Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Krisis Myanmar Berlarut-larut, Keanggotannya di ASEAN Perlu Ditangguhkan?

Partai National League of Democracy (NLD) yang saat itu dipimpin Aung San Syu Kyi secara telak memenangkan pemilu. Namun, penolakan junta militer untuk menyerahkan kekuasaannya, dengan menahan Aung San Syu Kyi disertai berbagai tuduhan pelanggaran hukum serta terus menekan setiap gerakan pro-demokrasi, membuat Myanmar kembali ke  status pemerintahan darurat.

Seakan tidak kunjung selesai, kudeta terakhir yang terjadi pada 1 Februari 2021 seperti mengulangi kembali pola kejadian serupa beberapa tahun lalu. Kemenangan partai NLD, penolakan hasil pemilu oleh pihak militer, dan demonstrasi pro-demokrasi besar-besaran di berbagai wilayah Myanmar yang terus mendapat tekanan seperti layaknya déjà vu di negara tersebut.

Jumlah korban jiwa akibat aksi junta militer yang terus menekan setiap gerakan demonstrasi semakin bertambah, dan menambah panjang deretan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Myanmar.

Sejak invasi Vietnam terhadap Kamboja pada akhir 1970-an, krisis Myanmar saat ini merupakan tantangan berat yang harus dihadapi ASEAN. Kasus Myanmar saat ini membuka kembali perdebatan panjang terkait prinsip non-intervensi ASEAN. Hal ini terlihat dari respon negara-negara anggota ASEAN terhadap krisis di Myanmar yang saling berbeda pendapat, mulai dari yang aktif mengecam hingga yang diam saja.

Meskipun Myanmar telah diberikan berbagai sanksi oleh negara-negara Barat, pemimpin-pemimpin negara di regional ASEAN tetap membuka jalur diplomatik dan komunikasi dengan pemerintahan Tatmadaw (sebutan untuk rezim militer) tersebut. Keadaan ini seolah-olah membuat kepemimpinan otoriter Tatmadaw, oleh Jenderal Min Aung Hlaing, mendapatkan semacam legitimasi, serta membuat ASEAN terkesan menjadi organisasi regional yang tidak bertaji dalam menyikapi berbagai isu pelanggaran HAM.

Meskipun prinsip sentralitas dan nilai-nilai komunalnya tengah diuji, ASEAN telah mengupayakan berbagai bantuan terkait penyelesaian permasalahan yang terjadi di Myanmar. Tahun 2008, melalui mekanisme yang dipimpin ASEAN, badan regional tersebut berhasil menyalurkan berbagai bantuan kemanusiaan kepada Myanmar, terutama pasca-bencana badai Nargis.

Dua tahun sebelumnya, dengan tekanan dari negara-negara anggotanya, Myanmar menyatakan absen sebagai chairman ASEAN dalam rangka merekonsiliasi proses demokrasi di negara tersebut. Pada April 2021, ASEAN juga mengeluarkan lima poin konsensus dalam rangka penyelesaian konflik di Myanmar.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah hal itu harus dilakukan? Apakah langkah tersebut dapat menjadi solusi bagi ASEAN dalam membantu penyelesaian permasalahan Myanmar?

ASEAN sebenarnya tidak perlu melakukan penangguhan keanggotaan Myanmar dari organisasi regional tersebut. Penulis memiliki berbagai argumentasi yang mendukung terkait pernyataan ini.

Pertama, sebagian besar penduduk sipil yang pro-demokrasi di Myanmar menyatakan, mereka masih membutuhkan peran penting ASEAN dalam penyelesaian permasalahan domestiknya. Keluarnya Myanmar dari keanggotaan ASEAN ditakutkan dapat memengaruhi proses penyelesaian krisis politik dan HAM di negara tersebut.

Sebuah riset bertajuk Economic Research Institute for ASEAN and East Asia tahun 2017, melakukan survei untuk mengetahui seberapa penting ASEAN bagi masyarakat Asia Tenggara. Survei tersebut menunjukkan, 80 persen responden asal Myanmar menyatakan bahwa keanggotaan negaranya di ASEAN merupakan suatu hal yang baik.

