Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
K.H Muhyidin Ishaq
Rais Syuriah PWNU DKI Jakarta dan Pengasuh Ponpes Miftahul Ulum, Cipete, Jakarta Selatan.

K.H Muhyidin Ishaq adalah Rais Syuriah PWNU DKI Jakarta sekaligus Pengasuh Ponpes Miftahul Ulum, Cipete, Jakarta Selatan.

Bedug Puasa dan Spiritual Warga Jakarta

Kompas.com - 22/04/2022, 04:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEDUG dan kentongan adalah dua benda yang telah melekat dengan Masjid di Indonesia, sejak Abad ke-14, ketika para Wali melakukan syiar Islam di berbagai daerah.

Khususnya di Pulau Jawa, tabuhan bedug dan kentongan menjadi penanda masuknya waktu sholat. Tak terkecuali di Jakarta, kota yang telah menjadi sentra masyarakat Nusantara, sejak era kejayaan Pangeran Jayakarta di abad ke-16.

Menjelang Ramadhan hingga malam lebaran, tabuhan bedug akan semakin meriah di masjid-masjid yang dikelola warga Asli Jakarta. Saya tak menyebut warga Betawi, karena istilah "Betawi" adalah peninggalan VOC.

Saya lebih suka menyebut "Jakarta", sebagai penghormatan terhadap pendiri kota ini, yakni Raden Fatah, yang memberi nama kota ini sebagai Jayakarta.

Bagi warga Jakarta sebelum era 90-an, tabuhan bedug di setiap malam bulan Ramadhan, dengan segala variasi iramanya, punya makna tersendiri.

Warga Jakarta di era tahun 1960 hingga tahun 1990-an, punya tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan yang kadang terkesan berlebihan.

Seperti menabuh bedug menjelang magrib, bakda tarawih, di tengah malam, hingga saat menjelang sahur.

Sehari menjelang Ramadhan, anak-anak Jakarta biasa menyulut 'bleguran' (bambu kentung yang diisi karbit), dilanjutkan dengan menabuh bedug di malam pertama Ramadhan.

Itu semua menjadi simbol kegembiraan warga Jakarta dalam menyambut Ramadhan. Selaras dengan ajaran para Ulama, yang bersumber dari sejumlah hadist Nabi tentang kebahagiaan menyambut Ramadhan.

Meluapkan kegembiraan terhadap datangnya waktu-waktu yang baik juga diajarkan dalam Al-Quran. Dalam Surat Yunus ayat 58, Allah berfirman,

ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ

Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus [10]: 58).

Jauh hari sebelum Ramadhan, biasanya di bulan Rajab dan Sya'ban, warga Jakarta juga akrab dengan doa yang dikumandangkan setiap menjelang dan setelah Solat Fardu.

"Allahumma bariklana fii Rajaba, wa sya'bana, waballighna Ramadhan".

Sebuah doa yang meminta agar Allah memberkahi kita selama bulan Rajab dan Sya'ban, serta memanjangkan usia kita hingga bisa berjumpa bulan Ramadhan.

Doa tersebut tak hanya dilantunkan di mulut, tetapi diterapkan dalam sejumlah tradisi yang dilaksanakan sejak awal Rajab, hingga sehari menjelang Ramadhan tiba.

Seperti dalam tradisi 'anteran' atau 'nyorog' di mana warga Jakarta akan bertamu kepada keluarga atau tetangganya yang lebih tua, dengan membawa makanan khas, seperti ketupat, dodol, hingga opor ayam atau bahkan daging kerbau 'andilan'.

Tradisi anteran menjelang puasa ini menjadi simbol pentingnya menjaga silaturahmi, permohonan maaf, dan pembersihan jiwa dari dendam atau rasa ketersinggungan yang mungkin terjadi selama setahun sebelumnya.

Tradisi bersuci menjelang Ramadhan juga biasa dilakukan dengan 'padusan', yakni mandi dan bersih-bersih diri, serta bersih-bersih dan mengecat rumah, hingga tradisi ziarah dan bersih-bersih kuburan orang tua, guru, dan leluhur.

Tradisi tersebut dulu marak di Jakarta, sebagai bentuk kegembiraan atas banyaknya kemuliaan, berkah, dan keutamaan bulan Ramadhan.

