Dia menambahkan, "Jika kami meninggalkan kartun tersebut, bagi orang Perancis, kami meninggalkan kebebasan berekspresi, yang kemungkinan mengkritik agama."
Baca juga: Warga Perancis Marah menjadi Target Serangan Terorisme
Para editor di Charlie Hebdo menerbitkan ulang kartun Nabi Muhammad yang sama untuk menandai dimulainya persidangan yang telah lama ditunggu-tunggu terhadap tersangka kaki tangan dalam serangan mematikan di kantor majalah tersebut pada 2015, dengan mengatakan bahwa mereka menegaskan demokrasi Perancis.
Publikasi tersebut segera diikuti dengan pidato tokoh tertinggi negara. Presiden Emmanuel Macron merinci rencananya untuk memerangi Islamisme, dan tindakan keras pemerintah yang meluas terhadap apa yang digambarkannya sebagai individu dan organisasi Islam, gerakan yang berkontribusi pada perubahan perspektif di luar negeri.
“Publikasi dan republikasi bukanlah hal yang sama,” kata Anne Giudicelli, seorang ahli Perancis di dunia Arab yang pernah bekerja untuk kementerian luar negeri Perancis.
“Penerbitan ulang Charlie Hebdo dipandang sebagai keinginan keras untuk terus mempermalukan. Itulah yang berbeda dari (konflik) 2015. Sekarang ada kesan bahwa Perancis bermasalah dengan Islam, padahal pada 2015 Perancis adalah korban teroris," terang Giudicelli.
Baca juga: Ibu Pelaku Teror Penyerangan Pisau di Perancis Menangis dan Terkejut atas Perbuatan Anaknya
Berakar pada undang-undang yang didirikan pada 1905, yang pada saat itu jumlah Muslim di Perancis sangat sedikit.
Sekularisme Perancis memisahkan gereja dan negara, dan didasarkan pada gagasan bahwa iman adalah masalah pribadi dan oleh karena itu harus dibatasi cukup pada ranah privat, kata filsuf Pierre-Henri Tavoillot.
Jean Baubérot, sejarawan terkemuka sekularisme Perancis, mengatakan bahwa idenya adalah untuk mendahulukan negara. "Perancis modern menganggap tepat memantapkan dirinya melawan agama," katanya.
Sekularisme ketat Perancis juga secara tidak langsung diperkuat oleh meningkatnya sekularisasi masyarakat Perancis.
Berdasarkan laporan yang dilansir dari New York Times, hanya 8 persen orang Perancis saat ini yang secara teratur mempraktikkan keyakinan mereka, menurut laporan pada 2016 oleh Institut Montaigne yang berbasis di Paris.
Baca juga: Demo Anti-Perancis Menjalar ke Bangladesh, Pakistan, dan Afghanistan
Namun, bersamaan dengan itu jumlah Muslim di Perancis semakin meningkat. Sekitar 10 persen penduduk Perancis adalah Muslim, dan mereka jauh lebih religius daripada umat Kristen atau Yahudi di sana.
Laporan tersebut menemukan bahwa 31 persen Muslim mengunjungi masjid atau ruang sholat seminggu sekali.
Sehingga, menurut Baubérot penerapan prinsip laicite secara penuh akan menimbulkan pertentangan keras.
Sekularisme Perancis memegang teguh hak untuk mengkritik semua agama, tapi Perancis telah mengekang beberapa kebebasan, yaitu menyerang orang karena agama atau warna kulit mereka, dan melarang penyangkalan Holocaust.
Mohammed Moussaoui, presiden Dewan Kepercayaan Muslim Perancis, mengatakan bahwa harus ada batasan untuk sindiran ofensif dalam hal kepercayaan agama.
Baca juga: Twitnya soal Islam dan Perancis Dihapus Twitter, Mahathir: Tidak Adil