Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kedudukan Rukyah Hilal, Kriteria Imkan Rukyah, dan Hadidul Bashar dalam Tanda Waktu Hijriah Nahdlatul Ulama

Rukyah hilal tetap menjadi pedoman Nahdlatul Ulama dalam menentukan tanda waktu setiap bulan Hijriah.

Termasuk dalam penentuan awal Ramadhan dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).

Kriteria Imkan Rukyah Nahdlatul Ulama yang ditetapkan Lembaga Falakiyah PBNU sebagai turunan dari keputusan Muktamar ke–34 tahun 2021, berfungsi sebagai salah satu syarat penerimaan laporan terlihatnya hilal.

Untuk itu, dalam masa transisi dari kriteria imkan rukyah lama menuju kriteria IRNU, maka terdapat konsep hadidul bashar.

Di mana laporan terlihatnya hilal yang masih berada di bawah kriteria adalah berterima secara fikih, namun aplikasinya terbatas hanya pada dirinya sendiri dan yang mempercayainya.

Kedudukan Rukyah Hilal

Lembaga Falakiyah PBNU secara resmi telah menetapkan kriteria Imkan Rukyah Nahdlatul Ulama (kriteria IRNU), yakni melalui surat keputusan dengan nomor 001/SK/LF–PBNU/III/2022 tertanggal 28 Sya’ban 1443 H (31 Maret 2022).

Kriteria IRNU merupakan turunan dari butir pertama keputusan Muktamar ke–34 NU tahun 2021 lalu, terkait posisi ilmu falak dalam penentuan waktu ibadah.

Yakni bahwa konsep imkan al–rukyah dapat menjadi syarat diterimanya laporan rukyah hilal sepanjang berdasarkan pada sekurangnya lima metode falak dengan ketelitian tinggi (qath’iy) yang menghasilkan kesimpulan serupa.

Dalam kriteria IRNU, parameternya adalah tinggi hilal mar’i minimal 3 derajat dan elongasi hilal haqiqy minimal 6,4 derajat.

Tinggi mar’i adalah tinggi sebuah benda langit dari kaki langit menuju titik zenith hingga melintasi benda langit dimaksud, dengan referensi permukaan Bumi dan memperhitungkan sifat pembiasan atmosfer (toposentrik–atmosferik).

Sementara elongasi haqiqy adalah jarak lengkung atau jarak sudut antara dua buah benda langit, dengan referensi pusat bola Bumi (geosentrik).

Dalam praktiknya, kriteria tersebut dapat dinyatakan dalam sebaris kalimat berikut: “awal bulan Hijriah telah terjadi, bilamana saat Matahari terbenam terdapat hilal dengan tinggi minimal antara 3 derajat hingga 6 derajat, bergantung kepada jarak–datar (beda asimuth) antara Bulan dan Matahari saat itu”.

Berlakunya kriteria IRNU sebagai turunan keputusan Muktamar ke–34 tahun 2021, sesungguhnya mengukuhkan kedudukan rukyah hilal.

Hal ini selaras dengan keputusan dua muktamar dan dua musyawarah nasional alim ulama sebelumnya.

Dirajut dengan keputusan Silaturahmi Nasional LFNU tahun 2006, maka kini terdapat gambaran lebih utuh dan menyeluruh tentang rukyah hilal dan tanda waktu Hijriah.

Rukyah hilal tetap menjadi pedoman penentuan setiap awal bulan Hijriah. Apabila hilal dilaporkan terlihat dan memenuhi syarat, maka tanda waktu telah terjadi sehingga bulan Hijriah berjalan hanya berusia 29 hari dan malam itu memasuki awal bulan Hijriah baru.

Sebaliknya apabila tidak terlihat, maka tanda waktu belum terjadi dan bulan Hijriah berjalan digenapkan menjadi 30 hari.

Dengan demikian, keputusan Muktamar ke–34 tahun 2021 dan kriteria IRNU bersifat menjaga dinamika kalender Hijriyyah, agar tetap selaras dengan gerak benda langit acuannya, yakni Bulan.

