Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setahun Setelah Kudeta, Nasib Myanmar Semakin Tidak Menentu

Kompas.com - 02/02/2022, 20:30 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Pada 1 Februari 2021, Jenderal Min Aung Hlaing mengkudeta pemerintahan sipil Myanmar, serta membui ribuan tokoh dan pegiat demokrasi. Laku junta militer gagal meredupkan perlawanan yang kini menjalar jadi perang terbuka.

Ribuan orang kehilangan telah nyawa sejak kudeta 1 Februari 2021 di Myanmar. Mereka adalah demonstran, gerilyawan pemberontak, pejabat pemerintah, serdadu dan warga sipil. Namun, hingga kini tidak jelas berapa jumlah pasti korban yang tewas di tangan penguasa baru di Naypyidaw.

Menurut organisasi HAM, Asosiasi Bantuan bagi Tahanan Politik (AAPP), sebanyak 1.463 "pahlawan” tercatat meninggal dunia dalam berbagai insiden terkait langsung dengan kudeta. Adapun lembaga pemantau konflik, The Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED), menyebut angka kematian secara umum mencapai lebih dari 11.000 orang.

Baca juga: 1 Tahun Kudeta Militer Myanmar, Perlawanan Rakyat Belum Padam

Dalam sebuah laporan akhir Januari lalu, Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat sebanyak 1,6 juta penduduk kehilangan mata pencaharian sejak kudeta setahun silam. Sementara PBB mengabarkan, 350.000 penduduk Myanmar ini berstatus pengungsi domestik.

Situasi muram juga dihadapi wartawan yang banyak dilaporkan menghilang, mendekam di penjara atau melarikan diri ke luar negeri.

Pakar Myanmar, David Scott Mathieson, menyimpulkan situasi aktual merupakan yang paling parah sejak era kemerdekaan Myanmar pasca Perang Dunia II.

"Pada dasarnya, militer sekarang mendeklaraskan perang terhadap penduduk sendiri,” katanya seperti dikutip dari harian berbahasa Inggris, The Irrawaddy.

Baca juga: Jalan-jalan Kosong, Warga Myanmar Protes Satu Tahun Kudeta Militer dalam Keheningan

Perlawanan menyeluruh

Jika sebelumnya militer Myanmar yang didominasi etnis Bamar berperang dengan suku-suku minoritas di perbatasan, kini perlawanan justru menjamur di jantung basin Sungai Irrawaddy, pusat populasi etnis Bamar.

Perlawanan paling sengit antara lain muncul dari Negara Bagian Sagaing di Myanmar tengah. Menyusul jatuhnya korban jiwa dalam aksi-aksi protes menentang kudeta, kelompok pro-demokrasi di Sagaing angkat senjata melawan junta.

Militer sejauh ini belum berhasil mengendalikan sepenuhnya situasi, meski menggelorakan kekerasan. Pakar militer AS, Anthony Davis, menilai taktik tersebut hanya mendorong warga Myanmar untuk memperkuat perlawanan.

Baca juga: AS, Inggris, dan Kanada Kompak Keluarkan Sanksi Baru untuk Myanmar, Tepat Setahun Setelah Kudeta

Anggota Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) dalam sebuah kamp pelatihan di area kekuasaan kelompok pemberontak etnis Karen.REUTERS via DW INDONESIA Anggota Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) dalam sebuah kamp pelatihan di area kekuasaan kelompok pemberontak etnis Karen.

Menurut temuannya, Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) yang dibentuk pemerintah sipil bayangan sudah terbentuk di 50 tempat di penjuru negeri. Dengan bantuan kelompok pemberontak etnis, mereka antara lain melancarkan serangan terhadap militer, polisi atau fasilitas pertahanan.

Di samping milisi PDF dan gerakan sipil, pasukan pemberontak etnis membentuk kekuatan ketiga melawan junta militer. Mereka menawarkan perlindungan dan pelatihan bagi simpatisan pro-demokrasi, tetapi bersikeras mengontrol wilayah sendiri, demikian menurut laporan International Crisis Group (ICG) baru-baru ini.

Laporan itu mencatat sikap ambigu sebagian kelompok pemberontak etnis terhadap kelompok oposisi Myanmar. Keraguan terutama bersumber pada masa depan konflik yang tidak jelas.

Baca juga: Masih Ingat Suster Ann Roza? Ini Kabarnya Jelang Setahun Kudeta Myanmar

Tiga jalan keluar

Sebagian besar pemerhati Myanmar menyepakati tiga skenario bagi masa depan negeri di Basin Irrawaddy itu. Jika bukan militer atau oposisi yang memenangi perang, maka situasi berimbang yang berlangsung lama.

Tidak satu skenario pun mengindikasikan perdamaian dan kesejahteraan bagi warga Myanmar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com