Sebanyak setengah dari responden memiliki jawaban yang bersifat moderat dalam menyikapi isu keluarnya Myanmar dari keanggotaan ASEAN, akan tetapi sekitar sepertiga dari responden tersebut menyatakan respon yang keras terkait isu tersebut.

Meskipun dalam survei tersebut jumlah responden Myanmar termasuk kecil, yaitu berjumlah 208 orang, sekitar 97 persen merupakan warga negara berusia di bawah 50 tahun dan sekitar 35 persennya berusia antara 15-30 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Myanmar masih memiliki optimisme tinggi yang perlu dijaga terhadap keterlibatan ASEAN di negaranya.

Kedua, keluarnya Myanmar dari keanggotaan ASEAN bertentangan dengan semangat organisasi regional itu sendiri, yang kini sedang berproses dalam membangun komunitas bersifat people-oriented dan people-centered. Ide dalam membangun komunitas ASEAN sebenarnya sudah ada sejak Bali Concord II pada tahun 2003. Kesepakatan tersebut mendefinisikan ASEAN Community sebagai sebuah “Community of Opportunities” untuk semua masyarakat ASEAN, yang terjalin erat dan saling memperkuat satu sama lain untuk menjamin perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran bersama di kawasan Asia Tenggara.

Dari konsep tersebut, terbentuklah tiga pilar utama yakni ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN Political-Security Community (APSC), dan ASEAN Social-Cultural Community (ASCC). Keluarnya Myanmar dari keanggotaan ASEAN tentunya mencederai inklusivitas pembentukan komunitas tersebut, yang telah berorientasi bukan pada state-centered tetapi people-oriented dan people-centered.

Melepaskan Myanmar dari ASEAN dapat berarti menghilangkan kesempatan Myanmar untuk berpartisipasi aktif dalam diskursus penyelesaian krisis negaranya dalam lingkup organisasi regionalnya.

Ketiga, meskipun sedikit banyak dapat mengurangi legitimasi pemerintahan junta militernya, penangguhan keanggotaan Myanmar oleh ASEAN tidak akan berpengaruh banyak dalam penyelesaian krisis domestik di negara itu. Krisis Myanmar saat ini murni bersumber dari konflik politik antara pemerintahan otoriter dengan yang pro-demokrasi, sehingga intervensi pihak eksternal akan sulit mengubah kondisi tersebut kecuali jika dilakukan dengan cara yang sangat masif.

Perlu digarisbawahi bahwa negara-negara Barat dan PBB telah mengeluarkan banyak sanksi bagi Myanmar terkait praktik pelanggaran HAM yang terjadi hingga saat ini, termasuk menghalangi suplai senjata masuk ke wilayah itu. Akan tetapi, sanksi tersebut dinilai belum cukup untuk menekan tindakan otoriter pihak Tatmadaw.

Apabila negara-negara Asia Tenggara ingin berkontribusi lebih dalam penyelesaian kasus Myanmar, hal tersebut hendaknya dilakukan di luar dari kerangka kerja ASEAN dan lebih masif melibatkan pihak eksternal.

Saat ini, yang banyak terjadi hanyalah kecaman demi kecaman bagi pemerintah junta militer Myanmar, seperti pada kasus Rohingya sejak tahun 2015, yang sebenarnya secara tidak langsung semakin mempertanyakan sentralitas ASEAN dikarenakan sikap pasifnya dalam kasus tersebut. Walau demikian, ASEAN tetap merupakan salah satu organisasi yang memiliki tanggung jawab moral paling besar dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara.

ASEAN perlu lebih intens dalam melakukan berbagai manuver politik antara kelompok-kelompok domestik yang sedang bersitegang dengan kekuatan-kekuatan eksternal yang dapat memengaruhinya.