Boleh dibilang, seluruh warga Jakarta era sebelum 90-an sangat akrab dengan tradisi tersebut. Karena hampir seluruh warga Jakarta masih erat memeluk ajaran Islam.

Sampai-sampai ada istilah "boleh dibakal opat, kalau ada warga Betawi yang non muslim."

Artinya, kalau warga asli Jakarta, sejak dulu selalu kental dengan tradisi keislaman.

Bahkan, jika pun ada yang non-muslim, seperti di Tugu, itu karena mereka keturun Portugis. Itu pun mereka tetap akrab dengan tradisi keislaman. Terlihat dari kostum mereka saat ke gereja yang mengenakan baju koko dan peci.

 

Spritualitas tadarrus, ratib dan manaqib syekh samman

Tabuhan Bedug di bulan Ramadhan, bagi warga Jakarta, tak hanya menjadi simbol kegembiraan, tetapi juga menjadi pengingat waktu buka puasa, 'qiyamul lail' atau waktu tadarus, dan shalat malam, hingga waktu untuk bersahur.

Dalam tiga waktu khusus tersebut, biasanya punya variasi irama tabuhan masing-masing.

Namun seiring waktu, kini tabuhan bedug sudah berganti dengan beragam program siaran televisi. Sebab anak-anak muda sekarang juga jarang yang menekuni seni menabuh bedug.

Padahal jika dicermati, ada tarikan historis atau dalam istilah pesantren, ada semacam sanad dan silsilah dari munculnya beragam tradisi keislaman di Jakarta.

Tentang bedug, misalnya, banyak yang meyakini merupakan warisan tradisi Wali Songo.

Dalam catatan sejarah, masyarakat Islam di Jakarta pernah menjadi bagian dari tiga kerajaan Islam Nusantara.

Setelah sebelumnya berada dalam wilayah kekuasaan Padjadjaran (Sunda Kalapa Tahun 397-1527 M), Jakarta di Abad 15 sampai 16 (Tahun 1527-1609) tercatat sebagai bagian dari Kesultanan Cirebon.

Setelah serangkaian penaklukan yang dilakukan oleh menantu Sunan Gunung Djati yang menjadi Raja Kasultanan Demak, bernama Raden Fatahillah. Saat itulah, Sunda Kalapa berubah nama menjadi Jaya Karta atau 'Kota Kemenangan'.

Pasca-perpisahan Kesultanan Cirebon dengan Kesultanan Banten di tahun 1568 M, Jakarta menjadi bagian dari Kesultanan Banten.

Kemudian di tahun 1619 M, Jayakarta direbut oleh VOC dan berganti nama menjadi Batavia. Sembilan tahun kemudian, tahun 1628 sampai tahun 1629, Sultan Agung dari Mataram Islam, berupaya merebut Batavia.

Meskipun gagal, kehadiran pasukan Mataram berhasil melakukan akulturasi Islam jawa dengan Islam Pasundan, khususnya di daerah Matraman.

Di sini, kita bisa melihat bahwa tradisi bedug di kalangan masyarakat Jakarta, merupakan akulturasi dari tradisi Cirebon, Banten, dan Mataram.

Selain bedug, ritual khas masyarakat Jakarta adalah tradisi pembacaan Ratibul Haddad (Wirid yang disusun oleh Syekh Abdullah bin Alawi Al Haddad) yang biasanya dibaca setelah solat magrib dan subuh serta dibaca secara berjamaah dan biasanya ditambah dengan hizib tertentu.

Di sini ada sedikit perbedaan antara tradisi wirid di Jawa pada umumnya dengan di Jakarta.

Di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, ratib dan hizib hanya boleh dibaca oleh kalangan tertentu yang sudah menerima ijazah atau sanad keilmuan dari gurunya.

Sebab, ratib dan hizib tertentu biasanya berdampak pada spiritualitas dan keistimewaan tertentu bagi pembacanya. Seperti jadug, sakti, kaya, dan semacamanya.

Di Jakarta, ratib dan hizib dibaca secara umum -termasuk anak-anak- dan dibaca secara berjamaah, tanpa ada tradisi pengijazahan secara khusus.

