Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Selain Indah, Embun Es di Dieng Juga Bermanfaat bagi Petani, Simak Penjelasannya...

Kompas.com - 26/07/2020, 16:30 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

”Di Dieng Kulon, tanaman kentang yang rusak sekitar 10 hektar. Di Dusun Pawuhan, Desa Karangtengah, lebih parah. Kerusakannya sekitar 20 hektar,” kata Koordinator Penyuluh Pertanian Kecamatan Batur Agus Rivai saat dihubungi dari Purwokerto, Banyumas, Jateng, Kamis (8/8/2019).

Baca juga: 3 Tanaman yang Jadi Sorotan di 2019: Bajakah, Kratom, dan Porang

Tanaman kentang yang rusak akibat embun es tersebut mula-mula menghitam daunnya karena beku diselubungi es. Selanjutnya, jika embun es terjadi dalam beberapa hari secara berturut-turut, tanaman akan kering dan kemudian layu, bahkan membusuk sampai akar.

Dari 30 hektar lahan kentang yang rusak, diperkirakan kerugian mencapai Rp 1,5 miliar. Petani setempat menyebut fenomena embun es ini sebagai embun upas atau embun racun karena mematikan kentang.

”Tanaman yang rusak paling parah adalah yang usianya di bawah satu bulan,” kata Agus.

Baca juga: Anggur Jan Ethes hingga Padi Fatmawati, Nama Tanaman dari Keluarga Presiden

Proses sterilisasi alam

Meski demikian, sejumlah petani mengamati bahwa setelah terserang embun upas, masa tanam berikutnya panen kentang yang dihasilkan bisa berlipat ganda.

Hal itu disebabkan bakteri dan hama penyerang kentang ikut mati akibat dinginnya embun es. Dalam kondisi normal, kentang yang dapat dipanen berkisar 12-15 ton per hektar.

"Embun upas juga membunuh organisme tanaman pengganggu dan ulat kentang sehingga tanah makin subur dan hasil panen berikutnya bisa berlipat,” kata Saroji, petani kentang yang memiliki warung makan serta penginapan di Dieng.

Hal serupa disampaikan Umar, petani lainnya. Ia memilih membiarkan ladangnya begitu saja sambil menunggu serangan embun upas selesai.

”Ini proses sterilisasi alam karena hama seperti lalat dan jamur ikut mati. Yang penting sabar saja,” ujar Umar yang juga mencari nafkah dengan berjualan minuman dan makanan ringan di kompleks Candi Arjuna.

Baca juga: Rekomendasi Tempat Wisata di Pacitan dengan Tarif Masuk Hanya Rp 5.000

Anomali cuaca ekstrem

Masih dari sumber yang sama, Kepala Stasiun Geofisika Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie mengatakan, fenomena embun es di dataran tinggi Dieng terjadi antara lain karena adanya anomali cuaca ekstrem. Fenomena ini disebabkan banyak faktor dan biasa terjadi di dataran tinggi.

”Berdasarkan analisis BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), aliran massa udara di wilayah Indonesia kini didominasi angin timuran, yaitu massa udara dingin dan kering yang berasal dari Benua Australia,” katanya.

Baca juga: Hujan di Saat Musim Kemarau, Mengapa Bisa Terjadi?

Monsoon Australia, menurut Setyoajie, diperkirakan lebih kuat dibandingkan dengan saat normal serta berpotensi mengurangi peluang pembentukan awan dan hujan di Indonesia.

Dampaknya yaitu pada dataran tinggi, puncak gunung, atau lereng gunung menjadi dingin secara cepat akibat kehilangan radiasi.

”Oleh karena itu, di puncak gunung bertekanan lebih tinggi dibandingkan dengan di lembah. Udara yang lebih dingin memiliki densitas (kerapatan udara) yang lebih besar, kemudian akan mengalirkan udara ke lembah. Udara dingin yang mengalir ke lembah secara signifikan mempercepat laju kondensasi uap air atau embun yang berada di bawah permukaan. Hal inilah yang dikenal sebagai embun es seperti yang terjadi di Dieng,” paparnya.

Baca juga: Trending di Twitter, Berikut Sekilas tentang Gunung Lawu dan Empat Jalur Pendakiannya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com