Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serangan Umum 1 Maret 1949: Soeharto Disebut Asyik Makan Soto Saat Serangan Berlangsung

Kompas.com - 01/03/2022, 10:15 WIB
Taufieq Renaldi Arfiansyah,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Serangan Umum 1 Maret 1949 terjadi di Yogyakarta sebagai respons TNI setelah Ibukota Yogyakarta diduduki Belanda lewat operasi Agresi Militer Belanda II.

Keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949 mampu membuka pandangan dunia Internasional bahwa eksistensi Indonesia masih kuat.

Selain itu, Indonesia juga diuntungkan dengan kecaman dunia internasional terhadap peristiwa Agresi Militer Belanda II.

Baca juga: 1 Maret Jadi Hari Penegakan Kedaulatan Negara, Ini Sejarah dan Alasannya

Siapa inisiator Serangan Umum 1 Maret 1949?

Selama pemerintahan Orde Baru, Serangan Umum 1 Maret 1949 menjadi salah satu peristiwa sejarah yang menempatkan Soeharto sebagai sosok sentral.

Dalam otobiografinya, Soeharto menyebutkan bahwa ia menggagas serangan ini setelah mendengar siaran radio perihal pernyataan Belanda bahwa TNI sudah tidak esksis. Beberapa pihak menunjukkan keraguan atas legitimasi peran Soeharto tersebut.

Dikutip dari Kompas.id, Hutagalung dalam buku Serangan Umum 1 Maret 1949 memaparkan keraguannya sebab posisi Soeharto yang berpangkat letkol kala itu adalah komando wilayah pertahanan (wehrkreise) III.

Wilayah pertahanan tersebut berada di bawah pimpinan Bambang Soegeng sebagai Komandan Divisi Ill yang mengatasi brigade pimpinan Soeharto.

Hipotesisnya, Soeharto bukanlah inisiator serangan umum melainkan menjadi bagian dari serangan ini dengan komando dari atasannya, Kolonel Bambang Sugeng.

Sementara itu, klaim Belanda di dunia internasional melalui siaran radio bahwa TNI sudah tidak eksis tak hanya didengar oleh Soeharto, melainkan juga Sultan Hamengku Buwono IX dan Jenderal Sudirman, serta beberapa tokoh lain. Oleh karena itu, klaim Soeharto kemudian diragukan.

Versi lain menyatakan bahwa sosok sentral yang memprakarasai Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Sultan Hamengku Buwono IX.

Atmakusumah dalam artikel "Dua Versi Serangan Umum" yang terbit di Kompas 1 Maret 1999 menyebutkan bahwa Sultan merasa prihatin dengan semangat juang rakyat yang menurun. Untuk itu ia merasa perlu menciptakan kejutan untuk melecut semangat juang.

Setelah mendengar siaran radio tentang perundingan PBB tentang Indonesia-Belanda, Hamengku Buwono IX berpikir itulah momentum yang tepat untuk mengembalikan semangat juang dan menunjukkan eksistensi Ri di mata dunia.

Sultan Hamengku Buwono IX kemudian mengirimkan utusan untuk menyampaikan siasatnya kepada jenderal Sudirman.

Setelah itu, barulah Sultan bertemu dengan komandan gerilya di daerahnya Letkol Soeharto pada pertengahan Februari 1949. Pembicaraan tersebut berisi seputar perencanaan serangan dalam dua minggu ke depan.

Baca juga: Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949

 

Soeharto asyik makan soto saat serangan berlangsung?

Reka Ulang Serangan Umum 1 Maret 1949 - Anggota Komunitas Jogjakarta 1945 beserta komunitas pegiat sejarah dari berbagai daerah melakukan reka ulang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di halaman Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Minggu (1/3/15). Acara tersebut untuk mengenang jasa pahlawan yang terlibat dalam peristiwa tersebut serta untuk menggugah semangat patriotisme masyarakat.KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Reka Ulang Serangan Umum 1 Maret 1949 - Anggota Komunitas Jogjakarta 1945 beserta komunitas pegiat sejarah dari berbagai daerah melakukan reka ulang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di halaman Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Minggu (1/3/15). Acara tersebut untuk mengenang jasa pahlawan yang terlibat dalam peristiwa tersebut serta untuk menggugah semangat patriotisme masyarakat.

Selain soal inisiator Serangan Umum 1 Maret 1949, fragmen lain yang jarang disebut yaitu mengenai Soeharto yang disebut asyik makan soto saat anak buahnya bertempur melawan Belanda. 