Sekaligus menawarkan norma baru, guna mengetahui apakah Bulan sudah terbenam lebih dahulu dibandingkan Matahari, yaitu melalui metode falak (perhitungan matematis) yang berterima dengan tingkat akurasinya yang tinggi.

Metode demikian dikenal sebagai sistem haqiqy tahqiqy, haqiqy tadkiky, ‘ashri dan kontemporer.


Posisi Kriteria

Karena rukyah hilal tetap menjadi pedoman, lalu dimana kedudukan kriteria IRNU?

Kriteria itu tetap memegang peranan serupa, sebagaimana kriteria imkan rukyah yang lama dalam Nahdlatul Ulama, yakni berfungsi ganda: sebagai salah satu syarat penerimaan laporan rukyah hilal dan sebagai tolak ukur untuk pembentukan Almanak.

Terkait peran pertamanya, maka aplikasi parameter imkan rukyah dalam penerimaan kesaksian terlihatnya (syahadah) hilal harus lebih diprioritaskan.

Penerapan tersebut termasuk ke dalam qoul al–masyhur dalam mazhab Syafi’i sebagaimana dinyatakan dalam pendapat Imam Taqiyuddin as–Subki (Fatawa as–Subki juz I /210).

Inilah yang selama ini dipraktikkan Nahdlatul Ulama. Sehingg,a setiap laporan rukyah terlebih dahulu ditapis melalui terpenuhi tidaknya kriteria imkan rukyah pada lokasi tersebut.

Harus digarisbawahi, bahwa Imam Taqiyuddin as–Subki juga berpendapat bahwa yang bisa dijadikan dasar untuk tanda waktu Hijriah hanyalah dua hal, yakni rukyah hilal dan penggenapan 30 hari (istikmal).

Maka, penggunaan kriteria imkan rukyah saja tanpa dibarengi dengan pelaksanaan rukyah hilal belum bisa menjadi dasar untuk tanda waktu.

Sementara terkait peran keduanya, maka kriteria IRNU menjadi tolok ukur bagi perhitungan–perhitungan matematis untuk membentuk almanak dan kalender. Seperti yang selama ini juga telah diselenggarakan oleh para ahli falak Nahdlatul Ulama.

Baik yang tercakup dalam ke dalam struktur (pengurus cabang di kabupaten/kota, pengurus wilayah di propinsi hingga pengurus besar di pusat), maupun non–struktur (pondok–pondok pesantren yang mengajarkan ilmu falak dan para hasib mandiri).

Dalam perhitungan tersebut, maka parameter Bulan pada dua titik terbarat Indonesia, yakni di Pelabuhan Ratu (Jawa Barat) dan Lhoknga (Aceh) juga harus diketahui. Mengingat kriteria IRNU diberlakukan secara wilayatul hukmi untuk membentuk Almanak.

Mengapa Nahdlatul Ulama membenahi kriteria imkan rukyah–nya ?

Salah satu rasionalisasinya adalah lingkungan yang sudah berubah. Aktivitas manusia yang mengonsumsi bahan bakar minyak, gas, dan batubara secara massif dan berkelanjutan dalam satu setengah abad terakhir menjadi penyebabnya.

Pembakaran bahan–bahan bakar fosil tersebut melepaskan milyaran ton gas karbondioksida dan partikulat mikro jelaga ke lingkungan dalam setiap tahunnya.

Akumulasi gas karbondioksida di atmosfer Bumi menyebabkan pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim. Bagi negara maritim seperti Indonesia, perubahan iklim bermanifestasi pada cuaca ekstrem yang kian kerap.

Jika dahulu musim di Indonesia didominasi oleh embusan sistem angin muson antara India dan Australia, maka pemanasan global menyebabkan Samudera Indonesia (Hindia) dan Samudera Pasifik menjadi lebih dinamis.

Sehingga, kian kerap mendominasi. Langit yang lebih sering tertutupi mendung dan hujan menyebabkan upaya mengamati benda–benda langit menjadi kian sulit. Termasuk hilal.


