KABUL, KOMPAS.com - Serangan teroris tidak menghentikan perempuan Afghanistan seperti Atifa Watanyar, untuk mengajar meski dia khawatir Taliban akan mencegat usahanya.
Bahkan sebelum kelompok militan itu berbaris ke Kabul, guru bahasa Inggris itu merasakan ketidakpastian dan sakit hati yang hebat.
Baca juga: Taliban Berhenti Bayar Listrik, Afghanistan Terancam Kembali ke Abad Kegelapan
Pada awal Mei, dia berada di pintu masuk sekolah Sayed Al-Shuhada di pinggiran ibu kota dan melihat ledakan di depan gerbang utama.
Saat itu murid-muridnya bergegas melewatinya, mencoba melarikan diri ke halaman yang berdebu di bawah. Tapi bom kedua dan ketiga meledak, menewaskan sedikitnya 85 orang, banyak dari mereka yang adalah gadis remaja.
Hanya beberapa bulan kemudian, Watanyar berdiri di pintu masuk yang sama sebelum pelajarannya dimulai.
Siswa perempuan muda mengalir ke lorong, suara mereka bergema dari dinding yang dicat dengan mural yang mengeklaim "masa depan lebih cerah."
"Apa yang harus kita katakan? Setiap hari saya melihat Taliban di jalanan. Saya takut. Saya sangat takut pada orang-orang ini," katanya melansir CNN pada Selasa (5/10/2021).
Pada Agustus, beberapa minggu setelah sekolah dibuka kembali, Taliban meraih kekuasaan dan sekali lagi mengeklaim Afghanistan sebagai Imarah Islam mereka.
Sebulan kemudian, kelompok tersebut secara efektif melarang siswa perempuan dari pendidikan menengah. Sekolah menengah diperintahkan dibuka kembali hanya untuk anak laki-laki.
Baca juga: Taliban Tangkap Pemimpin ISIS-K Setelah Ledakan Bom di Masjid Kabul
Kelompok itu mengatakan perlu menyiapkan "sistem transportasi yang aman," sebelum anak perempuan kelas enam sampai dua belas dapat kembali.
Tetapi Taliban memberikan alasan yang sama ketika berkuasa pada 1996. Siswa perempuan tidak pernah kembali ke kelas selama lima tahun pemerintahannya.
Tidak lagi bisa mengajar murid-muridnya yang lebih tua, Watanyar sekarang berfokus pada gadis-gadis yang lebih muda.
Dia memastikan setidaknya di dalam kelasnya, masih ada ruang untuk bermimpi.
"Apa yang harus kita lakukan, apa yang harus kita lakukan? Itu (kembali mengajar) hanya hal yang bisa kita lakukan untuk anak-anak kita, untuk putri kita, untuk anak perempuan kita," katanya.
Sebagian besar tindakan pembangkangan harian lebih kecil dan kurang publik, tetapi sama pentingnya, kata para aktivis.