TUJUAN (goal, destinasi) dari setiap tindakan harus diketahui terlebih dahulu agar pola tindakannya terarah dan tidak memberikan ruang gaduh apalagi penyimpangan. Hal ini merasuk pula dalam hal perilaku keagamaan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan perilaku keagamaan adalah menggapai kebahagiaan. Nah, dari sini muncul pertanyaan,"kebahagiaan yang bagaimanakah yang menjadi destinasi perilaku tersebut?”
Dalam sebuah untaian permohonan yang disebut dengan doa sapujagad dinyatakan: “Wahai Tuhan kami berilah kami bahagia di dunia, bahagia di akhirat, dan hindarkan kami dari kepedihan siksa neraka”.
Untuk mencapai ini dibutuhkan kunci utama yaitu takwa, yakni ketaatan lahir batin, qalban wa arkan, dalam menjalani segala perintah dan menjauhi segala larangan. Meskipun demikian ada hal yang perlu dijelaskan secara gamblang agar tujuan ketakwaan itu terwujud dalam dunia nyata sebagaimana mestinya.
Al Quran di berbagai tempat memberikan gambaran yang jelas terkait orang-orang yang bertakwa ini.
Mereka adalah orang-orang yang mengimani yang gaib, yang menegakkan shalat, mendistribusikan sebagian rezeki yang telah diberikan Allah SWT kepada mereka yang membutuhkan, mengimani wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW dan para utusan yang sebelumnya dan meyakini adanya hari akhir (disarikan dari QS Al-Baqarah (2):3-4).
Dari sini saja dapat diketahui bahwa orang yang bertakwa itu tidak akan mengarus-utamakan kepentingan pribadi dan menumpuk kebahagiaannya sendiri. Ia akan sangat peduli terhadap yang lain.
Ia akan hadir bagi yang lain untuk mendengar, memahami dan memberikan solusi-solusi kreatif yang dibutuhkan demi kemaslahatan yang meluas. At-ta’adi afdlalu minal qashr.
Artinya, orang yang bertakwa itu adalah orang yang punya jatidiri dan peduli terhadap yang lain secara terbuka (inklusif). Keimanan yang dimiliki diwujudkan dalam kerja-kerja yang benar.
Kalau sudah demikian maka ia akan selalu berusaha mengembangkan diri sebagai rasa syukur atas segala karunia yang diterima dan konsisten dengan sumpah jabatan yang telah diucapkannya.
Setelah mempunyai jatidiri dan berintegritas dalam ruang privat maka orang yang bertakwa akan melangkah masuk ke ruang publik dalam bingkai kesadaran “hidup bersama yang lain”.
Di sini ia mengembangkan prinsip ta’aamul (bekerjasama) dan ta’aawun (solidaritas, saling menolong) dalam orientasi kemaslahatan dan kebahagiaan bersama yang meluas berdasarkan atas kesetaraan, persaudaraan, dan kasih sayang. Jadi, orang yang bertakwa itu selalu aktif di manapun ia berada.
Ia tidak hanya datang secara pasif, tapi melibatkan diri bersama yang lain dalam mencermati dan memahami persoalan yang ada dihadapi masyarakat dan lingkungan sekitarnya serta menggali solusi-solusi kreatif yang dibutuhkan secara gotong royong yang menjunjung tinggi prinsip kebersamaan (kekitaan, kekamian), bukan keakuan dengan selubung kebersamaan.
Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika Hadlratus Syeikh KH M Hasyim Asy’ari dalam Kitab Muqaddimah Qanun Asasi menegaskan bahwa ijtima’ (kumpul-kumpul dalam sebuah pertemuan), ta’aaruf (saling mengenal dan saling mengakui secara menyeluruh yang menghadirkan solidaritas).
Lalu, ittihad (kesadaran penyatuan frekuensi), dan ta’alluf (kekompakan yang berbasis ketersambungan spiritual dan cinta) merupakan hal yang tidak seorangpun yang tidak mengetahui manfaatnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.