Sementara, akumulasi partikulat mikro jelaga menyajikan dampak yang berbeda. Terlihatnya hilal merupakan implikasi dari intensitas cahaya Bulan lebih besar dibanding intensitas cahaya langit senja.

Sehingga, lengkungan sabit Bulan mempunyai nilai kontras yang mencukupi guna diidentifikasi mata manusia maupun sensor elektronik (kamera).

Sementara partikel–partikel jelaga mempunyai sifat menghamburkan cahaya. Sehingga, akumulasi partikulat mikro jelaga di atmosfer menyebabkan intensitas cahaya benda langit yang melewati atmosfer menjadi berkurang saat tiba di permukaan Bumi.

Proses ini akan mencapai puncaknya bagi benda–benda langit yang berketinggian rendah, termasuk hilal.

Akibatnya, mereka (termasuk hilal) akan menjadi lebih redup. Sehingga, apa yang dahulu mudah dilihat, kini menjadi lebih sulit.

Selain faktor lingkungan, alasan lain dari pembenahan kriteria imkan rukyah adalah visi internasional Nahdlatul Ulama.

Seperti disampaikan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, dalam rangka memasuki abad kedua, maka Nahdlatul Ulama kian menapakkan kaki ke kancah internasional.

Kriteria IRNU yang diputuskan Lembaga Falakiyah PBNU berakar dari kriteria Neo–MABIMS, yang telah menjadi konsensus ahli–ahli falak di lingkup Asia Tenggara.

Khususnya di negara–negara Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura. Sebagai penghormatan atas konsensus internasional tersebut (khususnya dalam regional Asia Tenggara), maka Nahdlatul Ulama pun membenahi kriteria imkan rukyah–nya menjadi kriteria IRNU.

Hadidul Bashar

Dengan telah diberlakukannya kriteria IRNU, maka kini Nahdlatul Ulama memasuki masa transisi, yakni dari yang semula menggunakan kriteria lama menjadi kriteria IRNU.

Dalam masa transisi demikian, bagaimana jika terdapat laporan terlihatnya hilal padahal parameter hilal di lokasi itu masih di bawah kriteria IRNU? Sedangkan di masa silam laporan demikian umumnya diterima?

Di sinilah pentingnya konsep hadidul bashar. Dalam hal ini terdapat pendapat dari Imam Ibnu Hajar al–Haitami (Tuhfatul Muhtaj juz III / 372).

Bertumpu pada pendapat tersebut, maka perukyah yang melaporkan demikian dikategorikan ke dalam hadidul bashar.

Perukyah itu merupakan sosok yang dianugerahi kemampuan penglihatan yang lebih baik dan lebih tajam ketimbang rata–rata manusia pada umumnya.

Sehingga, hasil rukyah–nya juga berterima secara fikih. Akan tetapi, fikih juga menggarisbawahi bahwa kedudukan hadidul bashar adalah identik dengan kedudukan seorang hasib.

Sehingga, keduanya sama–sama dapat menggunakan hasil kerjanya (hasil rukyah untuk hadidul bashar dan hasil metode falak untuk hasib) hanya untuk dirinya sendiri dan orang–orang di sekitarnya yang mempercayainya.

Dalam konteks demikianlah, maka Nahdlatul Ulama di masa transisi ini tetap menghormati hadidul bashar.

Namun secara organisatoris, struktural Nahdlatul Ulama mengacu kepada keputusan Ketua Umum PBNU yang berdasarkan pada hasil rukyah Lembaga Falakiyah PBNU dengan kriteria IRNU sebagai syarat penerimaan laporan terlihatnya hilal.

Muh. Ma’rufin Sudibyo & KH Ahmad Yazid Fatah
Fungsionaris Lembaga Falakiyah PBNU masa khidmah 2022–2027

https://www.kompas.com/sains/read/2022/04/28/040500123/kedudukan-rukyah-hilal-kriteria-imkan-rukyah-dan-hadidul-bashar-dalam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke