DIRIWAYATKAN dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Ada seorang laki-laki berkunjung kepada saudaranya di desa lain. Lalu Allah menyuruh malaikat untuk mengawasi perjalanannya. Setelah malaikat bertemu dengan dia, malaikat itu bertanya, Hendak kemana kamu? Jawabnya, Aku hendak mengunjungi saudaraku di desa ini."
"Tanya malaikat, Apakah kamu berkunjung kepadanya karena berhutang budi kepadanya?Jawabnya,Tidak, tetapi aku mencintainya karena Allah Azza wa Jalla. Kata malaikat, sesungguhnya, aku diutus oleh Allah untuk menyampaikan kepadamu bahwa Allah telah mencintaimu, sebagaimana kamu mencintainya karena Allah,” (HR. Muslim).
Berkunjung kepada keluarga dalam rangka silaturahmi adalah kegiatan mulia.
Saat merayakan Idul Fitri atau Idul Adha, pulang ke kampung halaman, sering disebut mudik alias mulih ke udik.
Euforianya sangat terasa untuk tahun 1443 Hijriyah ini. Setelah dua tahun dilarang karena pandemi Covid-19, kini diijinkan, bahkan difasilitasi.
Bila pun vaksin booster menjadi syarat, tak mengurangi antusiasnya para perantau kembali ke tanah kelahiran. Rindu berat pada keluarga dan kerabat, bolehlah ditumpahkan sehingga ikatan batin semakin erat.
Mudik atau pulang kampung bermakna unik. Secara fisik dan sosial mengandung makna perjumpaan, silahturahmi dengan orangtua, sanak saudara juga teman.
Walau kadang agak sedikit berlebihan, kelas sosial lebih banyak ditonjolkan. Maka tak jarang yang kembali ke kampung halaman mempertontonkan materi sebagai simbol kesuksesan. Sementara, esensi mudik kadang terlupakan.
Padahal, di kampung, kebaikan hendaknya ditunaikan dan mudik sebaiknya memajukan.
Bersilaturahmi karena perintah Allah Yang Maha Rahman akan menebarkan kemanfaatan. Mudik menjadikan yang menjauh menjadi dekat dan persaudaraan menjadi erat.
Diriwayatkan dari Numan bin Basyir r.a, Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyayangi, seperti satu tubuh. Apabila satu organ tubuh merasa sakit, akan menjalar kepada semua organ tubuh, yaitu tidak dapat tidur dan merasa demam,” (HR. Muslim).
Diriwayatkan dari Abu Musa r.a, Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya,” (HR. Muslim).
Ada tiga kata kunci yang menjadi prinsip nilai dari mudik yang berkemajuan, yaitu cinta karena Allah, satu tubuh, dan seperti bangunan.
Cinta karena Allah simbol adalah ketulusan dan keihlasan. Selalu memberi, tak harap kembali, bagai matahari menyinari bumi setiap hari.
Satu tubuh adalah permisalan kedekatan. Tak ada jarak karena kebencian, ingin menjatuhkan atau membicarakan di belakang karena iri atau kemarahan.
Dekat karena satu akidah, bukan hanya karena satu daerah atau ikatan darah.
Tak ada peluang untuk saling menyakiti, selain berusaha untuk memberdayakan, membebaskan dari keterbelakangan, saling mengasihi dan melindungi.
Berjumpa sanak saudara untuk saling bergandengan tangan memajukan berbagai sisi kehidupan. Satu bangunan, saling menguatkan.
Rapuh satu bagian akan membuat condong bangunan. Ambruk dan ambrol hanya karena tiupan angin atau terkena derasnya hujan.
Satu bangunan dimulai dari pondasi hingga atap. Tak ada yang merasa lebih berperan selain saling mengokohkan. Saling menopang, berkolaborasi dalam setiap tugas dan amanah menjalankan tugas kemanusiaan dan perintah Tuhan.
Saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.