MASYARAKAT Arab pra Islam menjadikan suku sebagai ukuran status sosial. Suku yang kuat menduduki hierarki tertinggi. Salah satu suku yang terpandang adalah Quraisy. Kehebatan suku ini adalah kemampuan dagangnya yang tidak tertandingi dengan suku-suku lainnya. Kehebatannya dalam berdagang diabadikan di dalam surah Al-Quraisy.
Seorang yang tidak memiliki sandaran suku yang kuat dipandang sebelah mata. Arqam bin Abi Arqam adalah salah satu contoh penduduk Arab yang tidak dihargai. Dia bukan hanya tidak dihargai, melainkan tidak dianggap sama sekali. Sebab nasabnya tidak jelas. Tidak berujung pada sebuah suku besar dan terhormat.
Muhammad SAW adalah salah seorang keturunan Quraisy yang terhormat. Nasabnya sampai pada Nabi Ismail AS. Beristrikan seorang janda kaya dan cantik, Siti Khadijah. Meskipun berasal dari keluarga yang sederhana, yatim piatu, pernah menjadi penggembala kambing, tetapi beliau mampu melakukan mobolitas vertikal.
Sehingga di umur yang masih muda, 25 tahun, dia secara status sosial dapat disejajarkan dengan pembesar-pembesar suku Quraisy. Hal ini tentu saja berkat peran sang istri yang mapan dan kaya raya.
Muhammad Anti Kemapanan
Selama 15 tahun beliau menjalani hidup penuh kecukupan dan kemuliaan. Untuk urusan dunia beliau sudah selesai, kekayaan lebih dari cukup. Di tengah kehidupan yang seperti itu ada satu hal yang unik dari kepribadiannya, yakni tidak mencari “kekuasaan”.
Berbeda dengan kondisi saat ini, ketika seseorang sudah mapan dalam perkara ekonomi, maka yang dicari adalah kekuasaan. Setelah kekuasaan didapat, ujung-ujungnya adalah untuk memperkuat urusan ekonomi lagi. Akhirnya manusia tidak terlepas dari perkara kehormatan dan perut lagi.
Hal inilah yang menurut Abraham Mashlow disebut need of achievement, yakni kebutuhan untuk berprestasi. Menurutnya manusia dalam hidup selalu haus untuk terus maju dan meraih hal-hal yang belum pernah didapatkan. Secara tidak langsung sebenarnya teori ini memperkuat bahwa manusia memiliki tabiat tamak (serakah). Sifat tamak ini tidak ada habisnya, sebelum sampai kepada maqabir (peristirahatan terakhir).
Berbeda dengan Muhammad SAW, di puncak kemapanan yang direnungkan bukanlah kekuasaan, melainkan sebuah tatanan sosial baru. Sebuah masyarakat yang egaliter, setara, dan penuh keadilan. Sifat seperti ini dapat dikatakan “anti kemapanan”. Sebab yang dituju bukan dunia, harta, dan kekuasaan lagi.
Langkahnya diawali dari merenung dan menyendiri di gua, yakni hira. Berkontemplasi, bermeditasi, dan berfilsafat sekaligus. Pada titik inilah dia mendapatkan puncaknya, wahyu ilahiyah menghampiri dirinya. Saat itulah tugas kenabian harus dijalankan.
Misi Profetik
Tugas sebagai Nabi tidaklah mudah. Sebab tugas-tugas tersebut membawa konsep-konsep yang berlawanan dengan konstruksi sosial yang sudah mapan. Bahkan yang dilawan bukan hanya suku-suku lain, melainkan sukunya sendiri, bahkan karib, kerabat, dan keluarga sendiri, yakni membangun tatanan dunia baru, yakni Islam.
Islam dalam pengertian berserah diri kepada Tuhan secara total. Bukan Islam sebagai institusi agama yang eksklusif. Membangun kesetaraan sesama manusia. Meninggalkan masyarakat suku yang penuh dengan kasta dan sekat sosial. Menjadikan Tuhan sebagai pusat peradaban. Ketika menjadikan Tuhan sebagai pusat peradaban, maka tuhan-tuhan kecil harus ditiadakan.
Tugas sebagai Nabi ini tentu membawa resiko besar. Bukan hanya harta, nyawa tentu menjadi taruhan. Kalau saat ini kita berkompetisi di dunia politik, paling banter menggadaikan harta, tetapi tugas kenabian ini mempertaruhkan segalanya. Bahkan Nabi SAW hingga akhir hayatnya, tidak meninggalkan kerajaan, emas segunung, anak keturunan, dan selir, melainkan hanya rumah berukuran beberapa petak saja.
Risalahnya berawal dari perintah membaca (iqra’), kemudian menyurakan tatanan sosial yang berangkat dari aqidah. Kalimat Allahu shomad, “Allah adalah tempat bergantung”, menjadi sebuah pondasi tatanan hidup baru.