Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi Terjerat Suap, Apa Itu dan Bedanya dengan Gratifikasi

Kompas.com - 07/01/2022, 17:30 WIB
Dandy Bayu Bramasta,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Hal tersebut sesuai penjelasan Pasal 12B UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Baca juga: Sebelum Diciduk KPK, Bupati Banjarnegara Pernah Sebut Upahnya Terlalu Kecil, Berapa Gaji Bupati?

Gratifikasi pada dasarnya adalah "suap yang tertunda" atau sering juga disebut "suap terselubung".

Pn/PN yang terbiasa menerima gratifikasi terlarang lama kelamaan dapat terjerumus melakukan korupsi bentuk lain, seperti suap, pemerasan dan korupsi lainnya. Sehingga gratifikasi dianggap sebagai akar korupsi.

Gratifikasi tersebut dilarang karena dapat mendorong Pn/PN bersikap tidak obyektif, tidak adil, dan tidak profesional. Sehingga Pn/PN tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

Undang-Undang menggunakan istilah "gratifikasi yang dianggap pemberian suap" untuk menunjukkan bahwa penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Baca juga: Alasan Ketua KPK Firli Bahuri Disebut Tak Punya Wawasan Kebangsaan

Yang dimaksud pegawai negeri dan penyelenggara negara

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang dimaksud pegawai negeri sipil meliputi:

1. Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau yang saat ini disebut Aparatur Sipil Negara (ASN)

2. Pejabat publik (pemangku jabatan/ambtenaar), yaitu:

  • Orang yang memegang jabatan atau profesi yang diangkat oleh instansi umum atau kekuasaan umum atau kekuasaan negara
  • Orang yang memangku jabatan umum
  • Orang yang melakukan tugas negara atau sebagian tugas negara
  • Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
  • Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
  • Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Baca juga: 5 Fakta soal Bupati Banjarnegara, dari Pamer Slip Gaji hingga Jadi Pesakitan KPK

Sedangkan yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, contohnya:

  1. Presiden dan Wakil Presiden;
  2. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
  4. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah;
  5. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
  6. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi;
  7. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
  8. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial;
  9. Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
  10. Menteri dan jabatan setingkat menteri;
  11. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
  12. Gubernur dan Wakil Gubernur;
  13. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Wali Kota; dan
  14. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang
  15. Kepala Perwakilan RI di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh, Wakil Gubernur dan Bupati/Wali Kota;
  16. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
  17. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
  18. Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  19. Jaksa;
  20. Penyidik;
  21. Panitera Pengadilan;
  22. Pemimpin dan Bendaharawan Proyek;
  23. Pejabat Pembuat Komitmen;
  24. Panitia Pengadaan, Panitia Penerima Barang.

Baca juga: Penjelasan BKN Terkait Pelaksanaan Asesmen TWK Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN

Apa saja gratifikasi yang tidak boleh diterima

Gratifikasi yang tidak boleh diterima adalah gratifikasi terlarang, yaitu yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Untuk memudahkan pemahaman, berikut adalah contoh gratifikasi yang tidak boleh diterima:

  1. Terkait dengan pemberian layanan pada masyarakat di luar penerimaan yang sah;
  2. Terkait dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran diluar penerimaan yang sah;
  3. Terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring dan evaluasi di luar penerimaan yang sah;
  4. Terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas di luar penerimaan yang sah/resmi dari Instansi;
  5. Dalam proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai;
  6. Dalam proses komunikasi, negosiasi dan pelaksanaan kegiatan dengan pihak lain terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya;
  7. Sebagai akibat dari perjanjian kerja sama/kontrak/kesepakatan dengan pihak lain;
  8. Sebagai ungkapan terima kasih sebelum, selama atau setelah proses pengadaan barang dan jasa;
  9. Merupakan hadiah atau souvenir bagi pegawai/pengawas/tamu selama kunjungan dinas;
  10. Merupakan fasilitas hiburan, fasilitas wisata, voucher oleh Pejabat/Pegawai dalam kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya dengan pemberi gratifikasi yang tidak relevan dengan penugasan yang diterima
  11. Dalam rangka mempengaruhi kebijakan/keputusan /perlakuan pemangku kewenangan;
  12. Dalam pelaksanaan pekerjaan yang terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban/tugas Pejabat/Pegawai;
  13. Dan lain sebagainya.

Baca juga: Mulan Jameela, Kacamata Gucci dan Apa Itu Gratifikasi?

Pasal yang mengatur

Berikut adalah pasal yang mengatur tentang gratifikasi:

Pasal 12B

(1) Setiap gratifikasi kepada Pn/PN dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

  • Yang nilainya Rp 10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
  • Yang nilainya kurang dari Rp 10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi Pn/PN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Baca juga: Selain Jiwasraya, Berikut Kasus Korupsi Terbesar di Indonesia

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: 7 Kasus Korupsi Terbesar di Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com