Penulis merasa bahwa inklusivitas tetap perlu dijunjung dalam penyelesaian berbagai konflik, sehingga penangguhan keanggotaan Myanmar dari ASEAN sebenarnya tidak perlu dilakukan. Norma-norma demokrasi tetap harus memainkan perannya di ruang lingkup ASEAN.

https://www.kompas.com/global/read/2022/07/07/110000170/krisis-myanmar-berlarut-larut-keanggotannya-di-asean-perlu-ditangguhkan-

Terkini Lainnya

Pemilu India: Pencoblosan Fase Kedua Digelar Hari Ini di Tengah Ancaman Gelombang Panas

Pemilu India: Pencoblosan Fase Kedua Digelar Hari Ini di Tengah Ancaman Gelombang Panas

Global
Kim Jong Un: Peluncur Roket Teknologi Baru, Perkuat Artileri Korut

Kim Jong Un: Peluncur Roket Teknologi Baru, Perkuat Artileri Korut

Global
Anggota DPR AS Ini Gabung Aksi Protes Pro-Palestina di Columbia University

Anggota DPR AS Ini Gabung Aksi Protes Pro-Palestina di Columbia University

Global
Ditipu Agen Penyalur Tenaga Kerja, Sejumlah Warga India Jadi Terlibat Perang Rusia-Ukraina

Ditipu Agen Penyalur Tenaga Kerja, Sejumlah Warga India Jadi Terlibat Perang Rusia-Ukraina

Internasional
Rangkuman Hari Ke-792 Serangan Rusia ke Ukraina: Jerman Didorong Beri Rudal Jarak Jauh ke Ukraina | NATO: Belum Terlambat untuk Kalahkan Rusia

Rangkuman Hari Ke-792 Serangan Rusia ke Ukraina: Jerman Didorong Beri Rudal Jarak Jauh ke Ukraina | NATO: Belum Terlambat untuk Kalahkan Rusia

Global
PBB: 282 Juta Orang di Dunia Kelaparan pada 2023, Terburuk Berada di Gaza

PBB: 282 Juta Orang di Dunia Kelaparan pada 2023, Terburuk Berada di Gaza

Global
Kata Alejandra Rodriguez Usai Menang Miss Universe Buenos Aires di Usia 60 Tahun

Kata Alejandra Rodriguez Usai Menang Miss Universe Buenos Aires di Usia 60 Tahun

Global
Misteri Kematian Abdulrahman di Penjara Israel dengan Luka Memar dan Rusuk Patah...

Misteri Kematian Abdulrahman di Penjara Israel dengan Luka Memar dan Rusuk Patah...

Global
Ikut Misi Freedom Flotilla, 6 WNI Akan Berlayar ke Gaza

Ikut Misi Freedom Flotilla, 6 WNI Akan Berlayar ke Gaza

Global
AS Sebut Mulai Bangun Dermaga Bantuan untuk Gaza, Seperti Apa Konsepnya?

AS Sebut Mulai Bangun Dermaga Bantuan untuk Gaza, Seperti Apa Konsepnya?

Global
[POPULER GLOBAL] Miss Buenos Aires 60 Tahun tapi Terlihat Sangat Muda | Ukraina Mulai Pakai Rudal Balistik

[POPULER GLOBAL] Miss Buenos Aires 60 Tahun tapi Terlihat Sangat Muda | Ukraina Mulai Pakai Rudal Balistik

Global
Putin Berencana Kunjungi China pada Mei 2024

Putin Berencana Kunjungi China pada Mei 2024

Global
Eks PM Malaysia Mahathir Diselidiki Terkait Dugaan Korupsi 2 Anaknya

Eks PM Malaysia Mahathir Diselidiki Terkait Dugaan Korupsi 2 Anaknya

Global
TikTok Mungkin Segera Dilarang di AS, India Sudah Melakukannya 4 Tahun Lalu

TikTok Mungkin Segera Dilarang di AS, India Sudah Melakukannya 4 Tahun Lalu

Global
Suhu Panas Tinggi, Murid-murid di Filipina Kembali Belajar di Rumah

Suhu Panas Tinggi, Murid-murid di Filipina Kembali Belajar di Rumah

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke