Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[POPULER SAINS] Potensi Hujan Lebat akibat 3 Bibit Siklon Tropis | Padi Amphibi | Burung Hantu Aktif di Siang Hari

Kompas.com - 31/03/2022, 07:01 WIB
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Penulis

KOMPAS.com - Berita populer Sains pertama yakni tentang Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang telah mengidentifikasi tiga bibit siklon tropis yang dapat menyebabkan hujan lebat di sejumlah wilayah Indonesia.

Ketiga bibit siklon tropis tersebut di antaranya siklon tropis 93W, 96S dan 97S.

BMKG memantau ketiga bibit siklon tropis ini dan mengatakan bahwa adanya potensi pengaruh cuaca ekstrem bagi sejumlah wilayah di Indonesia, seperti adanya potensi hujan lebat.

Peneliti di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) tengah mengembangkan bibit padi varietas baru untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim terhadap tanaman pangan, yakni padi.

Varietas padi baru yang dinamai padi amphibi Gamagora ini tengah dilakukan uji tanam di sejumlah wilayah persawahan di Indonesia.

Berita populer Sains lainnya masih tentang penemuan viral ikan tapah raksasa di Sumatera Utara. Ikan tapah raksasa seberat 65 kg itu berhasil ditangkap warga dan dijual seharga Rp700.000.

Selin berita tersebut, studi tentang burung hantu pada 6 juta tahun lalu yang ternyata aktif di siang hari menjadi informasi populer Sains sepanjang Rabu (30/3/2022).

Berikut beberapa rangkuman berita populer Sains sepanjang Rabu (30/3/2022) hingga Kamis (31/3/2022).

BMKG identifikasi 3 bibit siklon tropis

Ketiga bibit siklon tropis yang teridentifikasi BMKG, berpotensi menyebabkan hujan lebat di sejumlah wilayah di Indonesia.

Deputi bidang meteorologi BMKG, Guswanto mengatakan, bibit siklon tropis yang pertama terpantau adalah 93W. Bibit siklon tropis 93W tersebut terpantau di daratan Vietnam dengan intensitas mulai melemah pada saat memasuki wilayah daratan.

Kendati bibit siklon tropis 93W di daratan Vietnam ini melemah, sistemnya masih membentuk daerah pertemuan dan perlambatan kecepatan angin atau konvergensi.

Ternyata tidak hanya bibit siklon tropis 93W, BMKG juga memantau adanya bibit siklon tropis 96S di Samudera Hindia Selatan Jawa.

Daerah konvergensi lainnya terpantau memanjang dari Bengkulu hingga Lampung, dan dari Maluku hingga Papua Barat. Serta, konfluensi di Papua bagian selatan (tarikan dari bibit siklon tropis 97S di selatan Papua Nugini) dan di Laut Jawa.

"Kondisi tersebut mampu meningkatkan pertumbuhan awan hujan di sekitar bibit siklon atau sirkulasi siklonik dan di sepanjang daerah konvergensi atau konfluensi tersebut," jelasnya.

Ketiga bibit siklon tropis ini akan menyebabkan potensi hujan lebat di sejumlah wilayah di Indonesia. Selengkapnya berita populer Sains tersebut dapat disimak di sini.

Baca juga: Daftar Wilayah Berpotensi Hujan Lebat 3 Hari ke Depan akibat 3 Bibit Siklon Tropis

Peneliti UGM kembangkan padi amphibi Gamagora

Ketua Tim Peneliti dari Fakultas Pertanian UGM, Dr. Ir. Taryono, dalam keterangan resminya mengatakan bahwa timnya tengah mengembangkan varietas padi "Amphibi".

Pengembangan bibit padi varietas baru ini dilakukan guna menyiasati penurunan produksi padi di Indonesia akibat adanya fenomena perubahan iklim, baik yang disebabkan oleh El Nino maupun La Nina.

