TAHUN 1988, sebuah demonstrasi pro-demokrasi, yang saat itu lebih terkenal dengan sebutan Gerakan 8888, diberangus secara brutal oleh militer Myanmar. Kudeta militer pun menyusul setelah itu dan berujung pada diadakannya pemilu demokratis pada Mei 1990.
Partai National League of Democracy (NLD) yang saat itu dipimpin Aung San Syu Kyi secara telak memenangkan pemilu. Namun, penolakan junta militer untuk menyerahkan kekuasaannya, dengan menahan Aung San Syu Kyi disertai berbagai tuduhan pelanggaran hukum serta terus menekan setiap gerakan pro-demokrasi, membuat Myanmar kembali ke status pemerintahan darurat.
Seakan tidak kunjung selesai, kudeta terakhir yang terjadi pada 1 Februari 2021 seperti mengulangi kembali pola kejadian serupa beberapa tahun lalu. Kemenangan partai NLD, penolakan hasil pemilu oleh pihak militer, dan demonstrasi pro-demokrasi besar-besaran di berbagai wilayah Myanmar yang terus mendapat tekanan seperti layaknya déjà vu di negara tersebut.
Baca juga: Setahun Kudeta, Banyak Tentara Myanmar Membelot dari Junta Militer
Jumlah korban jiwa akibat aksi junta militer yang terus menekan setiap gerakan demonstrasi semakin bertambah, dan menambah panjang deretan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Myanmar.
Sejak invasi Vietnam terhadap Kamboja pada akhir 1970-an, krisis Myanmar saat ini merupakan tantangan berat yang harus dihadapi ASEAN. Kasus Myanmar saat ini membuka kembali perdebatan panjang terkait prinsip non-intervensi ASEAN. Hal ini terlihat dari respon negara-negara anggota ASEAN terhadap krisis di Myanmar yang saling berbeda pendapat, mulai dari yang aktif mengecam hingga yang diam saja.
Meskipun Myanmar telah diberikan berbagai sanksi oleh negara-negara Barat, pemimpin-pemimpin negara di regional ASEAN tetap membuka jalur diplomatik dan komunikasi dengan pemerintahan Tatmadaw (sebutan untuk rezim militer) tersebut. Keadaan ini seolah-olah membuat kepemimpinan otoriter Tatmadaw, oleh Jenderal Min Aung Hlaing, mendapatkan semacam legitimasi, serta membuat ASEAN terkesan menjadi organisasi regional yang tidak bertaji dalam menyikapi berbagai isu pelanggaran HAM.
Meskipun prinsip sentralitas dan nilai-nilai komunalnya tengah diuji, ASEAN telah mengupayakan berbagai bantuan terkait penyelesaian permasalahan yang terjadi di Myanmar. Tahun 2008, melalui mekanisme yang dipimpin ASEAN, badan regional tersebut berhasil menyalurkan berbagai bantuan kemanusiaan kepada Myanmar, terutama pasca-bencana badai Nargis.
Dua tahun sebelumnya, dengan tekanan dari negara-negara anggotanya, Myanmar menyatakan absen sebagai chairman ASEAN dalam rangka merekonsiliasi proses demokrasi di negara tersebut. Pada April 2021, ASEAN juga mengeluarkan lima poin konsensus dalam rangka penyelesaian konflik di Myanmar.
Agar eksistensinya dalam permasalahan keamanan dan stabilitas Myanmar semakin nyata, ASEAN dirasa perlu melakukan langkah-langkah lebih tegas. Salah satu argumen yang mengemuka saat ini adalah penangguhan keanggotaan Myanmar dari ASEAN untuk sementara waktu.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah hal itu harus dilakukan? Apakah langkah tersebut dapat menjadi solusi bagi ASEAN dalam membantu penyelesaian permasalahan Myanmar?
ASEAN sebenarnya tidak perlu melakukan penangguhan keanggotaan Myanmar dari organisasi regional tersebut. Penulis memiliki berbagai argumentasi yang mendukung terkait pernyataan ini.
Pertama, sebagian besar penduduk sipil yang pro-demokrasi di Myanmar menyatakan, mereka masih membutuhkan peran penting ASEAN dalam penyelesaian permasalahan domestiknya. Keluarnya Myanmar dari keanggotaan ASEAN ditakutkan dapat memengaruhi proses penyelesaian krisis politik dan HAM di negara tersebut.
Baca juga: China, Rusia, dan Serbia Disebut Terus Pasok Senjata ke Junta Myanmar
Sebuah riset bertajuk Economic Research Institute for ASEAN and East Asia tahun 2017, melakukan survei untuk mengetahui seberapa penting ASEAN bagi masyarakat Asia Tenggara. Survei tersebut menunjukkan, 80 persen responden asal Myanmar menyatakan bahwa keanggotaan negaranya di ASEAN merupakan suatu hal yang baik.
Sebanyak setengah dari responden memiliki jawaban yang bersifat moderat dalam menyikapi isu keluarnya Myanmar dari keanggotaan ASEAN, akan tetapi sekitar sepertiga dari responden tersebut menyatakan respon yang keras terkait isu tersebut.