UNTUK memenuhi keperluan hobi, mungkin suatu ketika kita pernah Googling iklan sepeda. Kita tentu saja akan mendapatkan banyak link terkait penjual sepeda lewat search engine itu. Tapi tahukah bahwa soal tak akan berhenti sampai di situ.
Jika kita kemudian setelahnya berselancar di Facebook atau platform situs lain, maka “ajaibnya” platform digital yang dikunjungi itu akan menawarkan juga sepeda tanpa kita minta. Itulah cara kerja algoritma.
Pada platform digital, setiap pengunjung seperti nyaris “tanpa privasi”. Hal ini tak lain karena platform digital melalui sistem kerja algoritmanya dapat mengenali profil dan jejak digital yang disebut digital footprint atau digital track kita. Dan itulah yang kemudian dikelola untuk kepentingan iklan.
Berbasis cara kerja algoritma ini, platform digital dapat dengan mudah menyasar target pasarnya dan menayangkan iklan dari produk yang kita inginkan, yang menjadi pendorong minat untuk membeli.
Algoritma memang bisa saja tidak sampai mengenali data pribadi kita secara detail. Algoritma dalam konteks big data tidak tahu tanggal lahir, alamat, nomor NIK, apalagi golongan darah kita, dll, karena memang sejak awal tidak di-share.
Namun sistem elektronik cerdas ini bisa mengetahui profil, kecenderungan, keinginan, hobi, lagu yang disukai, makanan favorit, dan apa yang dibutuhkan. Semua itu tergantung dari digital footprint tadi.
Dan hal ini yang justru sangat signifikan untuk pasar digital dan bagaimana platform berperan memengaruhi ekosistemnya.
Filter Bubble sangat terkait dengan eco chamber. Jika filter bubble berdasarkan data atau history pengguna, maka echo chamber berdasarkan kesamaan informasi antarpengguna.
Apa perbedaan filter bubble dan echo chamber, sebuah artikel di BBC yang diunggah dalam situs bbc.co.uk dengan judul How algorithms and filter bubbles decide what we see on social media, menyatakan istilah echo chamber dan filter bubble digunakan dengan cara yang sama, tetapi ada perbedaan di antara keduanya.
Mengutip pendapat Laura Garcia dari First Draft, echo chamber adalah cara di mana kita hanya menemukan informasi dari orang-orang yang berpikiran sama.
Sedangkan filter bubble adalah ruang di mana perilaku online kita sebelumnya memengaruhi apa yang kita lihat di media sosial berikutnya.
Seorang pakar dan sekaligus praktisi digital bernama Eli Pariser yang sukses menulis buku berjudul The Filter Bubble How The New Personlized Web Is Changing What We Read And How We Think dan menjadi New York Time Best Seler, adalah orang pertama yang mempopulerkan istilah filter bubble dan menyebutnya sebagai sebuah personal ecosystem of information.
Pariser berpendapat bahwa filter bubble akan memperkuat bias setiap orang. Filter bubble identik dengan ekosistem, di mana informasi yang muncul di platform digital atau medsos yang kita kunjungi, akan relatif “itu-itu saja”.
Cara kerjanya, memfiltrasi informasi yang tersebar dijagat maya, disesuaikan dengan kecenderungan dan minat pemilik akunnya.
Topik berita, isu politik, atau isu sosial budaya yang akan kita terima relatif seperti yang kita sukai. Tapi jangan heran bahwa konten yang ditampilkan akan berbeda dengan orang lain yang mengakses platform yang sama.