Artinya, masyarakat Jakarta sejak dini telah ditempa dengan spiritualitas keislaman berbau sufisme.

Hal ini diimbangi dengan tradisi pencak silat yang dulu diajarkan secara umum bagi anak-anak Jakarta. Ini mungkin berdampak pada keteguhan warga Jakarta dalam memegang ajaran Islam.

Keteguhan ini kadang juga diartikan sebagai sikap saklek dan keras kepala. Sebab, memang sejumlah wirid akan berdampak pada kepercayaan diri, dan sikap keras atau dalam istilah pesantren biasa disebut membawa hawa panas pada pembacanya.

Tradisi wirid dan sufisme yang khas di Jakarta juga terlihat dari tradisi membaca Manaqib Syekh Samman, yang juga populer di Palembang dan kawasan Sumatera lain.

Berbeda dengan tradisi di Jawa pada umumnya, di Jakarta dalam kenduri atau perayaan hari tertentu yang dibaca bukanlah Maqib Syekh Abdul Qadir Jaelani, tetapi Manaqib Syekh Samman.

Sejumlah peneliti meyakini, tradisi Manaqib Syekh Samman merupakan warisan dari syiar Tarekat Sammaniyah yang dilakukan Syaikh Abdurrahman al-Mishri al-Batawi, salah satu murid Syaikh Muhammad al-Samman, yang kembali ke kampung halamannya di tahun 1186 H/1773 M.

Tradisi ini semakin berkembang di era Guru Mughni yang wafat di tahun 1935.

Dari uraian tersebut, saya ingin menyimpulkan, bahwa tradisi keislaman warga Jakarta, khususnya tradisi yang marak dilakukan dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, merupakan bukti akulturasi, keharmonisan, dan tingginya spiritualitas warga Jakarta yang sudah sepatutnya untuk semakin diasah di bulan suci.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Berkah Ramadan, Momen Mulia dan Kelebihan Istimewa yang Tak Tergantikan

Berkah Ramadan, Momen Mulia dan Kelebihan Istimewa yang Tak Tergantikan

Ramadhan
Ramadhan Momentum Mengenalkan 'Halal Lifestyle' bagi Anak

Ramadhan Momentum Mengenalkan "Halal Lifestyle" bagi Anak

Ramadhan
Puasa Ramadhan Perkuat Kesejahteraan Mental dan Emosional

Puasa Ramadhan Perkuat Kesejahteraan Mental dan Emosional

Ramadhan
'Ekspedisi Batin' Ramadhan untuk Pemurnian Jiwa

"Ekspedisi Batin" Ramadhan untuk Pemurnian Jiwa

Ramadhan
Cahaya Ramadhan, Merenungi Kehidupan dalam Bulan Suci

Cahaya Ramadhan, Merenungi Kehidupan dalam Bulan Suci

Ramadhan
Ramadhan Sepanjang Tahun

Ramadhan Sepanjang Tahun

Ramadhan
Mengembangkan Diri Melalui Ibadah Ramadhan

Mengembangkan Diri Melalui Ibadah Ramadhan

Ramadhan
Ramadhan Stimulus Kepekaan Sosial

Ramadhan Stimulus Kepekaan Sosial

Ramadhan
Merengkuh Kemenangan Sejati

Merengkuh Kemenangan Sejati

Ramadhan
Sidang Isbat Tetapkan 1 Syawal Jatuh pada 2 Mei

Sidang Isbat Tetapkan 1 Syawal Jatuh pada 2 Mei

Ramadhan
Keistimewaan Puasa Ramadhan

Keistimewaan Puasa Ramadhan

Ramadhan
Puasa Ramadhan, Ketakwaan, dan Pancasila

Puasa Ramadhan, Ketakwaan, dan Pancasila

Ramadhan
Mudik Berkemajuan

Mudik Berkemajuan

Ramadhan
Meraih Ketakwaan dengan Puasa

Meraih Ketakwaan dengan Puasa

Ramadhan
Lailatul Qadar Ada Pada Diri Kita

Lailatul Qadar Ada Pada Diri Kita

Ramadhan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
icon-calculator

Kalkulator Zakat

Rp.
Rp.
Rp.
Minimal Rp6.644.868 per bulan
ornament calculator
Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com