Cerita itu diungkapkan anak buah Soeharto Kolonel Abdul Latief yang saat itu masih berpangkat kapten. 

Dikutip dari Hastamitra, Latief menyebut, pada penyerangan enam jam di Yogyakarta, pasukannya mendapat kepercayaan untuk menduduki daerah sepanjang Malioboro, mulai dari Stasiun Tugu sampai Pasar Besar Yogyakarta (Beringharjo).

Sementara Soeharto menempati markas komando di daerah Kuncen atau desa Sudagaran, yang hanya terletak 500 meter dari batas kota Yogyakarta (daerah Demakijo).

Saat pertempuran itu, Latief mengaku lolos dari kepungan tentara Belanda yang sedang mengadakan counter offensif.

Dia mundur kembali keluar kota dengan meninggalkan korban 12 luka-luka, 2 gugur, dan 50 orang pemuda-pemuda gerilya kota, di bawah pimpinannya, mati terbunuh oleh tentara Belanda.

Pemuda-pemuda tersebut, yang sekarang dimakamkan atau dengan nama Makam Tak Bernama di daerah Balokan, di depan stasiun Tugu Yogya­karta.

"Kira-kira pada jam 12.00 siang hari bertemulah saya dengan Komandan Wehrkreise Letkol. Soeharto di Markas, rumah yang saya tempati sebagai Markas Gerilya, waktu itu beliau sedang menikmati makan soto babat bersama-sama pengawal dan ajudannya," tulis Latief. 

Setelah melapor, Latief masih diperintahkan menggempur pasukan Belanda yang sedang berada di Kuburan Kuncen Yogyakarta, yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari markas gerilya tersebut. 

Baca juga: Serangan Umum 1 Maret 1949, Siswa Sudah Paham Sejarahnya?

Penjelasan sejarawan

Terkait kesaksian Latief, Dosen Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta Kuncoro Hadi mengatakan, cerita Abdul Latief bisa saja benar bisa juga salah.

Menurut Kuncoro, Latief merupakan anak buah Soeharto yang pasca kejadian tahun 1965, ia disingkirkan, dipenjara, dan mengalami ketidakadilan di bawah rezim Orde Baru.

Kesaksian Latief kemudian diceritakan ulang oleh Soebandrio, Waperdam era demokrasi terpimpin Soekarno, yang juga disingkirkan dan dipenjara masa Orde Baru.

Kuncoro menyebut bahwa kesaksian yang diceritakan Latief bisa sangat subjektif jika tidak ada kesaksian pembanding yang kuat.

"Jadi sesungguhnya lemah dan harus hati-hati dilihat sebagai fakta sejarah," katanya ketika dikonfirmasi Kompas.com, Senin (28/2/2022).

Namun, jika kisah tentang soto babat itu benar, Kuncoro berpendapat bahwa narasi tersebut tidak akan mendegradasi sepenuhnya peran dari Soeharto dari peristiwa 1 Maret 1949.

"Bagaimanapun Soeharto tetap punya peran dalam Serangan Umum 1 Maret," ujarnya.

Baca juga: Peristiwa G30S, Mengapa Soeharto Tidak Diculik dan Dibunuh PKI?

 

Peran Soeharto dalam serangan Umum 1 Maret 1949

Letkol Soeharto merupakan Komandan Wehrkreise III sewaktu peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

Sewaktu serangan atas ibukota Yogyakarta diputuskan, maka pasukan yang paling dekatlah yang diperintah untuk bergerak.

Markas Wehrkreise III terdapat di Bantul, sedangkan rumah Soeharto berada di Kemusuk, Barat kota Yogyakarta, wilayah tersebut masih masuk wilayah Bantul.

"Jadi posisi Soeharto itu tidak terlalu jauh dari kota Yogyakarta dan dari desanya," ungkapnya.

Otomatis pasukan Soeharto lah yang diminta untuk menyerang kota Yogyakarta, terutama di sepanjang Malioboro karena itu pusat kota.

Soeharto memimpin wehrkreise III menyerbu kota, terlepas seberapa jauh peran signifikan yang dilakukan Soeharto.

Sewaktu melakukan operasi Serangan Umum 1 Maret 1949, selain pasukan dari Soeharto terdapat unit-unit pasukan lain yang mendukung operasi tersebut.

"Jadi Serangan Umum 1 Maret 1949 ini kolektif, memang Soeharto yang ditugasi menyerbu kota, tetapi dia disupport unit-unit lain yang saling mendukung," jelasnya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com