Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Iffatul Umniati Raih Doktor di Universitas Al Azhar, Predikat Summa Cumlaude

Kompas.com - 27/02/2024, 10:19 WIB
Albertus Adit

Editor

KAIRO, KOMPAS.com - Iffatul Umniati Ismail berhasil meraih gelar doktor dengan predikat tertinggi Summa Cumlaude di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, Minggu (25/2/2024).

Ia berhasil mempertahankan disertasi doktoralnya bidang Ilmu Ushul Fikih. Disertasi berjudul 'Ijtihad dan Fatwa dalam Merespons Isu-Isu Hukum Kontemporer: Kajian terhadap Fatwa MUI dalam Perspektif Ilmu Ushul Fikih' setabal 690 halaman memperoleh banyak pujian.

Dalam kajiannya terhadap fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, promovendus (Iffatul Umniati) memaparkan MUI mempunyai dua kecenderungan yang terlihat bertolak belakang dalam pendekatannya terhadap sebuah permasalahan baru.

Baca juga: Menlu Mesir: Tak Ada Persiapan Hadapi Masuknya Warga Sipil Palestina

"Kadang-kadang MUI terlihat sangat hati-hati dan memberatkan dengan mengeluarkan fatwa haramnya beberapa jenis makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat," ujarnya dalam keterangan tertulis Atase RI di Mesir kepada Kompas.com, Selasa (27/2/2024).

"Di sisi lain, MUI kadang terlihat memudahkan atau menggampangkan ketika mengeluarkan fatwa dalam bidang medis dan pengobatan," imbuh Ulama Perempuan Indonesia ini.

Harus dibedakan kebutuhan dan kedaruratan

Satu-satunya perempuan yang pernah menjadi Ketua IV PCINU Mesir ini menegaskan, harus dibedakan antara kebutuhan dan keadaan darurat dengan merujuk kepada pandangan para ulama klasik.

Ketika sebuah tindakan medis dianggap sebagai kebutuhan yang bisa diposisikan sebagai sebuah keadaan darurat, maka sebuah fatwa hanya berlaku sampai aspek kedaruratannya bisa diselesaikan.

"Jadi, jangan gampang-gampang pula menyatakan sebuah kebutuhan bisa mengabsahkan perubahan hukum dari haram menjadi boleh, tanpa pertimbangan yang lebih matang dan komprehensif," terangnya.

Pada ujain doktoralnya itu, bertindak sebagai promotor ialah Prof. Dr. Suheir Rashad Mahna (Guru Besar Ushul Fikih, Fakultas Studi Islam dan Arab) dan Co-Promotor Prof. Dr. Turkiyah Mostafa El Sherbini (Guru Besar Ushul Fikih Studi Islam dan Arab).

Sedangkan para penguji, Prof. Dr. Mostafa Farag Fayyadh (Guru Besar Ushul Fikih, Fakultas Studi Islam dan Arab, Universitas Al Azhar Prov. Kafr El Sheikh) dan Prof. Dr. Mahmoud Hamed Utsman (Guru Besar Ushul Fikih, Syariah Qanun, Universitas Al Azhar, Provinsi Thanta).

Mereka semua menyatakan kekagunannya dan menyampaikan apresiasi serta kebanggaannya atas disertasi yang telah ditulis oleh Iffatul Umniati.

Baca juga: PBB Tak Setuju Warga Gaza Mengungsi ke Mesir, Ini Alasannya

"Promovendus telah menulis sebuah disertasi berkualitas tinggi yang menerapkan ilmu-ilmu klasik Al-Azhar dalam konteks kemodernan, terkait bagaimana seharusnya kita menyikapi isu-isu kontemporer. Dan ini adalah disertasi yang harus dibaca secara luas," ungkap Dr. Mahmoud.

Untuk itu, ia menyarankan agar disertasi ini dibuatkan versi lain yang lebih ringan agar dapat dinikmati oleh masyarakat awam.

Sementara itu, Prof. Mostafa Farag Fayyadh merekomendasikan agar disertasi ini diberi catatan penting yang menjelaskan pengertian setiap terma klasik dan modern yang ada di dalamnya.

Sebab, ada pembaca dari kalangan yang awam, ada juga pembaca yang menguasai istilah-istilah klasik tetapi tidak terbiasa dengan idiom-idiom kemodernan.

Dalam paparan disertasi promovendus dikatakan bahwa sangat urgen pada masa kini untuk mengarusutamakan ijtihad kolektif.

Dengan catatan setiap anggota lembaga ijtihad kolektif tersebut seharusnya mempunyai kualifikasi-kualifikasi yang memadai untuk melakukan kajian hukum Islam langsung dari sumbernya.

Hal ini agar bisa menjawab permasalahan-permasalahan kekinian. Anggota lembaga ijtihad kolektif ini tidak cukup dengan kapasitas representatifnya saja. Misalnya karena mewakili satu segmen masyarakat atau organisasi tertentu.

Baca juga: Mesir Kerahkan 40 Tank ke Perbatasan Gaza

Ada 3 kecenderungan besar

Ia mengatakan lembaga-lembaga fatwa dan ijtihad kolektif sekarang ini mempunyai tiga kecenderungan besar, yakni:

1 Lembaga fatwa yang konsisten berpegang kepada salah satu madzhab yang mu’tabarah (absah), seperti Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Nahdlatul Ulama dan Dar al-Ifta’ Yordania.

Dilihat dari tahun berdirinya, LBMNU bisa dikatakan sebagai lembaga fatwa dan ijtihad kolektif yang berdiri pertama di dunia.

2. Lembaga fatwa dan ijtihad kolektif yang tidak berpegang kepada salah satu madzhab, bahkan mengklaim langsung mengambil hukum Islam dari sumbernya yaitu Al-Qur’an, Hadits dan Ulama Salaf.

Di antara model kedua ini adalah Al-Lajnah al-Da’imah lil-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’, Saudi Arabia dan Majlis Tarjih Muhammadiyah di Indonesia.

3. Model ketiga yang menggabungkan antara keduanya, seperti Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Dar al-Ifta’ al-Mishriyah di Mesir, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Ketiga lembaga ini tetap menjadikan pandangan para ulama madzhab sebagai referensi pokok dan kemudian mengelaborasikannya dengan pendalaman kajian Al-Qur’an, Hadits, Kaidah-Kaidah Fiqhiyah dan Ushuliyah, juga diskursus-diskursus pemikiran baru yang cukup agar fatwa hukum yang dikeluarkan bisa lebih kontekstual.

Fatwa harus disertai penjelasan

Iffatul Umniati juga punya pengalaman jadi pengasuh Pondok Pesantren Unggulan Tahfizh & Sains (PPUTS) Darus Salam Torjun Sampang Madura.

Menurutnya, pada masa sekarang tidak cukup lagi bagi seorang mufti untuk memberikan fatwa hukum tanpa menyertakan dalil-dalilnya.

Baca juga: Mesir Terima Proposal Hamas, Minta Gencatan Senjata sampai Idul Fitri

Bahkan, sudah menjadi tuntutan yang lazim bahwa setiap fatwa yang dikeluarkan harus disertai dengan ulasan singkat yang menjelaskan kenapa atau bagaimana sebuah dalil bisa membawa kita kepada sebuah kesimpulan fatwa hukum.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com