KOMPAS.com - Warga Jabodetabek harus menempuh perjalanan setidaknya 10,5 km setiap harinya untuk beraktivitas di Jakarta.
Sementara itu, cakupan area layanan transportasi publik masih terpusat di Jakarta yang telah mencapai 78 persen wilayah, berbeda dengan Bodetabek yang masing-masing kotanya masih berkisar 8 persen-29 persen.
Otoritas yang tidak terpadu menjadi penyebab utama ketimpangan cakupan layanan, di mana peran regulator dan operator setidaknya dipegang oleh 13 badan pemerintahan yang berbeda dan memiliki kewenangan untuk mengatur transportasi publik di Jabodetabek.
Selain itu, prioritas setiap daerah pun berbeda, sehingga belum tentu dapat memberikan pelayanan transportasi publik yang andal. Hal ini berakibat pada ketersediaan dan tingkat layanan transportasi publik yang berbeda-beda antarwilayah di Jabodetabek.
Baca juga: Transportasi Umum, Tantangan Besar Ratusan Daerah di Indonesia
Berdasarkan Jajak Pendapat Litbang Kompas tahun 2022, alasan warga Jabodetabek belum mau beralih ke transportasi publik selain tingkat keamanan dan kenyamanan yang belum merata, juga tarif layanan dianggap masih mahal dan lamanya waktu tunggu.
Hal ini senada dengan temuan studi Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia 2023, di mana halangan yang dirasakan komuter meliputi kenyamanan (berdesakan, panas), waktu tempuh lebih lama, dan keandalan (tidak tepat waktu, dan lain-lain).
Untuk mengatasi hal ini, di Jakarta terdapat inisiasi yang tinggi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan badan usaha milik daerah (BUMD) di bawahnya untuk mengintegrasikan transportasi publik secara fisik, dimulai dari revitalisasi area-area stasiun.
Namun, hal itu masih sulit ditemukan di kota-kota wilayah Jabodetabek selain Jakarta.
Integrasi tarif juga telah berlaku untuk layanan transportasi publik di bawah pengelolaan badan usaha milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan tarif maksimum Rp 10.000, tetapi tidak berlaku untuk layanan di luar itu, misalnya Commuter Line yang dioperasikan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Direktur Asia Tenggara ITDP, Gonggomtua Sitanggang mengatakan, perjalanan warga menggunakan transportasi publik harus lancar dan tanpa hambatan agar dapat mencapai target penggunaan transportasi publik sebesar 60 persen pada tahun 2029.
Di mana hingga saat ini, penggunaan transportasi publik di Jakarta saja baru mencapai 10 persen.
"Integrasi kelembagaan, fisik, dan tarif adalah kunci penting untuk memperlancar perjalanan warga Jabodetabek," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (21/03/2024).
Untuk mendukung upaya dan percepatan integrasi transportasi publik di Jabodetabek, ITDP Indonesia didukung oleh UK Partnering for Accelerated Climate Transitions (UK PACT), merilis studi "Rekomendasi Integrasi Transportasi Publik Jabodetabek" pada Rabu (20/03/2024) di CGV Poins Mall Lebak Bulus.
Studi ini meliputi rekomendasi integrasi kelembagaan, integrasi fisik dan integrasi tarif. Rekomendasi tersebut di antaranya:
Baca juga: Pekanbaru Bisa Jadi Contoh Pengelolaan Transportasi Umum
ITDP mendefinisikan integrasi fisik transportasi publik yang baik apabila dapat membuat perjalanan menggunakan transportasi publik menjadi:
Rekomendasi terhadap skema tarif terintegrasi yang diusulkan adalah sebagai berikut:
a. Rekomendasi terhadap Struktur Tarif
b. Rekomendasi tentang Distribusi Pendapatan
c. Rekomendasi tentang Inklusivitas Tarif