KOMPAS.com - Pemerintah Sri Lanka menyatakan bangkrut setelah gagal membayar utang luar negeri.
Dilansir dari Kompas.com, Kamis (14/4/2022), krisis yang terjadi di Sri Lanka bermula pada akhir Maret 2022 hingga warganya menuntut Presiden Gotabaya Rajapaksa mengundurkan diri.
Pada 12 April 2022, Sri Lanka mengumumkan gagal bayar utang senilai 51 miliar dollar AS (sekitar Rp 764 trilliun) yang dipinjam dari luar negeri.
Sehari setelahnya, pada 13 April 2022, pemerintah menyatakan bangkrut dan mendesak warganya yang berada di luar negeri untuk mengirimkan uang demi membantu membeli kebutuhan pokok dan bahan bakar.
Krisis yang terjadi di Sri Lanka ini menyebabkan warganya sengsara, hal ini merupakan situasi terburuk yang pernah dialami Sri Lanka sejak kemerdekaannya pada 1948.
Baca juga: Antisipasi Krisis Ekonomi Global, Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Lantas, negara-negara mana saja yang terancam bangkrut seperti Sri Lanka?
Dikutip dari Associated Press, menurut laporan Global Crisis Response Group Juni 2022, banyak negara yang rentan terhadap krisis.
Sekitar 1,6 miliar orang di 94 negara menghadapi setidaknya satu dimensi krisis pangan, energi, dan sistem keuangan.
Kemudian sekitar 1,2 miliar dari orang tersebut tinggal di negara yang sangat rentan terhadap biaya hidup akibat berbagai krisis yang terjadi.
Baca juga: Krisis Energi di Singapura dan Kaitannya dengan Indonesia
Penyebab terjadinya krisis bervariasi, salah satunya adalah perang antara Rusia dan Ukraina yang meningkatkan lonjakan harga pangan dan bahan bakar.
Selain itu, pandemi Covid-19 yang masih melanda dunia menyebabkan gangguan pariwisata dan aktivitas bisnis.
Sementara pinjaman jangka pendek dengan bunga lebih tinggi untuk membiayai pandemi Covid-19 juga telah membuat negara-negara mengalami penumpukan utang.
Menurut PBB, lebih dari separuh negara termiskin di dunia berada dalam kesulitan utang.
Baca juga: Bagaimana Sejumlah Negara Merespons Krisis Ekonomi akibat Covid-19?
Berikut adalah beberapa negara yang sedang mengalami risiko ekonomi terbesar:
Afganistan mengalami krisis ekonomi mengerikan sejak Taliban mengambil alih kekuasaan saat Amerika Serikat (AS) dan NATO menarik pasukan pada tahun lalu.
Ketika Taliban mulai berkuasa, bantuan asing yang menjadi andalan Afganistan secara otomatis diberhentikan.
Pemerintahan Joe Biden juga telah membekukan cadangan mata uang asing Afganistan sebesar 7 miliar dollar AS (Rp 104 triliun) yang tersimpan di AS.
Baca juga: Kebijakan Larangan Ekspor Pernah Diambil Saat Krisis Batu Bara, Apakah Berhasil?
Akibat krisis yang terjadi membuat setengah dari 39 juta penduduk Afganistan menghadapi kondisi kekurangan pangan yang mengancam jiwa.
Kemudian, sebagian besar pegawai negeri, dokter, perawat, dokter, dan guru juga belum mendapat upah selama beberapa bulan.
Kesengsaraan rakyat Afganistan bertambah setelah baru-baru ini terjadi gempa yang membuat lebih dari 1.000 orang meninggal dunia.
Baca juga: Penyebab dan Dampak Krisis Energi yang Melanda Eropa
Sekitar empat dari setiap 10 warga Argentina merupakan orang miskin dan bank sentralnya telah kehabisan cadangan devisa akibat nilai mata yang yang melemah.
Inflasi yang terjadi di Argentina diprediksi akan melebihi 70 persen pada 2022.
Sebagian besar warga Argentina bertahan hidup berkat program dapur umum dan kesejahteraan negara.
Baca juga: Profil Janet L Yellen, Perempuan Pertama yang Jadi Menteri Keuangan AS
Namun, program tersebut banyak di antaranya yang disalurkan melalui gerakan sosial yang kuat dari partai yang berkuasa.