Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi Terjerat Suap, Apa Itu dan Bedanya dengan Gratifikasi

KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi sebagai tersangka kasus suap pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi Tahun 2022.

Diberitakan Kompas.com, Kamis (6/1/2022), pria yang akrab disapa Pepen itu diamankan tim KPK bersama 13 orang lainnya dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Kota Bekasi, Jawa Barat pada Rabu (5/1/2022) siang.

Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, kasus ini bermula dari informasi masyarakat yang diterima KPK bahwa akan ada penyerahan sejumlah uang dari Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Bekasi MB kepada Wali Kota Bekasi pada Rabu (5/1/2022).

Lantas, apa itu suap dan bedanya dengan gratifikasi?

Apa itu suap

Dilansir dari buku "Pengenalan Gratifikasi" pada laman kpk.go.id, suap membutuhkan sesuatu yang transaksional atau pertemuan kehendak pemberi dan penerima. Umumnya, suap dilakukan secara tertutup.

Hal ini berbeda dengan gratifikasi yang tidak membutuhkan sesuatu yang transaksional atau ditujukan untuk memengaruhi keputusan atau kewenangan secara langsung.

Sebagai contoh, pengusaha menyuap pejabat pemerintah untuk mendapatkan proyek.

Pemberian gratifikasi pada umumnya tidak ditujukan untuk mempengaruhi keputusan pejabat secara langsung, namun cenderung sebagai "tanam budi" atau upaya menarik perhatian pejabat.

Ketentuan tentang gratifikasi hanya mensyaratkan adanya hubungan jabatan dan pelanggaran terhadap aturan, kode etik atau kepatutan.

Jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk memengaruhi keputusan dan bersifat transaksional maka hal itu merupakan suap.

Gratifikasi merupakan salah satu jenis tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 12B dan 12C Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sejak tahun 2001.

Jika penerima gratifikasi melaporkan pada KPK paling lambat 30 hari kerja, maka Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara (Pn/PN) dibebaskan dari ancaman pidana gratifikasi.

Sementara itu, gratifikasi adalah semua pemberian yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara (Pn/PN).

Oleh karena itu gratifikasi memiliki arti yang netral, sehingga tidak semua gratifikasi merupakan hal yang dilarang atau sesuatu yang salah.

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Hal tersebut sesuai penjelasan Pasal 12B UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Gratifikasi pada dasarnya adalah "suap yang tertunda" atau sering juga disebut "suap terselubung".

Pn/PN yang terbiasa menerima gratifikasi terlarang lama kelamaan dapat terjerumus melakukan korupsi bentuk lain, seperti suap, pemerasan dan korupsi lainnya. Sehingga gratifikasi dianggap sebagai akar korupsi.

Gratifikasi tersebut dilarang karena dapat mendorong Pn/PN bersikap tidak obyektif, tidak adil, dan tidak profesional. Sehingga Pn/PN tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

Undang-Undang menggunakan istilah "gratifikasi yang dianggap pemberian suap" untuk menunjukkan bahwa penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Yang dimaksud pegawai negeri dan penyelenggara negara

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang dimaksud pegawai negeri sipil meliputi:

1. Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau yang saat ini disebut Aparatur Sipil Negara (ASN)

2. Pejabat publik (pemangku jabatan/ambtenaar), yaitu:

Sedangkan yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, contohnya:

Apa saja gratifikasi yang tidak boleh diterima

Gratifikasi yang tidak boleh diterima adalah gratifikasi terlarang, yaitu yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Untuk memudahkan pemahaman, berikut adalah contoh gratifikasi yang tidak boleh diterima:

Pasal yang mengatur

Berikut adalah pasal yang mengatur tentang gratifikasi:

Pasal 12B

(1) Setiap gratifikasi kepada Pn/PN dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

  • Yang nilainya Rp 10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
  • Yang nilainya kurang dari Rp 10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi Pn/PN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/01/07/173000665/wali-kota-bekasi-rahmat-effendi-terjerat-suap-apa-itu-dan-bedanya-dengan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke