Siapa saja yang dimaksud pegawai negeri dan penyelenggara negara?
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang (UU) Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang dimaksud pegawai negeri sipil meliputi:
1. Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau yang saat ini disebut Aparatur Sipil Negara (ASN)
2. Pejabat publik (pemangku jabatan/ambtenaar), yaitu:
- Orang yang memegang jabatan atau profesi yang diangkat oleh instansi umum atau kekuasaan umum atau kekuasaan negara
- Orang yang memangku jabatan umum
- Orang yang melakukan tugas negara atau sebagian tugas negara
- Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
- Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
- Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Baca juga: Gaji Pokok Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Dipotong 40 Persen, Berapa Gaji Pimpinan KPK?
Sedangkan yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, contohnya:
- Presiden dan Wakil Presiden;
- Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
- Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah;
- Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
- Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi;
- Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
- Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial;
- Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
- Menteri dan jabatan setingkat menteri;
- Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
- Gubernur dan Wakil Gubernur;
- Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan
- Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang
- Kepala Perwakilan RI di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh, Wakil Gubernur dan Bupati/Walikota;
- Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
- Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
- Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
- Jaksa;
- Penyidik;
- Panitera Pengadilan;
- Pemimpin dan Bendaharawan Proyek;
- Pejabat Pembuat Komitmen;
- Panitia Pengadaan, Panitia Penerima Barang.
Baca juga: Alasan Ketua KPK Firli Bahuri Disebut Tak Punya Wawasan Kebangsaan
Apa saja gratifikasi yang tidak boleh diterima
Gratifikasi yang tidak boleh diterima adalah gratifikasi terlarang, yaitu yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Untuk memudahkan pemahaman, berikut adalah contoh gratifikasi yang tidak boleh diterima:
- terkait dengan pemberian layanan pada masyarakat diluar penerimaan yang sah;
- terkait dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran diluar penerimaan yang sah;
- terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring dan evaluasi diluar penerimaan yang sah;
- terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas diluar penerimaan yang sah/resmi dari Instansi;
- dalam proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai;
- dalam proses komunikasi, negosiasi dan pelaksanaan kegiatan dengan pihak lain terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya;
- sebagai akibat dari perjanjian kerjasama/kontrak/kesepakatan dengan pihak lain;
- sebagai ungkapan terima kasih sebelum, selama atau setelah proses pengadaan barang dan jasa;
- merupakan hadiah atau souvenir bagi pegawai/pengawas/tamu selama kunjungan dinas;
- merupakan fasilitas hiburan, fasilitas wisata, voucher oleh Pejabat/Pegawai dalam kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya dengan pemberi gratifikasi yang tidak relevan dengan penugasan yang diterima
- dalam rangka mempengaruhi kebijakan/keputusan /perlakuan pemangku kewenangan;
- dalam pelaksanaan pekerjaan yang terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban/tugas Pejabat/Pegawai;
- dan lain sebagainya.
Baca juga: Saat Pelantikan Pegawai KPK Tetap Berjalan di Tengah Sorotan Publik...
DOK. Humas DPR RI Wakil Ketua DPR RI M. Azis Syamsuddin.
Bedanya dengan suap
Secara sederhana, gratifikasi tidak membutuhkan sesuatu yang transaksional atau ditujukan untuk mempengaruhi keputusan atau kewenangan secara langsung.
Hal ini berbeda dengan suap yang bersifat transaksional atau pertemuan kehendak pemberi dan penerima. Umumnya, suap dilakukan secara tertutup.
Sebagai contoh, pengusaha menyuap pejabat pemerintah untuk mendapatkan proyek.
Pemberian gratifikasi pada umumnya tidak ditujukan untuk mempengaruhi keputusan pejabat secara langsung, namun cenderung sebagai "tanam budi" atau upaya menarik perhatian pejabat.
Ketentuan tentang gratifikasi hanya mensyaratkan adanya hubungan jabatan dan pelanggaran terhadap aturan, kode etik atau kepatutan.
Jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan dan bersifat transaksional maka hal itu merupakan suap.
Gratifikasi merupakan salah satu jenis tindak pidana korupsi baru yang diatur dalam Pasal 12B dan 12C UU Tipikor sejak tahun 2001.
Namun, jika penerima gratifikasi melaporkan pada KPK paling lambat 30 hari kerja, maka Pn/PN dibebaskan dari ancaman pidana gratifikasi.
Baca juga: Soal Keberadaan Harun Masiku, Penyidik KPK: Ada di Indonesia
Pasal yang mengatur
Berikut adalah pasal yang mengatur tentang gratifikasi:
Pasal 12B
(1) Setiap gratifikasi kepada Pn/PN dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
- yang nilainya Rp 10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
- yang nilainya kurang dari Rp 10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi Pn/PN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Baca juga: 3 Pelanggaran Etik Penyidik KPK Stepanus Robin yang Berujung Pemberhentian Tidak Hormat
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.