PARIS, KOMPAS.com - Perancis memanggil duta besarnya untuk Turki agar mengadakan pertemuan konsultasi setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan menghina Presiden Perancis Emmanuel Macron.
Erdogan mengatakan Macron membutuhkan pemeriksaan kesehatan mental saat ia berjanji mempertahankan nilai-nilai sekuler dan melawan Islam radikal di Perancis.
Macron telah berbicara dengan tegas tentang masalah Islam radikal setelah seorang guru Perancis dibunuh karena mempertunjukkan kartun Nabi Muhammad di kelas.
Perancis "tidak akan melepaskan kartun kami", katanya pada awal pekan ini.
Penggambaran Nabi Muhammad dapat menyebabkan pelanggaran serius bagi umat Islam karena tradisi Islam secara eksplisit melarang gambar Muhammad dan Allah (Tuhan).
Baca juga: Erdogan Sindir Presiden Perancis untuk Periksa Mental
Namun, sekularisme negara atau laïcité, adalah pusat identitas nasional Perancis. Membatasi kebebasan berekspresi untuk melindungi perasaan satu komunitas tertentu, kata negara, merusak persatuan negara.
Kampanye Macron untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut, telah dimulai sebelum tragedi pembunuhan guru itu, yang kemudian Erdogan menanyakan dalam pidatonya, "Apa masalah individu bernama Macron dengan Islam dan dengan Muslim?"
"Macron membutuhkan perawatan mental," kata Erdogan.
"Apa lagi yang bisa dikatakan kepada seorang kepala negara yang tidak memahami kebebasan berkeyakinan dan yang berperilaku seperti ini kepada jutaan orang yang tinggal di negaranya yang merupakan anggota dari agama yang berbeda?" lontar Erdogan.
Baca juga: Pemenggal Kepala Guru di Perancis Memiliki Kontak dengan Milisi di Suriah
Melansir BBC pada Minggu (25/10/2020), setelah pernyataan Erdogan tersebut, seorang pejabat kepresidenan Perancis mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa duta besar Perancis untuk Turki dipanggil untuk berkonsultasi, dan akan bertemu dengan Macron.
"Komentar Presiden Erdogan tidak dapat diterima. Kelebihan dan kekasaran bukanlah sebuah metode. Kami menuntut agar Erdogan mengubah arah kebijakannya karena berbahaya dalam segala hal," kata pejabat itu.
Erodgan adalah seorang Muslim saleh yang berusaha untuk memasukkan Islam ke dalam politik arus utama Turki sejak Partai AK yang berakar pada Islam berkuasa pada 2002.
Baca juga: 7 Orang Dituntut atas Pemenggalan Guru di Perancis, Termasuk 2 Anak Sekolah
Perselisihan diplomatik adalah masalah terbaru yang merenggangkan hubungan antara Perancis dan Turki, yang merupakan sekutu di bawah NATO, tetapi memiliki perbedaan pada berbagai masalah geo-politik, termasuk perang saudara di Suriah dan Libya, serta konflik antara Armenia dan Azerbaijan atas sengketa Nagorno-Karabakh.
Pada 16 Oktober, di dekat Paris terjadi pemenggalan kepala guru Perancis bernama Samuel Paty oleh Abdullakh Anzorov yang berusia 18 tahun.
Pembunuh ditembak mati oleh polisi tak lama setelah serangan itu, yang terjadi di dekat sekolah Paty. Sementara, 7 orang, termasuk 2 siswa, telah didakwa atas kasus pembunuhan guru itu.
Baca juga: Tragedi Samuel Paty Dorong Diskursus Islam di Perancis
Pada 2015, 12 orang tewas dalam serangan di kantor majalah satir Perancis, Charlie Hebdo. Kantor publikasi tersebut menjadi sasaran para ekstremis karena menerbitkan kartun Nabi Muhammad.
Awal Oktober, Macron menggambarkan Islam sebagai agama "dalam krisis," dan mengumumkan rencana untuk membentuk undang-undang yang lebih ketat untuk menangani apa yang disebutnya sebagai "separatisme Islam" di Perancis.
Dia mengatakan minoritas dari perkiraan 6 juta Muslim Perancis berada dalam bahaya membentuk "masyarakat tandingan".
Beberapa komunitas Muslim terbesar di Eropa Barat menuduh Macron berusaha menekan agama mereka dan mengatakan kampanyenya berisiko melegitimasi Islamofobia.
Baca juga: Pemenggal Kepala Guru di Perancis Sogok Murid hingga Rp 6 Juta Sebelum Beraksi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.