Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perancis "Terjebak" dalam Pusaran Kontroversi Kartun Nabi Muhammad

PARIS, KOMPAS.com - Kontroversi kartun Nabi Muhammad produksi majalah satir mingguan, Charlie Hebdo, menempatkan Perancis dalam konflik yang meluas karena kelompok Muslim yang tersinggung atas kebijakan pemerintah Perancis.

Pada September, ketika Charlie Hebdo menerbitkan ulang kartun Nabi Muhammad memicu serangkaian peristiwa terorisme dari kelompok ekstremisme.

Terbaru adalah serangan pelaku bersenjata pisau di gereja Notre Dame di kota Nice, Perancis yang membunuh 3 orang.

Sebelumnya, seorang guru sekolah menengah dipenggal kepalanya setelagh menunjukkan kartun Nabi Muhammad sebagai materi pelajaran tentang kebebasan berbicara.

Merespons serangan itu, pejabat Perancis yang membela hak untuk penerbitan ulang kartun atas nama kebebasan berbicara, mengumumkan untuk membagikan majalah dengan kartun tersebut kepada murid-murid sekolah menengah sebagai komitmen "untuk mempertahankan nilai-nilai Republik".

Pada Jumat (29/10/2020) setelah serangan di gereja Nice terjadi, puluhan orang berkumpul memberikan penghormatan kepada para korban dan menjadi momen solidaritas.

Namun, momen tersebut terputus dengan sepasang penduduk lokal yang bersuara menyalahkan Islam atas serangan itu.

Kemudian, seorang wanita yang berkerudung berseru untuk orang-orang jangan menyamakan Muslim dengan teroris.

Wali kota Nice, Christian Estrosi mengatakan bahwa konstitusi harus diubah, sehingga Perancis dapat "berperang" dengan benar melawan ekstremis Islam.

Menteri dalam negeri garis keras Perancis, Gérald Darmanin, mengatur nada dengan menyatakan, "Kita berperang, melawan musuh yang ada di dalam maupun di luar."

Melansir New York Times pada Jumat (30/10/2020), bahasa bela diri yang disampaikan oleh sejumlah pejabat Perancis mencerminkan pengerasan keseluruhan pandangan Perancis tentang Islam radikal.

Pembelaan yang sengit dari Perancis terhadap kartun Nabi Muhammad menempatkan Perancis pada posisi yang sulit, di mana kompromi apa pun tidak berlaku karena dipandang dapat melemahkan nilai sekularisme ketat Perancis, laicite.

Pierre-Henri Tavoillot, seorang filsuf dan ahli laicite di Universitas Sorbonne mengatakan bahwa konflik kartun Nabi Muhammad telah membawa Perancis ke dalam "perangkap".

"Padahal kartun itu sudah menjadi simbol (perbedaan keyakinan) dan itu mengubah situasi menjadi konflik," ujar Tavoillot.

"Tapi ini adalah konflik yang menurut saya tidak bisa dihindari, jika laicite Perancis menyerah pada hal ini, ia harus menyerah pada yang lain," lanjutnya.

Dia menambahkan, "Jika kami meninggalkan kartun tersebut, bagi orang Perancis, kami meninggalkan kebebasan berekspresi, yang kemungkinan mengkritik agama."

Mempermalukan

Para editor di Charlie Hebdo menerbitkan ulang kartun Nabi Muhammad yang sama untuk menandai dimulainya persidangan yang telah lama ditunggu-tunggu terhadap tersangka kaki tangan dalam serangan mematikan di kantor majalah tersebut pada 2015, dengan mengatakan bahwa mereka menegaskan demokrasi Perancis.

Publikasi tersebut segera diikuti dengan pidato tokoh tertinggi negara. Presiden Emmanuel Macron merinci rencananya untuk memerangi Islamisme, dan tindakan keras pemerintah yang meluas terhadap apa yang digambarkannya sebagai individu dan organisasi Islam, gerakan yang berkontribusi pada perubahan perspektif di luar negeri.

“Publikasi dan republikasi bukanlah hal yang sama,” kata Anne Giudicelli, seorang ahli Perancis di dunia Arab yang pernah bekerja untuk kementerian luar negeri Perancis.

“Penerbitan ulang Charlie Hebdo dipandang sebagai keinginan keras untuk terus mempermalukan. Itulah yang berbeda dari (konflik) 2015. Sekarang ada kesan bahwa Perancis bermasalah dengan Islam, padahal pada 2015 Perancis adalah korban teroris," terang Giudicelli.

Sekularisme ketat Perancis

Berakar pada undang-undang yang didirikan pada 1905, yang pada saat itu jumlah Muslim di Perancis sangat sedikit.

Sekularisme Perancis memisahkan gereja dan negara, dan didasarkan pada gagasan bahwa iman adalah masalah pribadi dan oleh karena itu harus dibatasi cukup pada ranah privat, kata filsuf Pierre-Henri Tavoillot.

Jean Baubérot, sejarawan terkemuka sekularisme Perancis, mengatakan bahwa idenya adalah untuk mendahulukan negara. "Perancis modern menganggap tepat memantapkan dirinya melawan agama," katanya.

Sekularisme ketat Perancis juga secara tidak langsung diperkuat oleh meningkatnya sekularisasi masyarakat Perancis.

Berdasarkan laporan yang dilansir dari New York Times, hanya 8 persen orang Perancis saat ini yang secara teratur mempraktikkan keyakinan mereka, menurut laporan pada 2016 oleh Institut Montaigne yang berbasis di Paris.

Namun, bersamaan dengan itu jumlah Muslim di Perancis semakin meningkat. Sekitar 10 persen penduduk Perancis adalah Muslim, dan mereka jauh lebih religius daripada umat Kristen atau Yahudi di sana.

Laporan tersebut menemukan bahwa 31 persen Muslim mengunjungi masjid atau ruang sholat seminggu sekali.

Sehingga, menurut Baubérot penerapan prinsip laicite secara penuh akan menimbulkan pertentangan keras.

Sekularisme Perancis memegang teguh hak untuk mengkritik semua agama, tapi Perancis telah mengekang beberapa kebebasan, yaitu menyerang orang karena agama atau warna kulit mereka, dan melarang penyangkalan Holocaust.

Mohammed Moussaoui, presiden Dewan Kepercayaan Muslim Perancis, mengatakan bahwa harus ada batasan untuk sindiran ofensif dalam hal kepercayaan agama.

Membatasi publikasi kartun Muhammad adalah menghindari memicu ekstremisme, katanya.

“Saya rasa ini bukan cara yang tepat untuk menjelaskan kebebasan berekspresi kepada anak-anak,” kata Moussaoui tentang karikatur tersebut dalam sebuah wawancara dengan France Info.

“Kewajiban persaudaraan menuntut semua orang untuk melepaskan beberapa hak,” imbuhnya.

Clementine Autain, seorang anggota parlemen sayap kiri dari partai France Unbowed, mengatakan bahwa perdebatan tentang terorisme dan sekularisme "didominasi oleh emosi dan tidak lagi rasional."

Beberapa politisi menggunakan laicite sebagai cara untuk "mengucilkan semua Muslim," kata Autain.

“Kekhawatiran saya adalah, dengan melakukan ini (laicite), sejumlah Muslim terdorong untuk kembali ke pelukan ekstremisme,” pungkasnya.

https://www.kompas.com/global/read/2020/10/31/141232570/perancis-terjebak-dalam-pusaran-kontroversi-kartun-nabi-muhammad

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke