Oleh: Muh. Ma’rufin Sudibyo & KH Ahmad Yazid Fatah
Rukyah hilal tetap menjadi pedoman Nahdlatul Ulama dalam menentukan tanda waktu setiap bulan Hijriah.
Termasuk dalam penentuan awal Ramadhan dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).
Kriteria Imkan Rukyah Nahdlatul Ulama yang ditetapkan Lembaga Falakiyah PBNU sebagai turunan dari keputusan Muktamar ke–34 tahun 2021, berfungsi sebagai salah satu syarat penerimaan laporan terlihatnya hilal.
Untuk itu, dalam masa transisi dari kriteria imkan rukyah lama menuju kriteria IRNU, maka terdapat konsep hadidul bashar.
Di mana laporan terlihatnya hilal yang masih berada di bawah kriteria adalah berterima secara fikih, namun aplikasinya terbatas hanya pada dirinya sendiri dan yang mempercayainya.
Baca juga: Memahami Hilal dan Metode Rukyah, Penanda Awal Bulan Ramadhan
Lembaga Falakiyah PBNU secara resmi telah menetapkan kriteria Imkan Rukyah Nahdlatul Ulama (kriteria IRNU), yakni melalui surat keputusan dengan nomor 001/SK/LF–PBNU/III/2022 tertanggal 28 Sya’ban 1443 H (31 Maret 2022).
Kriteria IRNU merupakan turunan dari butir pertama keputusan Muktamar ke–34 NU tahun 2021 lalu, terkait posisi ilmu falak dalam penentuan waktu ibadah.
Yakni bahwa konsep imkan al–rukyah dapat menjadi syarat diterimanya laporan rukyah hilal sepanjang berdasarkan pada sekurangnya lima metode falak dengan ketelitian tinggi (qath’iy) yang menghasilkan kesimpulan serupa.
Dalam kriteria IRNU, parameternya adalah tinggi hilal mar’i minimal 3 derajat dan elongasi hilal haqiqy minimal 6,4 derajat.
Tinggi mar’i adalah tinggi sebuah benda langit dari kaki langit menuju titik zenith hingga melintasi benda langit dimaksud, dengan referensi permukaan Bumi dan memperhitungkan sifat pembiasan atmosfer (toposentrik–atmosferik).
Sementara elongasi haqiqy adalah jarak lengkung atau jarak sudut antara dua buah benda langit, dengan referensi pusat bola Bumi (geosentrik).
Dalam praktiknya, kriteria tersebut dapat dinyatakan dalam sebaris kalimat berikut: “awal bulan Hijriah telah terjadi, bilamana saat Matahari terbenam terdapat hilal dengan tinggi minimal antara 3 derajat hingga 6 derajat, bergantung kepada jarak–datar (beda asimuth) antara Bulan dan Matahari saat itu”.
Berlakunya kriteria IRNU sebagai turunan keputusan Muktamar ke–34 tahun 2021, sesungguhnya mengukuhkan kedudukan rukyah hilal.
Hal ini selaras dengan keputusan dua muktamar dan dua musyawarah nasional alim ulama sebelumnya.
Dirajut dengan keputusan Silaturahmi Nasional LFNU tahun 2006, maka kini terdapat gambaran lebih utuh dan menyeluruh tentang rukyah hilal dan tanda waktu Hijriah.
Rukyah hilal tetap menjadi pedoman penentuan setiap awal bulan Hijriah. Apabila hilal dilaporkan terlihat dan memenuhi syarat, maka tanda waktu telah terjadi sehingga bulan Hijriah berjalan hanya berusia 29 hari dan malam itu memasuki awal bulan Hijriah baru.
Sebaliknya apabila tidak terlihat, maka tanda waktu belum terjadi dan bulan Hijriah berjalan digenapkan menjadi 30 hari.
Dengan demikian, keputusan Muktamar ke–34 tahun 2021 dan kriteria IRNU bersifat menjaga dinamika kalender Hijriyyah, agar tetap selaras dengan gerak benda langit acuannya, yakni Bulan.
Sekaligus menawarkan norma baru, guna mengetahui apakah Bulan sudah terbenam lebih dahulu dibandingkan Matahari, yaitu melalui metode falak (perhitungan matematis) yang berterima dengan tingkat akurasinya yang tinggi.
Metode demikian dikenal sebagai sistem haqiqy tahqiqy, haqiqy tadkiky, ‘ashri dan kontemporer.
Baca juga: Sejak Kapan Orang Melihat Hilal untuk Tentukan Bulan dalam Kalender Hijriyah?