KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin sebagai tersangka pada Sabtu (25/9/2021) dini hari.
Azis menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian hadiah atau janji terkait penanganan perkara yang ditangani oleh KPK di Kabupaten Lampung Tengah.
"Tim penyidik melakukan penahanan kepada tersangka selama 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 24 September 2021 sampai dengan 13 Oktober 2021 di Rutan Polres Metro Jakarta Selatan," ujar Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, dikutip dari Kompas.com, Sabtu (25/9/2021).
Azis disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Politisi Partai Golkar itu diduga memberikan uang pelicin sebesar Rp 3,1 miliar kepada mantan penyidik KPK Stepanus Robin untuk mengurus perkara di Lampung Tengah yang menyeret namanya dan kader Partai Golkar lainnya, Aliza Gunado, yang tengah diselidiki KPK.
Lantas, apa beda suap dengan gratifikasi?
Baca juga: Profil Azis Syamsuddin, Wakil Ketua DPR yang Ditahan KPK, Hartanya Rp 100 Miliar
Dilansir dari buku panduan "Pengenalan Gratifikasi" pada laman kpk.go.id, gratifikasi merupakan adalah semua pemberian yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara (Pn/PN).
Oleh karena itu gratifikasi memiliki arti yang netral, sehingga tidak semua gratifikasi merupakan hal yang dilarang atau sesuatu yang salah.
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Hal tersebut sesuai penjelasan Pasal 12B Undang-Undang (UU) No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Baca juga: Sebelum Diciduk KPK, Bupati Banjarnegara Pernah Sebut Upahnya Terlalu Kecil, Berapa Gaji Bupati?
Gratifikasi pada dasarnya adalah "suap yang tertunda" atau sering juga disebut "suap terselubung".
Pn/PN yang terbiasa menerima gratifikasi terlarang lama kelamaan dapat terjerumus melakukan korupsi bentuk lain, seperti suap, pemerasan dan korupsi lainnya. Sehingga gratifikasi dianggap sebagai akar korupsi.
Gratifikasi tersebut dilarang karena dapat mendorong Pn/PN bersikap tidak obyektif, tidak adil, dan tidak profesional. Sehingga Pn/PN tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Undang-undang menggunakan istilah "gratifikasi yang dianggap pemberian suap" untuk menunjukkan bahwa penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Baca juga: 4 Fakta soal Firli Bahuri, Ketua KPK yang Dinyatakan Pernah Lakukan Pelanggaran Berat
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang (UU) Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang dimaksud pegawai negeri sipil meliputi:
1. Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau yang saat ini disebut Aparatur Sipil Negara (ASN)
2. Pejabat publik (pemangku jabatan/ambtenaar), yaitu:
Baca juga: Gaji Pokok Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Dipotong 40 Persen, Berapa Gaji Pimpinan KPK?
Sedangkan yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, contohnya:
Baca juga: Alasan Ketua KPK Firli Bahuri Disebut Tak Punya Wawasan Kebangsaan
Gratifikasi yang tidak boleh diterima adalah gratifikasi terlarang, yaitu yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Untuk memudahkan pemahaman, berikut adalah contoh gratifikasi yang tidak boleh diterima:
Baca juga: Saat Pelantikan Pegawai KPK Tetap Berjalan di Tengah Sorotan Publik...
Secara sederhana, gratifikasi tidak membutuhkan sesuatu yang transaksional atau ditujukan untuk mempengaruhi keputusan atau kewenangan secara langsung.
Hal ini berbeda dengan suap yang bersifat transaksional atau pertemuan kehendak pemberi dan penerima. Umumnya, suap dilakukan secara tertutup.
Sebagai contoh, pengusaha menyuap pejabat pemerintah untuk mendapatkan proyek.
Pemberian gratifikasi pada umumnya tidak ditujukan untuk mempengaruhi keputusan pejabat secara langsung, namun cenderung sebagai "tanam budi" atau upaya menarik perhatian pejabat.
Ketentuan tentang gratifikasi hanya mensyaratkan adanya hubungan jabatan dan pelanggaran terhadap aturan, kode etik atau kepatutan.
Jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan dan bersifat transaksional maka hal itu merupakan suap.
Gratifikasi merupakan salah satu jenis tindak pidana korupsi baru yang diatur dalam Pasal 12B dan 12C UU Tipikor sejak tahun 2001.
Namun, jika penerima gratifikasi melaporkan pada KPK paling lambat 30 hari kerja, maka Pn/PN dibebaskan dari ancaman pidana gratifikasi.
Baca juga: Soal Keberadaan Harun Masiku, Penyidik KPK: Ada di Indonesia
Berikut adalah pasal yang mengatur tentang gratifikasi:
Pasal 12B
(1) Setiap gratifikasi kepada Pn/PN dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
(2) Pidana bagi Pn/PN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Baca juga: 3 Pelanggaran Etik Penyidik KPK Stepanus Robin yang Berujung Pemberhentian Tidak Hormat
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.