KASUS-KASUS orang pamer harta atau flexing menampar wajah Indonesia, secara khusus dunia pendidikan. Saat ditelurusi, asal harta yang dipamerkan ternyata bukan dari hasil kerja yang legal.
Dunia pendidikan mestinya menanggung malu karena belum berhasil membentuk insan yang beradab dan berakhlak baik. Para pemangku kebijakan tidak boleh berdiam diri menyaksikan fenomena itu, jika tidak ingin melihat hal-hal yang bisa makin parah di kemudian hari.
Secara sosiologis, perilaku individu tidak berdiri sendiri. Ada konteks pengaruh dan kekuatan sosial di dalamnya. Karena itu, diperlukan kekuatan besar untuk mengedukasinya.
Ini bukan sekedar edukasi pada satu dua oknum, tetapi suatu agenda besar bangsa untuk membangun akhlak yang lurus, karena tidak ada asap jika tidak ada api, tidak harta berlebih tanpa pendapatan berlebih.
Baca juga: Mendadak Miskin Usai Flexing Terkuak
Implikasi selanjutnya, alih-alih membangun kohesi sosial dan keserasian sosial yang baik, tradisi pamer harta akan menambah lubang kecemburuan sosial. Aksi pamer harta dapat merusak harmonisasi interaksi sosial antar warga negara. Maka, kesadaran bersama untuk menanggulangi isu itu menjadi penting.
Cita-cita luhur bangsa kita adalah membangun kesejahteraan sosial bersama, yang meliputi pemenuhan kebutuhan sosial secara kolektif dan membangun harmonisasi interaksi sosial yang kondusif bagi tumbuh kembang individu secara optimal di tengah masyarakat yang saling mendukung.
Urgensi pembangunan sosial perlu didengunkan kembali. Secara teoritis, pembangunan sosial adalah upaya membangun masyarakat berkelanjutan yang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan, dengan membangun kaum marjinal, perempuan dan laki-laki, agar mampu mengupayakan pengembangan kehidupan mereka sendiri, memperbaiki posisi ekonomi dan sosial serta meraih tempat yang tepat dalam ruang-ruang masyarakat (Bilance, 1997).
Amartya Sen (1995) menjelaskan, pembanguan sosial adalah persamaan dari kesempatan sosial. The Copenhagen Social Summit mendefinisikan pembangunan sosial melalui tiga kriteria dasar, yaitu pemberantasan kemiskinan, pembangunan generasi tenaga kerja, dan keserasian sosial.
Itu adalah wilayah psikologis pembangunan yang memerlukan lebih dari sekedar sentuhan program artifisial. Keserasian sosial menjadi isu penting untuk diperhatikan dalam tahun-tahun belakangan ini, mengingat interaksi sosial antar warga juga terjadi di dunia maya yang lebih sukar terobservasi.
Pembangunan fisik dan infrastruktur adalah kegiatan favorit, karena mudah terukur hasil dan indikator keberhasilannya. Pembangunan sosial di sisi lain adalah tantangan. Ini adalah aktivitas yang masuk ke denyut nadi keseharian masyarakat serta pola pikir mayoritas warga.
Baca juga: Istri Disorot Usai Pamer Harta, Ini Kekayaan Sekda Riau SF Hariyanto
Keberpihakan pada pembanguan sosial berarti upaya untuk menata persepsi masyarakat, serta melakukan persuasi agar sebanyak mungkin masyarakat memandang ke arah visi yang sama. Inilah momentum untuk kembali mendorong warga negara memandang ke arah asa pembangunan yang dicitakan bersama.
Jangan biarkan kegaduhan dan keriuhan soal pamer harta membelokkan fokus membangun insan bangsa yang berahklakul karimah dan berkualitas secara keilmuan.
Menurut Syafridah (2010), pembangunan sosial merupakan paradigma alternatif yang menempatkan masyarakat sebagai pusat dari proses pembangunan dan ekonomi, serta sebagai cara untuk melayani kebutuhan manusia. Setiap orang, pemerintah atau lembaga apapun harus menghormati arti kehidupan manusia secara global yang bertanggung jawab terhadap generasi selanjutnya.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.