Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setahun Taliban Berkuasa, Ini Rentetan Hak-hak Perempuan Afghanistan yang Direnggut

Kompas.com - 14/08/2022, 08:45 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

Pada 2021, dia dinobatkan sebagai Jurnalis Tahun ini dan "wajah kebebasan berpendapat" oleh Pusat Kebebasan Berbicara Afghanistan. Anisa Shaheed juga salah satu yang masuk daftar BBC 100 women tahun 2021.

"Di puncak perubahan dan keputusasaan, saya berharap bisa melihat kedamaian di Afghanistan. Dan saya berharap saya bisa kembali ke kampung halaman saya, rumah saya, dan pekerjaan saya," kata dia.

19 September 2021 - Pegawai pemerintah kota dirumahkan

Pejabat Taliban memerintahkan pegawai perempuan di Kantor Pemerintah Kota Kabul dirumahkan.

Mereka mengumumkan hanya pegawai yang posisinya tidak bisa digantikan oleh laki-laki saja yang bisa kembali bekerja untuk sementara, termasuk beberapa pegawai di departemen desain dan teknik, serta petugas di toilet umum perempuan.

Baca juga: Rekannya Diduga Ditipu dan Ditemukan Tewas, Aktivis Perempuan Afghanistan dalam Ketakutan

17 September 2021 - Kementerian Perempuan dibubarkan

Satu bulan setelah merebut kekuasaan, pemerintahan baru Taliban membubarkan Kementerian Perempuan Afghanistan dan diganti menjadi Kementerian Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan Afghanistan.

Lembaga itu menerjunkan polisi moral ke jalan seperti pada zaman Taliban berkuasa puluhan tahun lalu.

Dulu, polisi moral itulah yang menghajar perempuan yang menurut mereka tidak berpakaian sopan atau yang terlihat pergi ke luar tanpa pendamping laki-laki.

Pegawai perempuan yang bekerja di Kementerian Perempuan mengatakan kepada BBC bahwa mereka tidak bisa bekerja di gedung itu lagi.

"Tidak ada perempuan yang boleh berada di sana lagi. Kami semua punya tanggung jawab terhadap keluarga. Kami berpendidikan dan tidak mau membatasi diri kami hanya berkutat di rumah saja," kata salah satu pegawai.

8 September 2021 - Taliban menyatakan perempuan tidak usah terlibat dalam olahraga

Para perempuan Afghanistan dilarang terlibat dalam berbagai kompetisi setelah Kepala Komisi Budaya Taliban, Ahmadullah Wasiq, menyatakan olahraga bagi perempuan itu tidak pantas dan tidak perlu.

"Dalam kriket, mereka mungkin berhadapan dengan situasi di mana wajah dan badan mereka tidak bisa ditutupi. Islam tidak memperbolehkan hal itu," kata Wasiq.

Baca juga: Taliban Beri Sinyal Anak Perempuan Afghanistan Dapat Kembali ke Sekolah

Saat Kabul jatuh ke tangan Taliban, kriket profesional untuk perempuan diambang kehancuran. Kini, kebanyakan atletnya berada di luar negeri dan berjanji akan tetap bermain kriket.

Sahar sudah bermain untuk tim lokal sepak bola selama tiga tahun. Namun, ketika Taliban berkuasa, dia dan keluarganya bersembunyi, sebelum akhirnya diterbangkan ke negara lain.

"Keluarga saya di sepak bola, teman-teman dan guru-guru saya, sangat besar," kata dia kepada BBC 100 Women.

Sahar harus berhenti bermain dan dua sangat sedih.

"Ketika saya melihat seragam, sepatu, dan bola, saya bisa menangis. Saya punya banyak harapan dan mimpi untuk masa depan saya. Saya ingin sukses sampai tidak ada lagi orang yang bisa mengatakan perempuan itu tidak bisa main bola," kata dia.

Ini merupakan bentuk pengekangan dalam setahun Taliban berkuasa di bidang olahraga.

7 September 2021 - Taliban mengumumkan semua anggota kabinet adalah laki-laki

Taliban mengumumkan semua anggota kabinet adalah laki-laki. Pada pemerintahan sebelumnya, dalam satu waktu, pernah ada empat menteri perempuan, dengan dua gubernur perempuan memerintah di Afghanistan.

Baca juga: Tentang Taliban, Perempuan Afghanistan Nekad Kembali Kerja, Sekolah dan Turun ke Jalan

5 September 2021 - Taliban membubarkan demo perempuan

Taliban membubarkan demonstrasi yang dilakukan oleh puluhan perempuan di Kabul, yang memprotes hak mereka untuk kembali bekerja. Pasukan Taliban menggunakan gas air mata dan semprotan merica untuk mengendalikan demonstrasi perempuan yang digelar di ibu kota dan di Herat.

Aktivis Razia Barakzai mengikuti beberapa demo yang menuntut hak perempuan itu.

"Saya merasa harus melakukan sesuatu dan bukan menunggu orang lain untuk bertindak. Saya memutuskan ikut berdemo meskipun banyak risikonya," kata dia.

"Di hari pertama turun ke jalan, di sekitar gerbang istana, kami diserang, tapi karena kami diliput media, kami bisa terus berdemo," tambah Razia.

"Saya berharap suatu hari nanti kita bisa melihat Afghanistan yang ada di mimpi para perempuan yang berjiwa bebas dan terus memperjuangkan keadilan," kata Razia.

Nama-nama dalam laporan ini sudah diubah demi melindungi identitas mereka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com