Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

China, Rusia, dan Serbia Disebut Terus Pasok Senjata ke Junta Myanmar

Kompas.com - 22/02/2022, 17:30 WIB
Irawan Sapto Adhi

Penulis

Sumber AFP

MYANMAR, KOMPAS.com – China, Rusia, dan Serbia terus memasok senjata yang digunakan junta Myanmar untuk menyerang warga sipil sejak kudeta tahun lalu.

Hal itu diungkapkan oleh seorang pakar hak asasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (22/2/2022).

Pelapor Khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia (HAM) di Myanmar, Tom Andrews, mendesak Dewan Keamanan untuk mengadakan rapat darurat untuk memperdebatkan dan memberikan suara pada resolusi untuk setidaknya melarang transfer senjata yang diketahui digunakan oleh militer Myanmar untuk menyerang dan membunuh warga sipil Myanmar.

Baca juga: 1 Tahun Kudeta Militer Myanmar, Perlawanan Rakyat Belum Padam

Andrews merilis laporan yang telah lama ditunggu-tunggu pada Selasa, yang merinci dari mana junta mendapatkan senjatanya, menyoroti bahwa dua anggota tetap Dewan Keamanan itu sendiri, yang memegang hak veto atas keputusannya, tetap di antara pemasok utama.

“Meskipun bukti kejahatan kekejaman junta militer yang dilakukan dengan impunitas sejak meluncurkan kudeta tahun lalu, anggota Dewan Keamanan PBB Rusia dan China terus memberikan junta militer Myanmar dengan banyak jet tempur, kendaraan lapis baja, dan dalam kasus Rusia, janji senjata lebih lanjut," kata Andrews dalam sebuah pernyataan, dikutip  AFP, Selasa.

"Selama periode yang sama, Serbia telah mengizinkan roket dan artileri untuk diekspor ke militer Myanmar," kata Andrews, yang merupakan pakar independen yang ditunjuk oleh Dewan HAM PBB, tetapi tidak berbicara atas nama badan dunia itu.

Kejahatan terhadap kemanusiaan

Dalam laporannya, Andrews menyatakan bahwa transfer senjata oleh ketiga negara itu terjadi dengan kesadaran penuh bahwa mereka akan digunakan untuk menyerang warga sipil, yang kemungkinan melanggar hukum internasional.

Menurut PBB, Myanmar kini tengah berada dalam kekacauan, ekonominya lumpuh, dan lebih dari 1.500 warga sipil tewas dalam tindakan keras militer sejak kudeta pada Februari 2021.

Baca juga: Ketika Militer Myanmar Rayakan Hari Persatuan dalam Negara yang Terpecah Belah...


Sejak kudeta 1 Februari 2021, setidaknya 12.000 orang telah ditahan, termasuk kepala pemerintahan sipil de facto, Aung San Suu Kyi, sementara lebih dari 440.000 orang telah mengungsi secara paksa.

Andrews mengulangi dalam laporannya bahwa ada bukti kuat junta telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan, kekerasan seksual, dan penyiksaan.

"Situasi hak asasi manusia di Myanmar mengerikan dan memburuk," kata dia.

Laporan tersebut memberikan gambaran umum tentang negara-negara yang telah mengizinkan pengiriman senjata ke Myanmar sejak 2018, ketika serangan militer terhadap etnis minoritas Rohingya didokumentasikan secara luas dan setelah misi pencari fakta PBB mendesak embargo senjata.

Israel, India, Pakistan, Korea Selatan, Belarusia dan Ukraina juga termasuk dalam daftar itu, meskipun hanya China, Rusia dan Serbia yang melanjutkan transfer mereka sejak kudeta militer.

Baca juga: Takut Dimusuhi Junta, Banyak Orangtua Myanmar Tak Akui Anaknya yang Menentang Militer

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Global
Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Global
Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Global
PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

Global
Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Global
4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

Global
Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Global
Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Global
Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Global
Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Global
Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Global
Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Global
Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Global
Rusia Klaim Rebut 5 Desa dalam Pertempuran Sengit di Kharkiv

Rusia Klaim Rebut 5 Desa dalam Pertempuran Sengit di Kharkiv

Global
Di Balik Serangan Israel ke Rafah yang Bahkan Tak Bisa Dihalangi AS

Di Balik Serangan Israel ke Rafah yang Bahkan Tak Bisa Dihalangi AS

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com