Sebelum masuknya Islam, pada abad IX, masyarakat Jawa telah mengenal sejumlah istilah busana. Akan tetapi saat itu, kaum wanita masih setia dengan padanan kain dan kemben yang membebat dada sekedarnya.
Baca juga: Hari Kartini, Mengenal Lebih Dekat Kebaya dan Sejarahnya
Selanjutnya dengan masuknya Islam, kemudian terjadi penyesuaian pakaian yang dikenakan masyarakat menjadi lebih menutup dada.
Ketika itu masyarakat membuat semacam outer, berupa kain tipis untuk menutup bagian belakang tubuh, bahu dan kedua lengan.
Penggunaan kebaya sejak zaman dahulu, tercatat dalam catatan resmi bangsa Portugis saat pertama kali mereka mendarat di Indonesia.
Baca juga: Ramai soal Kebaya Disebut Busana Asing, Benarkah? Ini Penjelasannya
Di mana dalam catatan itu dijelaskan bahwa kebaya merupakan pakaian kaum wanita di Indonesia saat abad ke-15 hingga 16.
Catatan tersebut menyebutkan bahwa kebaya hanya dipakai oleh priyayi yakni kaum bangsawan.
Namun seiring berjalannya waktu kebaya kemudian banyak dipakai oleh masyarakat pribumi termasuk isteri petani yang memakai kebaya dari kain tipis dan mengaitkan bagian depan menggunakan peniti.
Baca juga: Jogja Gelar Malioboro Fashion Week Bertema Kebaya, Begini Tanggapan Pemda
Grace W Susanto dalam bukunya Mlaku Thimik-Thimik mengatakan, pengaruh budaya luar sangat mewarnai perkembangan dan jenis dari kebaya.
Bisa dikatakan, jenis-jenis kebaya yang ada sekarang ini adalah akulturasi budaya Jawa dengan berbagai pengaruh budaya lain.
Kebaya bisa dikelompokkan menjadi kebaya Jawa, kebaya Betawi, kebaya Sunda, kebaya Bali, kebaya Madura dan kebaya Melayu.
Adapun masing-masing kebaya ini memiliki ciri khas masing-masing dari setiap daerahnya.
Baca juga: UNESCO Tetapkan Pencak Silat sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Kutu baru adalah perkembangan dari pemakaian kemben. Di mana saat orang malas mengenakan kemben, maka ditambahkan kutu baru.