KOMPAS.com – Sebuah unggahan menyebut sulit untuk berhenti dari kecanduan makan sabun, viral di media sosial setelah diunggah oleh akun ini pada Rabu (3/5/2023).
Terdapat foto dalam unggahan tersebut yang memperlihatkan sisa sabun setelah diduga dimakan yang juga terdapat keterangan bertuliskan sebagai berikut:
“Aku mau cerita jadi aku udah makan s*bun batan dari sekitar thun 2015, waku itu aku masih SD dan iseng nyoba jilat sabun dan rasanya enak banget tapi ampe sekarang malah keterusan dan tiap kali stres aku bakal lebih banyak makan s*bun buat nenangin diri.
Aku tau ini salah tapi aku juga susah berhenti, apalagi akhir akhir ini aku bisa makan 1 batang s*bun dalam seminggu. Kira kira gimana ya caranya biar sembuh?? Aku mau periksa juga takut orang tua ku tau, terus aku juga takut biaya pengobatannya mahal,” tulis pengunggah dalam foto.
Hingga Kamis (4/5/2023), unggahan itu sudah dilihat lebih dari 1,5 juta kali dan mendapat lebih dari 20.700 likes.
Baca juga: Ramai Unggahan Sebut Cangkang Telur Ayam Bisa Jadi Camilan, Amankah? Ini Kata Ahli Gizi
???? sampai detik ini aku masih sehat kok tapi aku pengen berhenti karna tau ini ga baik tapi aku juga susah banget karna udah kecanduan???????? (titipan) pic.twitter.com/HeJVjM3EHc
— Tanyarl ???? (@tanyakanrl) May 3, 2023
Dosen psikologi Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta Ratna Yunita Setiyani Subardjo menjelaskan, perilaku kecanduan makan sabun atau benda tak lazim lainnya disebut dengan "pica eating disorder" atau gangguan makan pica.
Biasanya, perilaku tersebut dilakukan oleh anak-anak karena rasa ingin tahu atau pun menarik lantaran seperti permen karena bentuk dan warnanya.
“Kalau hanya sekali-kali, ibaratnya masih bisa seperti dimaafkan dengan langsung dibersihkan dan minum air putih yang banyak agar zat-zatnya bisa larut dan keluar dari tubuh,” kata Ratna kepada Kompas.com, Kamis (4/5/2023).
Ratna menjelaskan, penyebab dari pica eating disorder adalah adanya kerusakan pada otak yang disebut dengan disabilitas kognitif.
“Kemudian juga bisa juga faktor lingkungan budaya dan ekonomi,” tuturnya.
Sementara itu mengenai penyembuhan dari perilaku makan sabun tersebut yakni dengan terapi cognitive behavioral therapy,” ungkapnya.
Terapi ini bertujuan untuk mengubah kognitif atau cara berpikirnya dan behavior atau perilakunya menjadi lebih baik secara bertahap.
“Selain sabun, perilaku ini juga makan yang aneh-aneh atau tidak lazim seperi kertas, pasir, kapur, dan sebagainya,” katanya.
Baca juga: Ramai soal Cabai Tak Sengaja Dicuci Menggunakan Sabun, Amankah Dikonsumsi?
Ratna mengatakan, kondisi stres pada seseorang akan memengaruhi cara berpikirnya. Cara berpikir tersebut menjadi tidak sesuai logika atau bisa disebut dengan irasional.
“Ketika pikirannya sudah irasional, itu akan menggerakan perasaan menjadi seperti tidak berfungsi,” katanya.
Selain itu, memakan benda-benda aneh juga sebagai mekanisme diri seseorang dari sesuatu yang menekan yakni stres untuk menstabilkan mentalnya.
Sehingga dianggap oleh dirinya menjadi hal yang lumrah, biasa, dan normal untuk melakukan hal aneh seperti makan sabun.
Baca juga: Benarkah Merokok Bisa Redakan Stres? Berikut Penjelasannya
Lebih lanjut, Ratna juga mengatakan perilaku memakan benda-benda tidak lazim juga bisa terjadi pada ibu yang sedang hamil.
“Hal itu dikarenakan bisa jadi ibu hamil kekurangan mineral atau nutrisi untuk kebutuhan diri dan anak yang dikandungnya sehingga asupan makanan yang tinggi, namun makanan yang pada umumnya dikonsumsi tidak tertarik untuk dimakan menurutnya,” terangnya.
Oleh karena itu, sang ibu mencoba mencari makanan lain termasuk benda aneh-aneh.
“Makanya kalau hamil terutama trimester awal, ibu hamil “mengidam” untuk makan yang aneh-aneh. Kalau makan rujak tengah malam, itu masih mending normal,” jelasnya.
Ratna mengatakan, stres juga bisa menyebabkan munculnya perilaku makan sabun atau pica eating disorder.
Oleh karena itu, meredakan stres dengan cara yang baik dapat membantu terhindar dari kecanduan makan sabun.
Berikut cara meredakan stres yang mudah untuk dilakukan:
"Jika tidak ada yang bisa dipercayai, maka datang ke profesional (psikolog atau psikiater)," tandasnya.
Baca juga: Redakan Kecemasan, Peluk Diri Sendiri dengan Butterfly Hug
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.