Filter bubble setidaknya sudah ditemukenali sejak Desember 2009. Saat itu Google mulai menyesuaikan hasil pencariannya untuk setiap pengguna dengan memprediksi apa yang menjadi keinginan penggunanya.
Perubahan kebijakan Google merupakan fenomena paling signifikan. Seperti dikatakan Pariser dalam bukunya Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You, Harvard Book Store, intinya bahwa perkembangan ini memengaruhi cara orang mengonsumsi dan berbagi informasi sebagai masyarakat.
Filter bubble dan cara kerja algoritma di sisi lain awalnya memang diciptakan untuk memberikan layanan platform terbaik untuk pelanggannya. Sudah barang tentu juga untuk keunggulan komparatif layanan platform itu.
Dampak bertebarannya WA grup dengan komunitas yang relatif seragam, follower Twitter, viewer dan subscriber YouTube, Tiktok dll, telah mendorong semakin kuatnya ekosistem filter bubble dan echo chamber ini.
Konten yang diunggah akan membentuk gelembung tersendiri. Sementara link konten yang diunggah dan kemudian diakses oleh anggota komunitas atau follower, otomatis akan menjadi digital footprint bagi mereka.
Saat orang terjebak pada filter bubble, maka bisa menciptakan kecenderungan, menganggap pendapatnya merupakan pendapat umum dan mayoritas.
Padahal informasi yang terus-terusan muncul di platform digitalnya adalah informasi yang tersaring dan berasal sumber dan orang-orang dengan pendapat yang seragam karena kinerja algoritma tadi.
Filter bubble dapat membentuk pribadi yang tidak peduli pada sekitar atau informasi lain di luar filter bubble itu. Hal ini disebabkan karena cara kerja algoritma yang hanya menyuguhkan informasi sesuai dengan preferensinya.
Hal yang berbahaya adalah, jika terbangunnya kondisi bahwa seseorang seolah-olah sudah mengetahui segala macam berita. Padahal faktanya adalah semu.
Hal yang lebih fatal adalah, jika sampai membentuk pribadi ignorant, tidak peduli lagi terhadap pendapat atau informasi di luar ekosistem yang membelenggunya.
Dampak ikutannya, bisa berupa menganggap pendapatnya sebagai pendapat paling benar karena sama dengan mayoritas. Sehingga tidak tertarik dengan perspektif dan opini yang berbeda.
Di saat berita-berita bohong, hoax, fake news, provokatif, kontra produktif, bahkan informasi berbahaya untuk anak tersebar begitu rupa dan menjadi bagian dari informasi dalam filter bubble seseorang atau kelompok, maka sempurnalah keterbangunan ekosistem semu itu.
Hal yang sangat kita khawatirkan adalah, jika hal itu melanda anak-anak, yang karena dampak pandemi semakin akrab dengan internet dan platform digital.
Jika dibiarkan kekhawatiran lahirnya pribadi ignorant dan abai terhadap informasi di luar ekosistemnya akan sangat mungkin terjadi.
Filter bubble juga seringkali dihubungkan dengan click bait. Banyak sekali informasi yang judulnya bombastis, dengan kalimat agak panjang sehingga memberi kesan tanpa membaca lengkap beritanya orang sudah tahu isinya.