SEBAGAI bukan “anak sekolahan”, saya selalu suka istilah Madrasah Ramadhan. Izinkan saya menajamkan frasa kiasan itu sebagai cara untuk berbagi dan menasehati diri sendiri.
Madrasah, sebagaimana juga sekolah, biasanya bersifat terbuka untuk umum. Belakangan, sebab pandemi, gedung sekolah atau madrasah sepi secara luring, namun semarak secara daring. Demikianlah, watak dasar dari pengajaran formal adalah kebutuhan publik, kebutuhan beramai-ramai. Madrasah Ramadhan berbeda. Allah Ta’ala merancangnya sebagai fasilitas privat untuk bersunyi-sunyi.
“Amalan Puasa,” sabda Allah Ta’ala dalam hadis qudsi, “hanya untuk-Ku. Aku sendiri yang membalasnya.” Dengan demikian puasa adalah urusan pribadi-pribadi. Bahkan "yang pribadi” itu pun pada akhirnya melebur sebagai semacam hak prerogatif Allah semata-mata.
Tiga Kelas Puasa
Dari Imam Al Ghazali, dengan gubahan sekadarnya, kita mengenali tiga kelas puasa: kelas umum, kelas khusus, dan kelas istimewa. Mari kita mulai dari kelas ketiga.
Kelas Istimewa (khususul khusus) dihuni manusia-manusia paripurna. Puasa di kelas ini berarti hati yang kalis dari segala hasrat rendah dan tujuan duniawiah. Yang ada hanyalah Yang Maha Ada: Allah.
Begitu terbersit selain Allah, puasa rusak dan batal. Manusia di kelas ini tahan mengarungi segenap lekuk-lekuk dunia dengan orientasi ukhrowi seutuhnya, sepenuhnya.
Dengan kualifikasi serba sulit, wajar bila penghuni kelas ini amat sedikit. Inilah kelas elit yang sebagian besar anggotanya adalah para penentu sejarah dan peradaban. Bila anda sudah sampai di kelas ini, saya titip salam untuk para Nabi.
Kelas kedua, yakni kelas menengah (khusus), dihuni orang-orang saleh. Mereka memuasakan seluruh indera dari peluang dosa. Telinga, mata, lisan, tangan, kaki dan perangkat fisik steril dari kejahatan terhadap sesama.
Saya ajukan ilustrasinya. Andai seseorang memakai jempol untuk menyebar berita bohong, status puasanya rusak. Andai ia tega menyakiti hati tetangga, puasanya batal.
Di kedua kelas ini hal-ihwal menyangkut lapar dan dahaga bukan lagi isu. Mengapa demikian? Sebab, meragukan ikan mampu berenang dan burung bisa terbang adalah kekonyolan yang sama sekali tak relevan.
Sedangkan Kelas Dasar ('awam) dihuni manusia yang berjuang menahan hasrat perut dan kelamin. Menjeda lapar, dahaga, atau senggama kelihatannya memang tak terlalu sulit dilakukan. Dalam keadaan normal, manusia biasa bisa menanggung durasi antara fajar dan senja.
Di kelas ini, manusia menggladi diri untuk belajar menahan jarak bahkan terhadap sesuatu yang pada hari-hari biasa dikategorikan sebagai halal dan pantas. Ini memang kelas awam, tapi tidak seremeh kelihatannya. Banyak pelajaran di kelas ini, antara lain seni mengenali batas cukup, skill memaafkan, kepiawaian berbagi, kepekaan merasakan perspektif liyan, dan sebagainya. Lulus dari kelas ini sungguh lumayan. Bagaimana tidak? Bila terhadap yang halal saja orang mampu bersikap emoh, apalagi terhadap yang memang haram.
Kelas dasar ini adalah semacam treshold, yakni ambang batas yang mesti dipenuhi agar puasa bisa dianggap sah secara syariat. Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad SAW bahkan melarang sahabat-sahabat yang hendak berpuasa tanpa berbuka.
Tentu tak ada paksaan untuk naik ke kelas tertinggi bagi mereka yang berpuasa. Saya sendiri merasa standar kelulusan di kelas dasar sudah amat lumayan.