Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kematian George Floyd, Negara yang Dituduh Trump Lakukan Pelanggaran Hak Demokrasi Menyerang Balik

Kompas.com - 04/06/2020, 22:59 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Editor

Segera setelah demonstrasi atas kematian George Floyd dimulai di AS, kantor berita Iran, Fars, menerbitkan komentar yang menyerukan Presiden Trump untuk menegakkan kewajiban Amerika di bawah hukum internasional untuk melindungi komunitas kulit hitamnya.

"AS mencaci negara-negara lain atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia," demikian bunyi artikel itu, "tetapi secara konsisten dan sengaja menolak mengakui dan menangani sejarah suramnya sendiri atas pelanggaran hak asasi manusia."

Baca juga: Usai Kematian George Floyd, Juragan Toko Tak Mau Panggil Polisi Lagi

Media penyiaran Iran juga secara luas melaporkan kicauan Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif, di mana ia menyamakan kebrutalan polisi AS terhadap orang Amerika keturunan Afrika dengan sanksi terhadap Iran.

Kendati begitu, penghormatan dengan menyalakan lilin yang diadakan untuk menghormati George Floyd di kota Mashad memicu perdebatan di Twitter, yang diblokir di Iran, setelah beberapa pengguna menuduh para pemimpin Iran menampilkan standar ganda.

Seorang pengguna mengatakan ketika menyalakan lilin untuk George Floyd, pemerintah Iran telah "menangkap orang-orang yang menyalakan lilin bagi mereka yang tewas dalam kecelakaan pesawat Ukraina".

Beberapa pengguna Twitter juga membandingkan reaksi Iran terhadap peristiwa di AS dengan demonstrasi yang terjadi di Iran November lalu, yang menurut Amnesty International, lebih dari 300 tewas akibat tindakan keras polisi.

Baca juga: Dilarang Berlutut Saat Demo George Floyd, Polisi di Oklahoma Mundur

RUSIA

AS juga dianggap munafik oleh media Rusia.

Wartawan Rusia, Dmitry Kiselyov mengatakan bahwa jika hal yang mirip terjadi di Rusia, AS dan negara-negara lainnya akan segera menerapkan "sanksi yang baru" terhadap Moskow.

Sejak aneksasi Rusia atas semenanjung Laut Hitam Krimea dari Ukraina, otoritas AS telah menjatuhkan sanksi yang menargetkan pejabat dan kepentingan bisnis di Rusia.

Kiselyov mempertanyakan mengapa Washington mencoba untuk "mengajari planet ini bagaimana untuk hidup", ketika itu tidak hanya memiliki adegan "kekerasan dan kebrutalan, tetapi korban tewas terbesar akibat virus corona".

Dalam program TVItogi Nedeli, kebijakan-kebijakan Donald Trump disamakan dengan 'skenario China', di mana ia menyebarkan "tindakan keras terhadap pengunjuk rasa dan larangan keras terhadap media sosial" - sebuah referensi untuk perintah eksekutif presiden AS yang berusaha untuk memaksakan pertanggungjawaban yang lebih besar pada platform internet untuk konten mereka.

Siaran berita malam Vremya yang disiarkan di Channel One Russia, membuat poin yang sama, mengatakan bahwa AS bereaksi terhadap protes dengan taktik sama yang dilakukan pihak berwenang di Turki dan Mesir, yang sebelumnya Washington sebut sebagai "kejahatan".

Baca juga: Dua Polisi Tertembak dan Satu Ditusuk di Leher Saat Demo George Floyd

TURKI

Di Turki, menurut tajuk utama harian Yeni Safak yang pro dengan pemerintah setempat, demonstrasi di AS menandai "Berseminya orang-orang Amerika keturunan Afrika".

Media pro-pemerintah Sabah melaporkan "pemberontakan 'Aku tidak bisa bernapas' menyebar", mengacu pada kata-kata terakhir George Floyd.

Koran-koran Turki juga melaporkan twit Presiden Erdogan tentang George Floyd, mengatakan dia sangat sedih dengan kematiannya, yang dia klaim adalah hasil dari "pendekatan rasis dan fasis".

Baca juga: Asphyxia, Kondisi Kekurangan Oksigen Penyebab Kematian George Floyd

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com