TIBA saat hari perayaan datang, umat Islam seantero dunia menyambutnya sebagai hari kemenangan. Tidak pandang usia, suku dan ras apapun serta juga tidak pandang apakah berpusa secara penuh atau hanya puasa beduk.
Mereka semua tak luput dari kegembiraan dan penuh suka cita. Paling tidak sebagai penanda bahwa telah melampaui ujian keimanan selama bulan Ramadhan. Oleh karenanya perayaan disimbolkan dengan segala sesuatu yang baru; busana baru, hubungan baru dan hal-hal baru lainnya.
Selama satu bulan umat Islam menjalankan kewajiban puasa sebagai usaha pemenuhan kesempurnaan atas rukun agama yang tidak lain bertujuan agar menjadikannya lebih bertakwa.
Puasa dalam makna yang eksplisit merupakan satu tindakan menahan diri dari makan dan minum serta tindakan keburukan yang dapat menjauhkan manusia dari nilai keimanannya. Itu sebabnya menjadi cukup puasa seseorang ketika mampu melampaui ujian lapar dan dahaga.
Disandingkan dengan makna implisit yang jauh lebih fundamental, puasa sejatinya erat kaitannya dengan persoalan spiritualitas manusia.
Sebagaimana kita mafhum bahwa manusia terdiri atas dimensi fisik dan ruhiyah, maka puasa sejatinya merupakan proses mental yang mampu menyegarkan kembali aspek kebatinan seseorang bahkan meningkatkan kadar kualitas hidup dan keimanannya.
Maka kemenangan seorang muslim dalam menjalankan kewajiban puasa adalah ketika muncul perubahan-perubahan sikap dan perilaku yang lebih positif sebagai implikasi atas tertempanya iman. Puasa secara fisik yang sebetulnya hanya mengubah siklus biologi manusia.
Puasa sebagai sebuah proses mental menjadi keniscayaan individu untuk bermetamorfosisis menjadi manusia yang suci kembali. Manusia yang pandangannya mampu menembus tabir dimensi ketuhanan yang sejauh ini terkabut oleh pandangan nafsu dan libido saja.
Meminjam istiah Freud yang terkenal dengan pandangan psikoanalisis bahwa libido inilah yang mendasari gerak perilaku manusia. Libido yang mencakup aspek bukan hanya dorongan seksual saja, lebih luas melingkupi semua aspek energi dari naluri kehidupan yang bersifat fisiologis.
Dorongan inilah yang seringkali mendominasi ruang bawah sadar dalam struktur psikologi manusia yang banyak mempengaruhi perilaku.
Secara teori, psikoanalisis menjelaskan mengenai tingkat kesadaran dan ketaksadaran, yang merupakan kunci untuk memahami perilaku dan masalah kepribadian.
Secara proporsional dapat diilustrasikan dengan fenomena gunung es di mana bagian kecil yang menyembul ke permukaan sebagai dimensi sadar manusia, semetara bagian paling besar gunung es adalah bagian badan yang tidak tampak dipermukaan air sebagi dimensi ketidak sadaran manusia.
Ketaksadaran di dalamnya mengandung unsur pengalaman, kenangan, bahan- bahan yang direpresi (ditekan), kebutuhan dan motivasi yang tidak dapat diakses dan dikontrol. Teori ini percaya bahwa sebagian besar fungsi psikologis terletak di luar wilayah kesadaran.
Oleh karena itu, terapi psikoanalitik ditujukan untuk membuat motif tak sadar menjadi disadari, sebab hanya ketika menyadari motif- motif tersebut, seseorang mampu melaksanakan pilihan.
Oleh karena ruang ketidaksadaran menjadi dorongan terbesar perilaku seseorang dan didalamnya mengandung banyak dimensi nilai, pengalaman, motivasi instingtif dan spiritual, maka perlu sebuah mekanisme yang disengaja agar kekosongan ruang ini dapat diisi dengan sesuatu yang baik sebagai pengisi ruang memori, menyegarkan kembali memori keburukan dengan nilai-nilai kebaikan dan mereorientasi motivasi hidup manusia.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.