang menyebabkan ribuan biksu negara itu bangkit melawan rezim militer.

Biksu dipuja oleh kebanyakan orang di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, tetapi banyak dari mereka yang dipenjara selama protes, dan ada laporan setidaknya tiga biksu dibunuh oleh pasukan keamanan.

Baca juga: Kudeta Myanmar Hari Kedua: Tentara Duduki Yangon, AS Ancam Sanksi

"Saya melihat banyak pengunjuk rasa di luar rumah saya, dan ada ketegangan dan ketakutan di udara, ada tentara di mana-mana," kata Phyo.

Tumbuh sebagai remaja, ponsel sebagian besar tidak ada, hanya digunakan oleh mereka yang mampu, katanya.

"Mereka membuat ponsel sangat mahal, jadi tidak ada yang mampu membelinya. Dulu orang hanya punya sambungan telepon rumah, dan kadang-kadang akan ada pemadaman listrik sehingga Anda bahkan tidak bisa berbicara dengan siapa pun," ungkapnya. 

Ketika Phyo akhirnya melanjutkan pendidikan ke universitas di luar negeri, di mana dia menyadari betapa berbedanya beberapa hal di Barat dibandingkan dengan Myanmar.

"Saya ingat jika ada polisi yang akan disukai teman-teman saya, itu menakutkan!" dia berkata. "Tapi bagi saya, sangat normal jika ada tentara di mana-mana."

Pada pagi hari waktu setempat, Senin (1/2/2021), dia mengatakan dia bangun jam 6 pagi karena puluhan notifikasi di teleponnya.

"Anda baru saja bangun dan tiba-tiba seluruh pemerintahan Anda ditangkap," katanya.

"Ketika saya masih muda, Anda akan terbangun dengan berita seperti, orang tiba-tiba masuk penjara, atau orang menghilang," lanjutnya.

"Rasanya seperti déjà vu, ini seperti kita kembali ke titik awal, bagaimana keadaan dulu.

"Pekerjaan yang telah kami lakukan, segala legitimasi yang kami berikan kepada pemerintah. Semuanya hilang," pungkasnya.

Baca juga: Kisah Perang: Perjalanan Myanmar Menuju Demokrasi dan Jatuh Lagi ke Militer

Hidup dalam keheningan

Kyaw Than Win (67 tahun) masih ingat di mana dia berada saat kudeta militer terjadi pada 1988.

Dia tinggal di kotapraja Min Bu, sebuah kota di Myanmar tengah. Dia ingat ada "penembakan dan kekerasan" di tempat lain, tapi menambahkan bahwa Min Bu relatif tenang.

Bagi kebanyakan orang, katanya, hidup terus berjalan seperti biasa, dan berbicara secara terbuka bukanlah pilihan.

"Kami kembali bekerja. Beberapa pegawai negeri yang terlibat dalam memimpin protes diberhentikan dan beberapa diturunkan pangkat dan dipindahkan, yang lain ditahan," kata Kyaw Than kepada BBC.

"Namun, untuk pegawai negeri seperti saya, kami kembali bekerja seperti biasa. Kami harus memaksa diri untuk menjalani hidup dalam keheningan karena ketakutan," ujarnya.

Sebagian besar kehidupan berlanjut seperti itu hingga pemilu 2015, pemungutan suara nasional pertama negara itu dalam beberapa dekade.

Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi menang telak, mengakhiri hampir 50 tahun pemerintahan militer.

"Saya sangat senang seseorang seperti dia menjalankan negara. Mereka melakukan pekerjaan dengan baik. Prasarana umum dasar diperbaiki, dan kehidupan pegawai negeri meningkat," katanya.

"Hidup menjadi jauh lebih baik," ucapnya. Namun, ternyata periode ini berumur pendek.

Kyaw Than Win mengatakan keputusan militer untuk melancarkan kudeta 1 Februari mengabaikan "keinginan jutaan orang".

Baca juga: Aung San Suu Kyi Dikabarkan Jadi Tahanan Rumah dalam Kudeta Myanmar

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Ini Penjara Terkecil di Dunia yang Terdiri 2 Sel Tanpa Jendela

Ini Penjara Terkecil di Dunia yang Terdiri 2 Sel Tanpa Jendela

Global
Carlo Acutis, Remaja Italia yang Dijuluki 'Influencer Tuhan' Akan Jadi Santo Milenial Pertama

Carlo Acutis, Remaja Italia yang Dijuluki 'Influencer Tuhan' Akan Jadi Santo Milenial Pertama

Internasional
Setelah Tanah Longsor Papua Nugini, PBB Ingatkan Adanya Risiko Penyakit

Setelah Tanah Longsor Papua Nugini, PBB Ingatkan Adanya Risiko Penyakit

Global
Gunung Meletus di Islandia Muntahkan Lava Setinggi 50 Meter

Gunung Meletus di Islandia Muntahkan Lava Setinggi 50 Meter

Global
Israel Rebut Seluruh Perbatasan Gaza dengan Mesir, Persempit Gerakan Hamas

Israel Rebut Seluruh Perbatasan Gaza dengan Mesir, Persempit Gerakan Hamas

Global
Rangkuman Hari Ke-826 Serangan Rusia ke Ukraina: Polemik Larangan Senjata | Belarus Tangguhkan CFE

Rangkuman Hari Ke-826 Serangan Rusia ke Ukraina: Polemik Larangan Senjata | Belarus Tangguhkan CFE

Global
Soal Larangan Ukraina Pakai Senjata Barat untuk Serang Wilayah Rusia, Ini Kata AS

Soal Larangan Ukraina Pakai Senjata Barat untuk Serang Wilayah Rusia, Ini Kata AS

Global
Putusan Mahkamah Internasional Tak Mampu Hentikan Operasi Militer Israel di Rafah

Putusan Mahkamah Internasional Tak Mampu Hentikan Operasi Militer Israel di Rafah

Internasional
Israel Sebut Perang Lawan Hamas di Gaza Bisa sampai Akhir 2024

Israel Sebut Perang Lawan Hamas di Gaza Bisa sampai Akhir 2024

Global
[POPULER GLOBAL] Politisi AS Tulisi Rudal Israel | Taiwan Minta Dukungan Indonesia

[POPULER GLOBAL] Politisi AS Tulisi Rudal Israel | Taiwan Minta Dukungan Indonesia

Global
Swedia Janjikan Bantuan Militer Rp 20,26 Triliun ke Ukraina

Swedia Janjikan Bantuan Militer Rp 20,26 Triliun ke Ukraina

Global
Tank-tank Israel Terus Menuju Jantung Kota Rafah, Perang Bisa Berlanjut Sepanjang Tahun

Tank-tank Israel Terus Menuju Jantung Kota Rafah, Perang Bisa Berlanjut Sepanjang Tahun

Global
Polandia Minta Barat Izinkan Ukraina Pakai Senjata Pasokan untuk Serang Wilayah Rusia

Polandia Minta Barat Izinkan Ukraina Pakai Senjata Pasokan untuk Serang Wilayah Rusia

Global
Ikuti Rusia, Belarus Tangguhkan Partisipasi di Perjanjian Pasukan Konvensional Eropa

Ikuti Rusia, Belarus Tangguhkan Partisipasi di Perjanjian Pasukan Konvensional Eropa

Global
 Temuan Terbaru Penyelidikan Insiden Turbulensi Parah Singapore Airlines

Temuan Terbaru Penyelidikan Insiden Turbulensi Parah Singapore Airlines

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com