"Ujiannya dari konsistensi dan komitmen tahapan-tahapan dari pelonggaran itu ya saat ini, karena Indonesia selama ini enggak pernah lulus," kata Dicky.
"Karena sedikit aja perbaikan, pelonggaraannya jauh lebih besar dari pengetatannya, ini kebiasaan yang akhirnya membuat Indonesia makin lama terkendalinya," kata Dicky.
Baca juga: Pemerintah Hapus Angka Kematian dari Indikator Penanganan Covid-19, Epidemiolog: Salah dan Berbahaya
Dicky mengatakan, yang harus menjadi perhatian untuk saat ini adalah masalah konsistensi dalam menjaga upaya pengendalian pandemi, yakni testing dan tracing.
Ketika testing tidak memenuhi skala penduduk dan juga tidak memenuhi ekskalasi pandemi, ia melanjutkan, kasus akan terus meledak.
Testing tidak memenuhi ekskalasi pandemi dalam hal ini berarti indikator tes positivity rate di atas 5 persen.
"Jangankan yang di atas 5 persen, yang di bawah 5 persen pun ketika ada screening yang tidak memadai misalnya, itu siap meledak kasusya," kata Dicky.
Baca juga: Ramai soal Kartu Vaksin Akan Jadi Syarat Masuk Tempat Umum, Ini Kata Epidemiolog
Soal tracing. Menurut dia, baru DKI Jakarta yang melakukan tracing mendekati standar, yakni 1 kasus di-tracing hingga 15 orang.
Sementara, daerah lainnya belum ada yang melakukan hal tersebut.
"Nah ini yang menjadi catatan dan harus diperhatikan, kalau tidak ya kita akan mengalami banyak kasus kematian, baik yang terdeteksi maupun yang tidak," kata dia.
Dicky mengungkapkan, konsistensi tersebut menjadi catatan buruk bagi Indonesia dalam pengendalian pandemi. Alasannya karena sering berubah dan menurun.
"Apalagi ketika ada berita baik penurunan kasus, padahal itu juga belum kuat, tapi responsnya pelonggaran di mana-mana, dan ini yang berbahaya," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.