Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Curhatan Seorang Guru di Tengah Pandemi Corona...

Kompas.com - 21/07/2020, 11:35 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebuah sekolah, tidak akan lengkap bila tidak ada kehadiran guru dan murid. Begitulah keyakinan yang dipegang teguh oleh Ifan Mustika Rinaldi, seorang guru sekolah dasar (SD) di Magelang, Jawa Tengah.

Selama 9 tahun pengabdiannya, Ifan menjalani rutinitas layaknya seorang guru SD pada umumnya.

Ia menghabiskan malam harinya dengan mempersiapkan materi pelajaran, dan berangkat bertemu murid-muridnya di sekolah pada esok harinya.

Semua itu kemudian berubah di tahun 2020 ini.

Baca juga: Indonesia Disebut Masuk Fase Berbahaya, Kapan Pandemi Akan Berakhir?

Ifan, seperti halnya guru-guru di seluruh Indonesia, harus beradaptasi dengan kehadiran pandemi virus corona yang mengakibatkan sekolah-sekolah ditutup dan pembelajaran dialihkan menjadi jarak jauh (PJJ).

Ia kini harus belajar hal-hal baru, seperti cara menggunakan aplikasi Zoom, Google Meet, dan Google Classroom.

Pengalaman menarik di masa pandemi ini ia dapatkan, salah satunya ketika Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di tiga hari awal tahun ajaran baru 2020/2021.

Baca juga: Siapa PNS Pertama di Indonesia?

Menyiasati kondisi siswa-siswanya yang ternyata tidak memadai untuk melaksanakan MPLS secara daring, maka ia dan rekan-rekannya memutuskan untuk mendatangi rumah siswa satu per satu.

"Hari pertama kami cuma nge-share video-video pengenalan lingkungan sekolah dan profil guru. Selanjutnya pada hari ketiga, bagi siswa-siswa yang tidak punya HP, kami kunjungi satu-satu. Khusus untuk yang kelas satu saja," kata Ifan saat dihubungi Kompas.com, baru-baru ini.

Lebih memahami kondisi siswa

Pengalaman menemui siswa secara langsung di rumah mereka, rupanya membawa dampak luar biasa bagi Ifan.

Setelah melihat langsung kondisi anak didiknya, ia yang awalnya idealis dan menuntut siswa-siswanya untuk bisa mengikuti pembelajaran daring, kini mulai bisa memahami keadaan mereka.

Hatinya tersentuh melihat keadaan siswanya, yang sebagian besar berasal dari keluarga tidak mampu, namun dipaksa harus bisa mengikuti sistem yang sulit dijangkau oleh mereka.

"Jujur, saya terharu hampir mau menangis melihat keadaan siswa kayak gini, kok dipaksa bisa ini bisa itu. Sekarang, apa yang saya bisa ajarkan, saya ajarkan. Masalah nilai, itu hanya sebatas nilai, yang penting saya bisa membekali mereka dengan kecakapan untuk bertahan hidup, itu saja," kata Ifan.

Baca juga: Melihat Risiko dan Hasil Pembukaan Sekolah di Tengah Pandemi Corona...

Terlebih, SD Negeri Growong tempat Ifan mengajar, terletak di daerah pegunungan. Sehingga, pembelajaran daring tidak bisa berjalan maksimal karena akses untuk sinyal komunikasi terbilang sulit.

"Kadang-kadang orang tua menghubungi saya 'Maaf pak guru, saya harus naik gunung biar dapat sinyal', atau 'Maaf pak guru saya harus pergi ke kebun biar dapat sinyal'. Maka mereka yang punya WA itu mengirimkannya (tugas) kadang-kadang malam hari, saat orang lain sudah pulang, atau minta tolong tetangganya yang punya HP untuk mengirimkan, lama-lama kan nggak enak juga," kata Ifan.

Hilangnya ikatan emosional guru dan murid

Ifan, guru SD N Growong, Tempuran, Magelang. Ia bersama rekan-rekannya melaksanakan masa pengenalan lingkungan sekolah dan profil guru di rumah siswa karena sulitnya sinyal untuk melaksanakan hal tersebut secara daring.Dok. Istimewa Ifan, guru SD N Growong, Tempuran, Magelang. Ia bersama rekan-rekannya melaksanakan masa pengenalan lingkungan sekolah dan profil guru di rumah siswa karena sulitnya sinyal untuk melaksanakan hal tersebut secara daring.

