BEDUG dan kentongan adalah dua benda yang telah melekat dengan Masjid di Indonesia, sejak Abad ke-14, ketika para Wali melakukan syiar Islam di berbagai daerah.
Khususnya di Pulau Jawa, tabuhan bedug dan kentongan menjadi penanda masuknya waktu sholat. Tak terkecuali di Jakarta, kota yang telah menjadi sentra masyarakat Nusantara, sejak era kejayaan Pangeran Jayakarta di abad ke-16.
Menjelang Ramadhan hingga malam lebaran, tabuhan bedug akan semakin meriah di masjid-masjid yang dikelola warga Asli Jakarta. Saya tak menyebut warga Betawi, karena istilah "Betawi" adalah peninggalan VOC.
Saya lebih suka menyebut "Jakarta", sebagai penghormatan terhadap pendiri kota ini, yakni Raden Fatah, yang memberi nama kota ini sebagai Jayakarta.
Bagi warga Jakarta sebelum era 90-an, tabuhan bedug di setiap malam bulan Ramadhan, dengan segala variasi iramanya, punya makna tersendiri.
Warga Jakarta di era tahun 1960 hingga tahun 1990-an, punya tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan yang kadang terkesan berlebihan.
Seperti menabuh bedug menjelang magrib, bakda tarawih, di tengah malam, hingga saat menjelang sahur.
Sehari menjelang Ramadhan, anak-anak Jakarta biasa menyulut 'bleguran' (bambu kentung yang diisi karbit), dilanjutkan dengan menabuh bedug di malam pertama Ramadhan.
Itu semua menjadi simbol kegembiraan warga Jakarta dalam menyambut Ramadhan. Selaras dengan ajaran para Ulama, yang bersumber dari sejumlah hadist Nabi tentang kebahagiaan menyambut Ramadhan.
Meluapkan kegembiraan terhadap datangnya waktu-waktu yang baik juga diajarkan dalam Al-Quran. Dalam Surat Yunus ayat 58, Allah berfirman,
ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ
“Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus [10]: 58).
Jauh hari sebelum Ramadhan, biasanya di bulan Rajab dan Sya'ban, warga Jakarta juga akrab dengan doa yang dikumandangkan setiap menjelang dan setelah Solat Fardu.
"Allahumma bariklana fii Rajaba, wa sya'bana, waballighna Ramadhan".
Sebuah doa yang meminta agar Allah memberkahi kita selama bulan Rajab dan Sya'ban, serta memanjangkan usia kita hingga bisa berjumpa bulan Ramadhan.
Doa tersebut tak hanya dilantunkan di mulut, tetapi diterapkan dalam sejumlah tradisi yang dilaksanakan sejak awal Rajab, hingga sehari menjelang Ramadhan tiba.
Seperti dalam tradisi 'anteran' atau 'nyorog' di mana warga Jakarta akan bertamu kepada keluarga atau tetangganya yang lebih tua, dengan membawa makanan khas, seperti ketupat, dodol, hingga opor ayam atau bahkan daging kerbau 'andilan'.
Tradisi anteran menjelang puasa ini menjadi simbol pentingnya menjaga silaturahmi, permohonan maaf, dan pembersihan jiwa dari dendam atau rasa ketersinggungan yang mungkin terjadi selama setahun sebelumnya.
Tradisi bersuci menjelang Ramadhan juga biasa dilakukan dengan 'padusan', yakni mandi dan bersih-bersih diri, serta bersih-bersih dan mengecat rumah, hingga tradisi ziarah dan bersih-bersih kuburan orang tua, guru, dan leluhur.
Tradisi tersebut dulu marak di Jakarta, sebagai bentuk kegembiraan atas banyaknya kemuliaan, berkah, dan keutamaan bulan Ramadhan.
Boleh dibilang, seluruh warga Jakarta era sebelum 90-an sangat akrab dengan tradisi tersebut. Karena hampir seluruh warga Jakarta masih erat memeluk ajaran Islam.
Sampai-sampai ada istilah "boleh dibakal opat, kalau ada warga Betawi yang non muslim."
Artinya, kalau warga asli Jakarta, sejak dulu selalu kental dengan tradisi keislaman.
Bahkan, jika pun ada yang non-muslim, seperti di Tugu, itu karena mereka keturun Portugis. Itu pun mereka tetap akrab dengan tradisi keislaman. Terlihat dari kostum mereka saat ke gereja yang mengenakan baju koko dan peci.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.