Dikembangkannya varietas padi baru ini dapat menyiasati pula masalah alih fungsi lahan sawah ke non-sawah yang semakin meningkat.

Sebab, tercatat pengalihan fungsi lahan dari lahan sawah ke non-sawah telah mencapai 96.512 hektar per tahun.

Varietas padi amphibi dinamai Gamagora yang merupakan kependekan dari Gama Gogo Rancah.

"Gamagora sedang dilakukan uji multilokasi sebanyak 14 lokasi di seluruh indonesia," kata Taryono ditemui di sela-sela peninjauan lokasi uji multilokasi di Pusat Inovasi Agroteknologi (PIAT), Berbah, Kalitirto, Sleman, Minggu (20/3/2022).

Taryono menjelaskan bahwa padi amphibi Gamagora sedang diuji di delapan lokasi sawah dan enam lokasi pada tanah tadah hujan.

Berita populer Sains tentang penelitian varietas baru padi amphibi Gamagora yang dikembangkan peneliti UGM ini, selengkapnya dapat dibaca di sini.

Baca juga: Peneliti UGM Kembangkan Padi Amphibi Gamagora, Apa Itu?

Penemuan viral ikan tapah raksasa

Ahli Peneliti Utama Bidang Ikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Haryono menjelaskan, ikan tapah adalah ikan air tawar asli Indonesia.

Ikan tapah raksasa yang ditemukan warga dengan berat mencapai 65 kg dan menjadi viral di media sosial ini juga dapat ditemukan di negara lain seperti Thailand. Ikan tapah tersebut dapat ditemukan di Indonesia bagian barat, khususnya Sumatera dan Kalimantan.

Menurut Haryono, ikan air tawar ini belum masuk kategori ikan langka di Indonesia dan belum dilindungi.

Penemuan ikan tapah raksasa di Sumatera Utara ini telah menarik perhatian masyarakat dan viral di media sosial.

Namun, selain di Indonesia, habitat ikan ini juga dapat ditemukan di sungai-sungai di berbagai negara Asia, terutama Pakistan, India, Myanmar, Thailand, Kamboja, dan Afghanistan.

Ikan air tawar ini biasanya ditemukan di sungai besar yang dalam dengan aliran air lambat. Selain itu, bisa juga ditemukan di bendungan dan air tawar lainnya.

Selengkapnya, berita populer Sains tentang penemuan viral ikan tapah raksasa ini dapat disimak di sini.

Baca juga: Penemuan Viral Ikan Tapah Raksasa 65 Kg di Sumut, Ini Penjelasan Ahli

Burung Hantu 6 juta tahun lalu aktif di siang hari

Burung hantu yang selama ini hanya menampakkan diri di malam hari, namun ternyata pada enam juta tahun yang lalu hewan ini justru aktif di siang hari.

Kesimpulan tersebut di dapat setelah tim peneliti yang dipimpin oleh Dr. Li Zhiheng dan Dr. Thomas Stidham dari Institute of Vertebrate Paleontology and Paleoanthropology (IVPP) dari Chinese Academy of Sciences menemukan kerangka fosil burung hantu yang sudah punah di China.

Fosil burung hantu yang masih terpelihara dengan baik ini menunjukkan bahwa burung hantu aktif di siang hari, bukan di malam hari.

Dalam studinya, peneliti menganalisis tulang-tulang sklera atau tulang-tulang kecil yang membentuk cincin di sekitar pupil dan iris di bagian luar mata.

Hewan nokturnal membutuhkan mata yang lebih besar secara keseluruhan dan pupil yang lebih besar pula untuk melihat dalam kondisi cahaya redup. Sedangkan hewan diurnal memiliki mata dan pupil yang lebih kecil.

Lebih lengkap tentang berita populer Sains terkait studi burung hantu pada 6 juta tahun lalu adalah hewan yang aktif di siang hari dapat disimak di sini.

Baca juga: Burung Hantu pada 6 Juta Tahun yang Lalu Aktif di Siang Hari

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com