Ada sesuatu yang hilang, ketika sistem pembelajaran dilakukan secara daring, saat guru dan muridnya tidak bisa lagi bertatap muka dan berinteraksi di satu ruang yang sama.

Bagi Ifan, sesuatu yang hilang itu adalah ikatan emosional antara ia dan siswa-siswanya yang tidak akan mungkin tergantikan oleh komunikasi secara virtual.

"Seorang guru itu harus ada. Guru itu tidak bisa digantikan oleh platform-platform pendidikan seperti Ruangguru, Rumah Belajar, atau apa pun itu," kata Ifan.

Menurutnya, karena siswa tidak lagi hadir di kelas, ia jadi kesulitan memantau perkembangan anak didiknya. 

Baca juga: Viral Video Siswa Berdiri Saat Upacara Online, Ini Penjelasan Sekolah

Ifan juga menyebut bahwa pembelajaran daring sebenarnya tidak ideal, terutama bagi siswa yang masih duduk di bangku kelas I SD.

"Kelas satu itu belum bisa apa-apa, belum bisa nulis, (nulis) namanya sendiri saja belum bisa. Orangtua juga kesulitan, karena mereka bekerja. Akhirnya anak main sendiri," kata Ifan.

Untuk siswa di tingkat yang lebih atas, karena pembelajaran daring tidak memungkinkan, maka siswa hanya diberikan tugas yang nantinya diambil oleh orang tua di sekolah.

"Kalau tugas-tugas saja, itu namanya bukan pembelajaran. Kami bingung juga ini sebagai guru di daerah terpencil. Kalau Jakarta kan enak, mau Zoom mau apa bisa, lha kami? di sini HP Android saja belum punya," kata Ifan.

Baca juga: [KLARIFIKASI] Motor Terbakar Disebut akibat Taruh Ponsel di Jok Motor

Sementara itu, meski ia sudah mempelajari penggunaan aplikasi seperti Zoom, Google Meet, atau Google Classroom, untuk saat ini pembelajaran melalui aplikasi-aplikasi tersebut menurut Ifan tidak akan mungkin bisa dilaksanakan di daerah tempatnya mengajar.

"Indonesia itu tidak hanya Jakarta, ini pulau Jawa tapi kondisinya seperti ini. Apalagi di Papua, Nusa Tenggara? Teman-teman saya di Kupang, Maluku, bagaimana itu? Apakah bisa pembelajaran seperti ini, lewat Microsoft 365, atau Zoom?," kata Ifan.

Rindu kebersamaan dengan muridnya

Meski terkadang dianggap galak, namun Ifan bercerita bahwa ia sering bercanda dan bermain bersama siswa-siswanya. Hal inilah yang mulai ia rindukan.

"Kalau ada yang ulang tahun, kami buat semacam pesta kecil-kecilan. Kemudian, misal ada perayaan Hari Pie, kami buat acara makan kue bulat itu di sekolah," kata Ifan.

Kerinduan itu tidak hanya ia rasakan seorang. Ifan menuturkan bahwa siswa-siswanya juga mengalami perasaan yang sama.

Baca juga: Memprediksi Kapan Pandemi Covid-19 di Indonesia Akan Berakhir...

Mereka sering bertanya padanya, kapan mereka bisa kembali ke sekolah, sebab mereka sudah rindu bisa belajar dan berjumpa lagi dengan kawan dan guru-gurunya.

Selain itu, Ifan juga mengungkapkan bahwa siswa-siswanya tidak keberatan bila harus memakai masker selama jam pelajaran, asal bisa kembali ke sekolah.

"Itu sudah merupakan nilai positif bagi saya, bagi kami sebagai guru. Anak-anak itu rindu dengan sekolahnya itu hebat sekali. Kalau anak-anak bisa rindu itu maka pembelajaran kami berhasil, tapi kalau anak-anak tidak rindu maka pembelajaran kami tidak berhasil," kata Ifan.

Bagi Ifan, sebuah intitusi pendidikan tidak lengkap tanpa kehadiran seorang guru.

Demikian pula dengan sekolah yang tidak utuh bila tidak ada gedung, guru, dan murid di dalamnya.

Baca juga: Mengenal RT-LAMP, Alternatif Tes Covid-19 yang Disebut Lebih Murah daripada PCR

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com